enjoy reading ...
"Gimana hasil tes kerjanya, Ly?" tanya Lois sambil menyodorkan helmku. Aku baru keluar dari kantor perusahaan sigaret itu dan menunggu kedatangan Lois usai mengiriminya pesan jika aku sudah selesai interview. "Nanti aku ceritain. Sekarang, ayo ikut aku makan siang. Mau, kan?!" Kepalanya mengangguk lalu menyodorkan kembali kain oranye bermotif bunga tadi padaku. Dia menyuruhku memakainya agar kakiku yang menurutnya indah, tidak mengundang perhatian lelaki lain. Setelah duduk di jok motor maticnya, Lois membelah jalanan ramai ini dengan kecepatan sedang hingga kami tiba di tempat makan siang yang kutuju. Sebuah rumah makan prasmanan yang harganya tidak membuat dompetku terkikis terlalu drastis. "Jadi, kapan kerja?" tanya Lois sambil bersiap melahap menu makan siang pilihannya. "Besok." Kepalanya mengangguk dengan mulut mengunyah makan siang. "Great!" "Tapi aneh, Lois." "Aneh gimana?" "Masak iya cuma interview sekali doang lalu aku dikasih surat kontrak kerja? Langsung dua tahun
"Ngantuk, ya? Maaf, aku pulangnya agak malam." Lois baru menjemputku dari kos Nathasya setelah mengisi acara musik bersama grup bandnya di sebuah kafe. Jarum jam baru saja menunjukkan angka 12 tengah malam. "Aku ngantuk banget," gumamku sambil menahan panas di mata. Tangan Lois terulur membetulkan sedikit anak rambutku lalu aku reflek mengelak. Kemudian dia menyodorkan helmku. Apa maksudnya dengan mulai berani menyentuh-nyentuh bagian tubuhku tanpa izin? Meski dia suamiku tapi aku tidak menganggapnya lebih dari itu. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang kakak yang baik. Itu saja. "Kalau ngantuk, pegangan pinggangku, Ly. Biar kamu nggak jatuh," ucapnya ketika aku sudah duduk di jok motornya. "Kamu cukup jalan pelan aja, Lois." "Kalau terlalu pelan kapan sampai kontrakannya?" "Pokoknya pelan-pelan aja!" Dan soal ajakan Nathasya yang tadi memintaku untuk menjodohkan Lois dengan mantan kekasihnya, haruskah aku mengiyakan atau tidak? *** Pagi ini, aku sudah siap dengan setel
"Boleh gabung?!"Vela dan Ishak yang sedang duduk berhadapan langsung mendongak. Lalu aku menunjukkan seulas senyum ramah yang amat terpaksa kepada keduanya.Mata Vela dan Ishak membola terkejut ketika melihat kedatanganku. Lalu dengan tidak tahu malu, aku segera menduduki kursi kosong di dekat Ishak. Sengaja aku mendekatkan dudukku di sebelah Ishak dengan emosi yang berusaha mati-matian kutahan."Kebetulan banget ya bisa ketemu kalian disini? Udah lama nggak jumpa."Vela menatapku dengan ekspresi terkejut. Sedang Ishak justru menunduk."Gimana kabarmu, Shak?""Baik.""Kamu lagi pacaran sama Vela?" tanyaku santai walau sebenarnya hatiku mulai disambangi petir menggelegar.Ishak tidak menjawab tapi Vela yang langsung bersuara."Iya. Kenapa emangnya?""Wow ... sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang?" aku memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat dengan hati geram."Kita nggak ada kewajiban buat bilang ke Kak Lily kapan jadian.""Duh, sombongnya. Mentang-mentang aku batal nikah sama Ish
'Lois sedang memanggil ...' Sudah setengah jam lamanya aku duduk di lobby kantor sejak jam pulang kerja. Aku memiliki alasan mengapa tidak segera pulang. Padahal rekan-rekan kerja yang lain berbondong-bondong ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. 'Lois sedang memanggil ...' Lagi, aku mengabaikan panggilan Lois untuk kesekian kalinya. Aku tahu, dia pasti menghubungi mengapa aku belum keluar juga dari kantor. Hanya saja, saat ini aku sedang ingin sendiri. Tidak ingin bicara, bercerita, atau ditanyai apapun. Benar-benar hanya ingin diam sambil merasakan sakitnya hati karena kejadian siang tadi. Kejadian saat aku bertemu Vela dan Ishak saat makan siang lalu mereka mendeklarasikan rencana pertunangannya dengan pongah. Miris! Aku masih mencintai mantan tunanganku yang kini justru akan bertunangan dengan adikku sendiri. Padahal perpisahan kami karena foto mesumku masih belum terbukti kebenarannya. Tapi Ishak lebih memilih tutup mata dan telinga lalu menjalin hubungan dengan a
'Pertanyaannya ganti Mama balik. Apa jadinya kalau Ishak tetap nggak mau balikan sama kamu meski kebenaran foto mesum itu terungkap, Ly?' Aku kembali menengadah menatap langit sore sambil mengulang-ulang kalimat ajaib Mama yang membuatku berpikir ulang untuk memperjuangkan Ishak. Apa yang dikatakan Mama ada benarnya, belum tentu Ishak sudi kembali padaku. Kemarin saat kami bertemu di rumah makan saja sikapnya cukup menunjukkan padaku bahwa dia tidak akan kembali padaku meski kebenaran foto mesum itu terkuak. Entah dia yang sudah tidak lagi mencintaiku atau dia yang terlanjur malu. "Ly, kamu dari mana aja? Kenapa nggak nelfon kalau pulang sendiri?" Lois langsung menghampiriku begitu aku tiba di kontrakan. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran dengan kedua tangan memegang lenganku. Tapi tanganku kembali menurunkan kedua tangannya karena merasa risih. "Maaf." "Aku khawatir kamu nekat lagi. Beberapa hari ini kamu berubah. Kamu banyak diam dan nggak mau bilang ada apa
"Jadi, kamu ceritanya belum benar-benar bisa move on?" tanya Lois. Aku duduk di sebelahnya sambil melihat lalu lalang kendaraan di depan kontrakan kami. Tadi, setelah adegan dramatis memeluk Lois dari belakang agar tidak meninggalkanku sendirian di kontrakan, dia mengajakku duduk di teras. Lalu aku mencurahkan semua isi hati padanya. Mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan padanya apa yang menjadi beban pikiran ini. Atau Lois akan meninggalkanku sendirian di kontrakan dengan autophobia ini. "Belum, Lois." "Kenapa nggak nyoba move on?" "Andai aku bisa, Lois. Udah aku lakukan dari kemarin." "Andai kamu mau mencoba, Ly," Lois membalik ucapanku. Aku menghela nafas panjang dengan pandangan lurus ke depan. Menyandarkan punggung ke dinding teras kontrakan dengan pakaian kerja yang masih melekat di raga. "Kamu cuma kurang usaha buat lupain Ishak. Padahal semua itu bisa diusahakan asal ada niat." "Aku masih nggak bisa terima kenyataan harus kehilangan Ishak, Lois. Apalagi aku haru
Belum usai menguping, sebuah tepukan membuatku terkejut. "Kamu ini karyawan baru, kan?! Kok nguping?" Aku langsung berbalik badan kemudian map yang kudekap di dada terlepas dari tangan. Membuat isinya terburai ke lantai. Bodohnya menguping pembicaraan para manajer tanpa melihat sekitar dan tahu-tahu ada seseorang yang memergoki kelakuanku. Astaga, aku tidak mau dipecat secepat ini. "Maaf ... maafkan saya," ucapku dengan menundukkan kepala berulang kali. "Jangan nguping pemicaraan atasan, nggak baik. Kamu itu staf dan kalau sampai ada pembicaraan yang nggak benar di kalanganmu, nanti itu membahayakan karirmu sendiri," lelaki dengan jas hitam itu memperingatkan. Dan aku tidak berani menatap wajahnya sedikit pun. Malu dan takut lebih tepatnya. "Kamu mau laporan atau gimana?" "S ... saya ... mau mengajukan laporan komplain dari customer, Pak." "Ya sudah, ikut saya." Lelaki itu mengetuk pintu dan membukanya setelah mendapat izin dari kepala pemasaran. Aku pun mengekori dari be
"Daniel itu kerjanya ya emang jadi mata-mata. Ngulik-ngulik informasi, Ly.""Kamu kenal dimana?" tanyaku ketika dia sudah kembali duduk di kursinya. Lois kembali masuk ke dalam kafe setelah mengantar kepergian Daniel."Ehm ... kebetulan dia itu temannya temanku."Oh, pantas saja sikap Daniel begitu formal pada Lois ketika di parkiran tadi. Aku kira mereka sahabat baik."Lois, biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu harganya berapa?" "Gratis.""Hah?! Yang bener kamu? Mana ada orang mau capek-capek ngulik-ngulik informasi tapi nggak ada duitnya?""Maksudnya, aku yang bayarin."Aku yakin jika biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu tidak murah dan mengapa Lois begitu loyal padaku dengan menggratiskan seluruh biayanya?"Kamu lagi ada duit, Lois?""Iya, duit menang lotre kemarin," ucapnya teramat santai. "Lotre lagi? Emang kamu menang berapa puuh juta?""Yuk lah, kita pulang, Ly. Aku mau berangkat kerja," bukannya menjawab pertanyaanku, Lois justru mengajak pulang.Hari sudah hampir gelap dan