enjoy reading ...
Tanpa menunggu nanti sore, aku segera mengemasi barang-barang dan membiarkan tugasku sebagai customer service terbengkalai. Tidak ada pemindahan tugas pada siapapun karena aku sudah terlanjur malu pada seluruh karyawan kantor. Foto mesumku sudah tersebar dan semua orang kantor memandangku rendah dan jijik. "Eh, si Lilyah itu mau kemana?" bisik rekanku yang duduk di seberang setelah melepas headphone. Rekan sebelahnya juga melepask headphone lalu ikut melirikku. "Kabur kali. Kemesumannya 'kan udah tersebar." "Nggak nyangka gue kalau dia binal banget." "Sama. Mending dia keluar dari kantor ini dari pada ngasih pengaruh buruk sama yang lain." Lalu berkali-kali dering telfon kabel di kubikelku berdering namun aku mengabaikannya. Itu pasti dari para customer maskapai penerbangan yang hendak mengaduhkan keluhannya. Namun aku tetap fokus mengemasih barang-barang ke dalam tas lalu menutup resletingnya dengan cepat. Tanpa berpamitan pada siapapun, aku segera berlari keluar kantor de
Pikirku, untuk apa tetap hidup jika telah kehilangan banyak hal? Kehormatan, keluarga, tunangan, pekerjaan, dan teman. Semua itu tidak lagi kumiliki sejak foto mesumku tersebar. Aku menjadi sarang hujatan dan hinaan orang yang telah melihat foto aku tengah bergumul dengan seorang lelaki tanpa busana. Meski nyatanya itu adalah fitnah yang digunakan untuk menjatuhkan aku. Hingga detik ini aku masih tidak mengetahui siapa pelakunya. Apa motifnya hingga tega membuat harga diriku jatuh sejatuhnya hingga yang tersisa hanya hinaan. Dengan berurai air mata, aku melihat ke bawah gedung. Aku berhasil berdiri di tingkat teratas sebuah apartemen. Kupikir jika mengakhiri hidup adalah jalan terbaik dari pada hidupku tidak berguna sama sekali. "Aku capek, Tuhan," ucapku dengan air mata membasahi pipi. "Aku nggak kuat lagi. Ini bukan ujian tapi ini neraka dunia!" Banyak orang berlalu lalang dibawah sana tanpa tahu aku ada disini berniat akan mengakhiri hidup yang tidak adil ini. Aku tidak
Aku bergegas mengurai pelukan Lois lalu sedikit bergerak ke belakang agar tercipta jarak diantara kami. Malu rasanya jika aku terlihat begitu membutuhkan dia di saat seperti ini. Saat aku rapuh dan lemah karena foto mesumku tersebar. "Kenapa, Ly?" Kepalaku menggeleng dengan tangan mengusap sisa air mata yang membasahi pipi tanpa mau melihat Lois sedikit pun. "Aku janji bakal pegang rahasiamu, Ly. Kamu bisa cerita segalanya. Bukan dipendam sendiri lalu diam-diam naik rooftop apartemen," ucapnya tenang dan lembut. Tidak seperti tadi, tajam dan berintonasi tinggi. "Itu aib, Lois. Nggak ada bagusnya sama sekali," ucapku serak kemudian air mata ini kembali merembes keluar dan buru-buru menyekanya. Lois tidak berucap apapun, dia hanya duduk di depanku sambil menatap wajahku. "Kamu nggak kerja?!" tanyaku sambil mengalihkan perhatian. Kebetulan diluar nampak sudah gelap. "Hari ini aku minta libur. Karena kamu nekat mau bunuh diri. Aku pikir kamu mengalami krisis kepercayaan diri d
“Kopi itu pahit. Tapi kalau minumnya sama kamu, rasanya jadi manis, Ly.” Aku membelalakkan mata dengan gombalan Lois yang didengar banyak orang. Karena dia mengucapkannya dengan suara lantang seolah-olah tidak memiliki urat malu. Beberapa pengunjung tersenyum tipis. Sedang wajahku seperti diusapi saos kentang goreng yang tersaji di hadapan mereka. Akhirnya tanpa mempedulikan Lois, aku berjalan lebih dulu untuk mencari bangku kosong. Lois justru tersenyum ke beberapa pengunjung yang menatapnya. “Itu bini saya. Lagi ngambek karena belum saya belikan tas baru.” Apa??? Lois sinting! Ketika dia duduk dihadapanku dengan wajah slengekannya, aku justru menatap ke arah pemandangan malam hutan pinus di Kopi Daong ini. “Mau pesan apa, Ly?” tanyanya sambil membuka buku menu yang baru dibawakan pramusaji. “Pesan Lois bakar bisa nggak?!” tanyaku kesal. “Oh … bisa itu. Nanti malam.” “Maksudnya?” Dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Nanti malam aku pasti jadi Lois bakar karena terbakar
"Lois, kamu itu siapa sih sebenarnya?!" Tangan Lois yang sedang menyibak gorden kamar mewah resort yang ada di Ciawi ini akhirnya terhenti. Lalu kepalanya menoleh ke arahku."Aku ... ya Lois lah. Emang siapa lagi?""Kamu cuma seniman recehan, kenapa bisa nyewa kamar segini bagusnya? Maaf ya, emang berapa gajimu sebulan jadi seniman di bar and restaurant?!"Wajar jika aku sangsi dengan isi dompet lelaki ini jika dibandingkan dengan biaya sewa kamar ini."Jangan bilang karena menang lotre? Karena tampangmu itu nggak cocok ikut judi online."Lois terkekeh kemudian duduk di tepi ranjang king size ini sambil melihatku."Yang punya resort ini orang baik, Ly.""Orang baik apa orang bodoh yang bisa kamu kibulin?!"Kali ini Lois tertawa sejadi-jadinya bahkan kepalanya sambil geleng-geleng. "Kamu curigaan banget, ya?!""Wajarlah. Aku nggak mau nerima kebaikanmu tapi ujung-ujungnya itu uang nggak benar atau hasil kamu nipu orang."Dia memandangiku dengan seksama, "Wajar zaman sekarang kalau ora
Aku bergegas membuka jendela kaca besar kamar mewah resort ini untuk memastikan jika itu Lois. Berniat menguping apa yang ia bicarakan dengan salah satu pegawai resort.Namun belum sempat mendekat, keduanya justru berpindah tempat.Lalu aku segera mencuci muka dan gosok gigi kemudian keluar kamar untuk mencari tahu apa yang Lois lakukan. Tapi, saat mataku menangkap sepasang resepsionis yang sedang bertugas, langkah kakiku terhenti."Mbak, permisi mau tanya, apa Lois itu emang punya hak khusus kalau mau nginap di resort ini?"Kedua resepsionis itu saling tatap."Lois siapa ya, Mbak?"Nah, mengapa mereka bertanya balik?"Lois yang menempati kamar super deluxe 5 itu lho, Mbak.""Maaf kami tidak mengenal satu demi satu nama pelanggan yang menginap, Mbak.""Lois yang semalam reservasi atas namanya sendiri ke kamar itu. Masak Mbak lupa?""Maaf, Mbak. Resepsionis yang berjaga semalam sudah pulang dan digantikan saya."Aku kembali memutar otak hingga muncul satu ide. "Boleh pinjam buku tamuny
Lois menyentil jidatku sedikit keras, "Kamu pikir aku ada tampang jadi gigolo, heh?!" Tanganku mengusap jidat yang terasa sedikit panas karena ulah Lois, "Kali aja iya. Karena kepepet mungkin." Lois bersedekap sambil menatapku dengan helm yang belum terpakai. "Aku masih bisa nyari nafkah yang halal, Ly. Ngapain nyari yang haram?!" Kemudian dia menyuruhku menaiki motornya dan ia melajukannya sedikit kencang agar kami tiba di kontrakan tepat waktu. Perjalanan selama dua jam dari Bogor menuju Jakarta itu ternyata cukup melelahkan, lalu Lois segera mandi. Dan atas inisiatif sendiri, aku membuatkannya segelas teh hangat. Berbarengan dengan itu dia keluar kamar mandi dengan tubuh yang segar dan aroma sabun yang tercium oleh indra penciumanku. "Buat aku nih?" tanyanya ketika aku menyodorkan teh hangat itu. "Iya lah. Emang buat siapa lagi?" Dia meraihnya dan meminumnya sedikit. "Tumben perhatian? Jangan-jangan kamu mulai cinta sama aku?" Aku memandangnya dengan ekspresi tidak ha
Aku berkali-kali menghela nafas panjang sambil mematut wajah di depan cermin rias kecil milikku. "Ya Tuhan, aku gugup banget." Make up minimalis sudah terias sempurna di wajahku dengan setelan kerja warna abu-abu dengan rok span selutut. Hari ini, aku memenuhi permintaan Lois untuk memenuhi undangan interview di sebuah perusahaan yang berada di depan kantor lamaku. Kantor perusahaan sigaret besar di negara ini. "Ly, udah belum?" itu suara Lois. "Iya, bentar." Atas desakannya, dua hari yang lalu aku mengirim surat lamaran ke kantor perusahaan sigaret tersebut. Dan hari ini aku mendapat undangan interview. Secepat ini, kah? "Buruan! Keburu jalannya macet!" teriaknya dari luar kamarku. Aku segera merapikan keperluan ke dalam tas kerja lalu memantapkan hati jika aku bisa menatap masa depan dan esok hari dengan hati yang lebih lapang. Termasuk bisa menghadapi masalah foto mesumku yang mungkin saja masih tersebar luas. "Ayo, Lois." Lois yang sedang memainkan ponsel sambil bers