enjoy reading ...
"Jadi, kamu ceritanya belum benar-benar bisa move on?" tanya Lois. Aku duduk di sebelahnya sambil melihat lalu lalang kendaraan di depan kontrakan kami. Tadi, setelah adegan dramatis memeluk Lois dari belakang agar tidak meninggalkanku sendirian di kontrakan, dia mengajakku duduk di teras. Lalu aku mencurahkan semua isi hati padanya. Mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan padanya apa yang menjadi beban pikiran ini. Atau Lois akan meninggalkanku sendirian di kontrakan dengan autophobia ini. "Belum, Lois." "Kenapa nggak nyoba move on?" "Andai aku bisa, Lois. Udah aku lakukan dari kemarin." "Andai kamu mau mencoba, Ly," Lois membalik ucapanku. Aku menghela nafas panjang dengan pandangan lurus ke depan. Menyandarkan punggung ke dinding teras kontrakan dengan pakaian kerja yang masih melekat di raga. "Kamu cuma kurang usaha buat lupain Ishak. Padahal semua itu bisa diusahakan asal ada niat." "Aku masih nggak bisa terima kenyataan harus kehilangan Ishak, Lois. Apalagi aku haru
Belum usai menguping, sebuah tepukan membuatku terkejut. "Kamu ini karyawan baru, kan?! Kok nguping?" Aku langsung berbalik badan kemudian map yang kudekap di dada terlepas dari tangan. Membuat isinya terburai ke lantai. Bodohnya menguping pembicaraan para manajer tanpa melihat sekitar dan tahu-tahu ada seseorang yang memergoki kelakuanku. Astaga, aku tidak mau dipecat secepat ini. "Maaf ... maafkan saya," ucapku dengan menundukkan kepala berulang kali. "Jangan nguping pemicaraan atasan, nggak baik. Kamu itu staf dan kalau sampai ada pembicaraan yang nggak benar di kalanganmu, nanti itu membahayakan karirmu sendiri," lelaki dengan jas hitam itu memperingatkan. Dan aku tidak berani menatap wajahnya sedikit pun. Malu dan takut lebih tepatnya. "Kamu mau laporan atau gimana?" "S ... saya ... mau mengajukan laporan komplain dari customer, Pak." "Ya sudah, ikut saya." Lelaki itu mengetuk pintu dan membukanya setelah mendapat izin dari kepala pemasaran. Aku pun mengekori dari be
"Daniel itu kerjanya ya emang jadi mata-mata. Ngulik-ngulik informasi, Ly.""Kamu kenal dimana?" tanyaku ketika dia sudah kembali duduk di kursinya. Lois kembali masuk ke dalam kafe setelah mengantar kepergian Daniel."Ehm ... kebetulan dia itu temannya temanku."Oh, pantas saja sikap Daniel begitu formal pada Lois ketika di parkiran tadi. Aku kira mereka sahabat baik."Lois, biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu harganya berapa?" "Gratis.""Hah?! Yang bener kamu? Mana ada orang mau capek-capek ngulik-ngulik informasi tapi nggak ada duitnya?""Maksudnya, aku yang bayarin."Aku yakin jika biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu tidak murah dan mengapa Lois begitu loyal padaku dengan menggratiskan seluruh biayanya?"Kamu lagi ada duit, Lois?""Iya, duit menang lotre kemarin," ucapnya teramat santai. "Lotre lagi? Emang kamu menang berapa puuh juta?""Yuk lah, kita pulang, Ly. Aku mau berangkat kerja," bukannya menjawab pertanyaanku, Lois justru mengajak pulang.Hari sudah hampir gelap dan
"Ly! Lo kok tidur di meja, sih?!" Nathasya berseru lirih sambil mengguncang lenganku. Mau tidak mau akhirnya aku membuka mata dengan wajah yang teramat mengantuk. "Sorry, Nath. Gue ngantuk berat." "Kak Lois sama yang lain udah mau selesai. Yuk, kita balik duluan." Mataku menatap ke arah panggung mini tempat Lois dan teman satu bandnya baru saja selesai menyelesaikan tugas untuk menghibur para pengunjung kafe and restaurant ini. Mereka masih menata perlengkapan musik dan sang penyanyi memberi ucapan terima kasih serta salam perpisahan. "Yuk, Ly. Buruan! Keburu Kak Lois dan yang lain ke parkiran." Tadi, aku menahan Nathasya untuk kembali ke kos dan mengajaknya menonton Lois dan kawan-kawan menghibur para pengunjung. Aku ingin tahu bagaimana lelaki yang bergelar suamiku itu saat bermusik. Hasilnya, luar biasa! Lois seperti memiliki jiwa dan bakat seni musik yang tinggi. Permainan biolanya tidak buruk sama sekali, bahkan sangat luar biasa. Aku dan Nathasya sengaja memilih tempa
"Kak Lois sama Rily tuh kenal waktu lagi sama-sama ngisi acara. Karena band Kak Lois waktu itu ditinggal vokalisnya mengundurkan diri, lalu masuk lah Rily.""Awalnya kerja bareng lalu pelan-pelan mereka jadian. Bahkan waktu Rily ikut audisi nyanyi tuh yang nganter sama nunggu sampai selesai tuh, ya Kak Lois.""Bahkan Kak Lois rela nggak kerja berhari-hari demi nganter Rily sampai masuk sepuluh besar. Pokoknya sweat banget lah mereka berdua, Ly."Nathasya bercerita tentang masa lalu percintaan Lois dan Rily yang begitu manis. "Tapi, entah ada angin apa tiba-tiba Kak Lois putus sama Rily. Sampai Rily nggak mau jadi vokalis band Kak Lois lagi. Kalau Kak Lois ditanyai, bilangnya selalu udah beda prinsip.""Beda prinsip tapi kalau udah kayak tadi mereka kelihatan banget masih saling mencintai. Tatapan mata, perhatian, sama perlakuan Kak Lois ke Rily tuh kayak bau-bau CLBK."Mendengar perkataan Nathasya, aku yakin jika Lois memutus hubungannya dengan Rily bukan karena aku. Sebab sudah jelas
"Buruan masuk, Ly. Nanti satpamnya berubah pikiran.""Tapi kamu belum jawab pertanyaanku, Lois."Bukannya menjawab, Lois justru mendorong tubuhku memasuki pelataran kantor lalu ia mengambil kartunya dari tangan salah satu satpam. "Selamat pagi, Den. Hati-hati di jalan," kedua satpam itu memberi salam sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Tunggu! Mengapa satpam itu begitu ramah pada Lois? Dan, apa yang kedua satpam tadi katakan?!Den?Namanya Lois tapi mengapa dipanggil Den?! Denny Caknan kah maksudnya?Lalu Lois membisikkan sesuatu pada kedua satpam itu kemudian melenggang pergi dengan motor matic-nya. Setelah yakin dia sudah pergi, aku menghampiri kedua satpam itu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Karena sudah banyak sekali hal yang membuatku sering bertanya-tanya tentang jati diri Lois yang sebenarnya. Memangnya, siapa dia?"Permisi, kalian kenal Lois?" "Lois siapa, Mbak?" "Yang nganter aku tadi kan namanya Lois. Kalian berteman atau gimana? Tidak ada jawaban yang keluar d
Pesan dariku untuk Lois. [Aku ada perlu sama temanku. Jadi, kamu nggak usah repot-repot jemput aku, Lois.] Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menaiki ojek online yang akan membawaku menuju tempat Mama menungguku. Aku begitu penasaran dengan hal apa yang ingin Mama katakan padaku. Katanya, ini berhubungan dengan Vela dan Ishak. Meski aku sudah menikah dengan Lois, namun cintaku untuk Ishak masihlah besar. Karena mantan tunanganku itu memilih meninggalkanku untuk satu hal yang bukan berasal dari kesalahannya. Wajar, jika aku masih menggilai dirinya. Di sebuah rumah makan yang berada di Cipete, ojek online itu menurunkanku. Bergegas aku masuk ke dalam rumah makan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hingga menemukan sosok Mama yang sedang duduk sendiri sambil menelfon seseorang. "Ma, maaf. Agak telat." Mama segera mengakhiri panggilannya tanpa salam lalu mempersilahkan aku duduk dihadapannya. "Mau pesan makan apa, Ly?" "N
"Kenapa kamu nggak angkat telfonku tadi? Kamu dimana? Lagi ketemu sama siapa?" Lois bertanya tanpa jeda seperti gerbong kereta api. Dia baru saja tiba dari bekerja dan langsung duduk di depanku yang menunggunya di teras kontrakan. "Aku tadi ketemu Mama," akuku. Lagi pula untuk apa menyembunyikan pertemuanku dengan Mama padanya?! "Harusnya kamu bilang. Seenggaknya ngirim pesan biar aku nggak bingung kamu dimana? Nggak lucu 'kan waktu aku lagi main gitar tiba-tiba ada kabar nggak enak dari kamu." Lois sudah tahu sekali masalah apa yang kualami hingga membuatku harus menikah dengannya. "Maaf, Lois. Rencanaku tadi mendadak. Kangen rumah dan Mama aja." "Ada masalah? Kok wajahmu sedih, Ly?" Lois cukup peka dengan apa yang terjadi padaku. Matanya menelisik wajahku yang menunjukkan ekspresi kesedihan. Tidak ada senyuman, mata berbinar bahagia, atau nada bicara yang riang gembira. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban tanpa menatapnya. "Ada apa emangnya? Kalau mau, kamu bi