enjoy reading ...
Saat aku di rumah Fani … “Seingatku, Kak Lily udah setengah nggak sadar. Kepala udah direbahin di atas meja. Saat aku tanya Vela, dia bilang kalau Kakak ngantuk.” “Saat kita lagi sorak-sorak senang, aku nggak sengaja lihat dua orang laki-laki datang nyamperin Kak Lily lalu membawa Kakak pergi. Lalu aku tanya Vela lagi. Dia bilang kalau itu sepupu kalian yang emang sengaja datang buat njemput Kak Lily.” Aku yang duduk di samping Fani pun menggeleng tidak percaya. Kini spekulasinya hanya ada dua. Apakah Vela benar-benar tidak mengenal kedua lelaki yang membawaku pergi? Ataukah itu memang rencangan Vela untuk membuatku berakhir di ranjang dengan lelaki lain? “Makanya aku sempat kaget Kak Lily bilang diusir dari rumah bahkan dikatain yang nggak bener.” “Apa kamu nggak tahu hal lainnya, Fan?” Kepalanya menggeleng. “Soalnya aku kira itu emang sepupu kalian. Tapi, bukannya Kak Lily mau nikah?” Kini giliran kepalaku yang menggeleng. “Batal. Karena kejadian itu, Fan.” “Ya Tuhan. Yang
“Lois, ayo pulang ke kontrakan. Aku harus berangkat kerja.” Fajar mulai nampak dan aku membangunkan Lois yang tidur dengan sangat lelap. Hingga pagi menjelang entah berapa kali aku terbangun hanya untuk memastikan bahwa tidak ada tangan yang melingkari tubuhku meski Lois adalah suamiku. Dia menepati janjinya dengan tidak menyentuhku saat tidur tapi memeluk guling yang menjadi pembatas kami berdua. Setelah mencuci muka dan kembali ke kamar, Lois membuka lemari kemudian mengambil sebuah sweater. “Pakai ini, Ly. Di luar masih dingin. Cardiganmu terlalu tipis.” Aku menerima sweaternya setelah selesai merapikan sprei ranjang tidur. “Eh, tunggu. Kamu habis nangis, ya?!” Semalam, mungkin Lois tidak menyadari kondisi mataku karena penerangan yang temaram di dalam kamarnya. Namun pagi ini, aku lupa menyembunyikan mata bengkakku ketika penerangan kamarnya menyala terang. “Nggak, kok. Buruan balik ke kontrakan kita. Aku belum mandi.” Tanpa menginterogasiku lebih jauh, Lois memilih berlal
“Kok cuma berdiri sih, Mbak? Sini duduk dulu. Ntar aku kasihin kuncinya.” Usai berkata demikian, lelaki tanpa baju dan hanya mengenakan celana jeans itu kembali menghisap nikotin melalui bibirnya yang hitam. Lalu menghembuskan asapnya ke udara diikuti beberapa teman lelakinya yang lain. “Saya cuma butuh kunci kamar Lois. Bukan duduk disini dengan kalian.” “Jangan mikir jelek dulu, Mbak. Ceweknya anak-anak yang bertamu kemari tuh wajib kenalan sama kami-kami dulu. Masak cuma keluar masuk kontrakan tapi nggak kenal kan nggak etis.” “Saya rasa itu nggak perlu.” “Nama Mbaknya aja kita nggak tahu. Gimana kalau pas ada yang nyariin. Ya nggak, gaes?!” Teman-teman lelakinya yang lain mengangguk setuju. “Teman-teman disini tuh biasa banget masukin ceweknya ke kamar. Dan kita kenal semua cewek itu. Anggap aja ini salam perkenalan.” Aku tertegun mendengar penuturan mereka. Pasalnya aku baru tahu jika kontrakan lama Lois ini tidak memiliki aturan ketat bahkan bisa seenaknya membawa masuk d
"Nath, makasih udah ngizinin gue nginep di kos lo. Maaf gue ngrepotin." "Nggak masalah, Ly." "Gue balik dulu, ya? Tolong jangan bilang apa-apa ke Lois. Gue nggak mau ngrepotin dia," kilahku padahal aku begitu kecewa padanya. "Kenapa sih, Ly? Dia kan sepupu lo?" Kepalaku menggeleng kemudian berpamitan pergi. Pagi masih buta namun aku harus segera kembali ke kontrakan untuk mandi dan berganti pakaian. Pertanyaannya, apakah aku berani berada di kontrakan seorang diri? Nanti aku akan nekat mencobanya. Andai tetap tidak berani, mungkin aku akan meminjam kamar mandi tetangga kontrakan. Dan semoga saja suaminya sudah pergi bekerja agar aku tidak dianggap mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain. Rasanya sungguh tidak nyaman memiliki autophobia seperti ini ditambah dengan hati yang benar-benar terluka. Lalu sebuah ide terlintas dibenakku dan sepertinya tidak ada salahnya mencoba solusi itu. Bukankah aku pernah membahasnya dengan Mama? Dan bila keadaannya seperti ini, buka
“Aku nggak pernah merendahkan kamu! Apalagi menjual kamu ke teman-temanku!” Lois berucap pelan, tegas, dengan wajah serius menatapku yang berurai air mata. “Munafik! Semua laki-laki itu sama! Ucapan sama kelakuannya beda! Kalian bersikap sok jadi pahlawan padahal aslinya preman! Aku benci kamu, Lois!" Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya yang mencengkeram kedua pergelangan tanganku erat dan menghimpit tubuhku ke dinding. “Sumpah demi apapun, Ly! Aku nggak pernah punya niatan nyodorin kamu ke teman-temanku!" "Kalau enggak, lalu kenapa mereka gituin aku, Lois?!" ucapku kesal. "Lagi pula, teman mana yang kamu maksud, Ly?!” “Teman-teman kontrakanmu!” “Apa?!” Lois terkejut. “Nggak usah sok terkejut padahal kamu tahu semuanya! Kamu sengaja giniin aku, kan?! Mentang-mentang kamu udah tahu rahasia besarku yang gagal nikah! Iya, kan?!” Kepalanya menggeleng tegas dengan mata menatapku tajam. “Walau aku gagal nikah, tapi aku bukan perempuan murahan, Lois! Aku masih punya harga dir
Saat Lois akan pergi meninggalkan aku dari kamar kontrakannya yang lama, aku bergerak cepat mencekal pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. “Lois, maaf.” Dia menoleh dengan wajah kesalnya. “Maaf, aku … aku nggak tanya dulu ke kamu.” Dia melirik tanganku yang memegang tangannya lalu aku melepasnya perlahan. Bukannya menjawab, Lois kembali melangkah pergi meninggalkan aku. Dan tinggallah aku di kamarnya sendirian. Air mataku kembali tumpah ketika mendapati sikap Lois yang acuh padaku. Dia sudah mengerti rahasia besarku dari mulutku sendiri. Pasti ia kini jijik padaku karena tahu bahwa aku pernah tidur dengan lelaki lain hingga rencana pernikahanku dengan Ishak harus batal. Ditambah autophobia yang kuderita, jika Lois meninggalkanku seorang diri, apakah aku benar-benar berani? Dan lagi, siapa yang bisa kujadikan langit atau pelindungku selain Lois untuk saat ini? Tapi jika dia marah dan tidak menerima permintaan maafku, lalu apa yang harus kulakukan? *** Ketika aku akan
Shala menatapku dengan raut bertanya-tanya. “Ly, lo selingkuh?” Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Shala ketika mendengar ucapan seorang rekan kerja kami yang kebetulan tadi pagi melihatku diantar Lois pergi bekerja. Ya Tuhan, mengapa masih saja ada yang melihatku diantar Lois? Padahal Lois sudah menurunkanku sebelum mencapai halaman kantor. Apakah temanku itu melihatku saat bertepatan membuka helm? “Eng … enggak. I .. itu kakak gue.” “Kakak? Bukannya lo anak pertama?” Shala dan seorang rekan kerja yang berada di kubikel, menatapku lekat-lekat. “Ah … maksud gue itu kakak sepupu gue. Kebetulan lokasi kerjanya searah sama gue.” Aku segera menghidupkan komputer lalu mengabaikan keduanya yang saling bertukar pandang. “Ly, lo aneh. Maksud gue, hari pernikahan udah deket tapi nggak ada undangan yang lo sebar. Tahu-tahu lo bilang acaranya diundur. Sekarang, ada yang bilang lo dianter sama cowok lain. Lo nggak lagi berbohong 'kan?!" Aku cukup gelagapan karena belum apa-ap
"Mbak Lily nggak mau makan malam dulu?" tanya sopir taksi mewah ini. Kedua alisku berkerut mendapat pertanyaan itu. Sejak kapan seorang sopir taksi menawarkan mengantar menuju rumah makan pada penumpang yang ia bawa sedang penumpangnya tidak berkata akan makan malam. "Makan malam gimana maksudnya, Pak?" "Lho, Mbak Lily merasa lapar atau tidak?" "Kalau lapar kenapa?" "Saya antar ke restauran." "Hah?!" Aku bingung dengan sopir taksi ini. Bukankah tugas sopir hanya mengantar dan menjemput penumpangnya? Bukan menawarkan pergi ke restauran untuk makan malam tanpa perintah dari penumpang, kan?! Lagi pula, akan terasa lucu jika sopir taksi mobil mewah seperti ini mengetahui selera makanku yang hanya berada di level biasa-biasa saja. Gengsi lebih tepatnya. Masak iya sedan mewan begini berhenti di warteg? "Eh ... saya ... bisa beli sendiri nanti, Pak. Tidak perlu repot-repot." Malu rasanya karena tidak mampu membeli makanan mahal di restauran. Memangnya berapa besar gaji seorang st