enjoy reading ...
“Aku nggak pernah merendahkan kamu! Apalagi menjual kamu ke teman-temanku!” Lois berucap pelan, tegas, dengan wajah serius menatapku yang berurai air mata. “Munafik! Semua laki-laki itu sama! Ucapan sama kelakuannya beda! Kalian bersikap sok jadi pahlawan padahal aslinya preman! Aku benci kamu, Lois!" Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya yang mencengkeram kedua pergelangan tanganku erat dan menghimpit tubuhku ke dinding. “Sumpah demi apapun, Ly! Aku nggak pernah punya niatan nyodorin kamu ke teman-temanku!" "Kalau enggak, lalu kenapa mereka gituin aku, Lois?!" ucapku kesal. "Lagi pula, teman mana yang kamu maksud, Ly?!” “Teman-teman kontrakanmu!” “Apa?!” Lois terkejut. “Nggak usah sok terkejut padahal kamu tahu semuanya! Kamu sengaja giniin aku, kan?! Mentang-mentang kamu udah tahu rahasia besarku yang gagal nikah! Iya, kan?!” Kepalanya menggeleng tegas dengan mata menatapku tajam. “Walau aku gagal nikah, tapi aku bukan perempuan murahan, Lois! Aku masih punya harga dir
Saat Lois akan pergi meninggalkan aku dari kamar kontrakannya yang lama, aku bergerak cepat mencekal pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. “Lois, maaf.” Dia menoleh dengan wajah kesalnya. “Maaf, aku … aku nggak tanya dulu ke kamu.” Dia melirik tanganku yang memegang tangannya lalu aku melepasnya perlahan. Bukannya menjawab, Lois kembali melangkah pergi meninggalkan aku. Dan tinggallah aku di kamarnya sendirian. Air mataku kembali tumpah ketika mendapati sikap Lois yang acuh padaku. Dia sudah mengerti rahasia besarku dari mulutku sendiri. Pasti ia kini jijik padaku karena tahu bahwa aku pernah tidur dengan lelaki lain hingga rencana pernikahanku dengan Ishak harus batal. Ditambah autophobia yang kuderita, jika Lois meninggalkanku seorang diri, apakah aku benar-benar berani? Dan lagi, siapa yang bisa kujadikan langit atau pelindungku selain Lois untuk saat ini? Tapi jika dia marah dan tidak menerima permintaan maafku, lalu apa yang harus kulakukan? *** Ketika aku akan
Shala menatapku dengan raut bertanya-tanya. “Ly, lo selingkuh?” Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Shala ketika mendengar ucapan seorang rekan kerja kami yang kebetulan tadi pagi melihatku diantar Lois pergi bekerja. Ya Tuhan, mengapa masih saja ada yang melihatku diantar Lois? Padahal Lois sudah menurunkanku sebelum mencapai halaman kantor. Apakah temanku itu melihatku saat bertepatan membuka helm? “Eng … enggak. I .. itu kakak gue.” “Kakak? Bukannya lo anak pertama?” Shala dan seorang rekan kerja yang berada di kubikel, menatapku lekat-lekat. “Ah … maksud gue itu kakak sepupu gue. Kebetulan lokasi kerjanya searah sama gue.” Aku segera menghidupkan komputer lalu mengabaikan keduanya yang saling bertukar pandang. “Ly, lo aneh. Maksud gue, hari pernikahan udah deket tapi nggak ada undangan yang lo sebar. Tahu-tahu lo bilang acaranya diundur. Sekarang, ada yang bilang lo dianter sama cowok lain. Lo nggak lagi berbohong 'kan?!" Aku cukup gelagapan karena belum apa-ap
"Mbak Lily nggak mau makan malam dulu?" tanya sopir taksi mewah ini. Kedua alisku berkerut mendapat pertanyaan itu. Sejak kapan seorang sopir taksi menawarkan mengantar menuju rumah makan pada penumpang yang ia bawa sedang penumpangnya tidak berkata akan makan malam. "Makan malam gimana maksudnya, Pak?" "Lho, Mbak Lily merasa lapar atau tidak?" "Kalau lapar kenapa?" "Saya antar ke restauran." "Hah?!" Aku bingung dengan sopir taksi ini. Bukankah tugas sopir hanya mengantar dan menjemput penumpangnya? Bukan menawarkan pergi ke restauran untuk makan malam tanpa perintah dari penumpang, kan?! Lagi pula, akan terasa lucu jika sopir taksi mobil mewah seperti ini mengetahui selera makanku yang hanya berada di level biasa-biasa saja. Gengsi lebih tepatnya. Masak iya sedan mewan begini berhenti di warteg? "Eh ... saya ... bisa beli sendiri nanti, Pak. Tidak perlu repot-repot." Malu rasanya karena tidak mampu membeli makanan mahal di restauran. Memangnya berapa besar gaji seorang st
"Ly, ini kue siapa?" teriak Lois dari ruang tamu. Aku yang masih diliputi kebingungan setelah membaca softcopy dokumen peralihan saham dari ponselnya pun menjawab seadanya. "Buat kamu!" "Buat aku?! Aku nggak ultah?" "Eh ... itu ... udah makan aja!" "Tumben kamu perhatian beliin aku kue enak?" Aku tidak menggubris ucapannya lalu memilih mengambil pakaian bersih dan bersiap mandi. Tapi ketika membuka pintu, Lois sudah berdiri di depan pintu kamar dengan membawa potongan kue di atas piring. Dia memotongnya sedikit menggunakan sendok lalu menyodorkannya ke mulutku. "Kamu belum nyobain, kan?!" Aku membuka mulut, menerima suapan dari Lois. Kemudian Lois menyuapkan potongan kue selanjutnya untuk dirinya sendiri menggunakan sendok yang sama. "Lois, itu sendok bekasku." "Iya. Kenapa?" "Kamu nggak jijik?" "Sama bini sendiri kenapa jijik?" Apa? Lois menganggapku benar-benar istrinya? Ada apa dengan hari ini? Mengapa dia mendadak begitu ... loveable? *** Lois : Kamu pulang sen
"Lois?" Mataku membelalak tidak percaya melihat keberadaannya yang teramat kebetulan sekali di sini. Dia ada saat aku dihujat rekan-rekan kerjaku satu kantor tentang tersebarnya foto serta video syur itu. Lois lalu mengulurkan tangan kanannya ketika aku terjatuh. Hingga aku tidak mampu kembali berdiri lagi karena terlalu malu. Otakku terus bertanya-tanya bagaimana bisa rekan-rekan kerja mengetahui foto menjijikkanku? Siapa lagi yang sengaja menyebarkannya? Hingga aku tidak fokus saat berjalan tergesa-gesa lalu menginjak sesuatu yang licin. "Ayo pulang." Tangan lois masih terulur lalu aku meraihnya agar bisa segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Setelah berdiri dengan benar, Lois mengibas kotoran yang menempel di rok kerjaku dengan tangan kanannya. "Nggak usah sok peduli!" ucapku tegas tapi lirih. Keempat temanku memandang kami tidak percaya dan aku makin salah tingkah. "Aku nggak mau teman-temanku mikir yang nggak-nggak tentang aku!" "Apa salahnya aku bantu bersihin?"
Tanpa menunggu nanti sore, aku segera mengemasi barang-barang dan membiarkan tugasku sebagai customer service terbengkalai. Tidak ada pemindahan tugas pada siapapun karena aku sudah terlanjur malu pada seluruh karyawan kantor. Foto mesumku sudah tersebar dan semua orang kantor memandangku rendah dan jijik. "Eh, si Lilyah itu mau kemana?" bisik rekanku yang duduk di seberang setelah melepas headphone. Rekan sebelahnya juga melepask headphone lalu ikut melirikku. "Kabur kali. Kemesumannya 'kan udah tersebar." "Nggak nyangka gue kalau dia binal banget." "Sama. Mending dia keluar dari kantor ini dari pada ngasih pengaruh buruk sama yang lain." Lalu berkali-kali dering telfon kabel di kubikelku berdering namun aku mengabaikannya. Itu pasti dari para customer maskapai penerbangan yang hendak mengaduhkan keluhannya. Namun aku tetap fokus mengemasih barang-barang ke dalam tas lalu menutup resletingnya dengan cepat. Tanpa berpamitan pada siapapun, aku segera berlari keluar kantor de
Pikirku, untuk apa tetap hidup jika telah kehilangan banyak hal? Kehormatan, keluarga, tunangan, pekerjaan, dan teman. Semua itu tidak lagi kumiliki sejak foto mesumku tersebar. Aku menjadi sarang hujatan dan hinaan orang yang telah melihat foto aku tengah bergumul dengan seorang lelaki tanpa busana. Meski nyatanya itu adalah fitnah yang digunakan untuk menjatuhkan aku. Hingga detik ini aku masih tidak mengetahui siapa pelakunya. Apa motifnya hingga tega membuat harga diriku jatuh sejatuhnya hingga yang tersisa hanya hinaan. Dengan berurai air mata, aku melihat ke bawah gedung. Aku berhasil berdiri di tingkat teratas sebuah apartemen. Kupikir jika mengakhiri hidup adalah jalan terbaik dari pada hidupku tidak berguna sama sekali. "Aku capek, Tuhan," ucapku dengan air mata membasahi pipi. "Aku nggak kuat lagi. Ini bukan ujian tapi ini neraka dunia!" Banyak orang berlalu lalang dibawah sana tanpa tahu aku ada disini berniat akan mengakhiri hidup yang tidak adil ini. Aku tidak