enjoy reading ...
"Ly! Lo kok tidur di meja, sih?!" Nathasya berseru lirih sambil mengguncang lenganku. Mau tidak mau akhirnya aku membuka mata dengan wajah yang teramat mengantuk. "Sorry, Nath. Gue ngantuk berat." "Kak Lois sama yang lain udah mau selesai. Yuk, kita balik duluan." Mataku menatap ke arah panggung mini tempat Lois dan teman satu bandnya baru saja selesai menyelesaikan tugas untuk menghibur para pengunjung kafe and restaurant ini. Mereka masih menata perlengkapan musik dan sang penyanyi memberi ucapan terima kasih serta salam perpisahan. "Yuk, Ly. Buruan! Keburu Kak Lois dan yang lain ke parkiran." Tadi, aku menahan Nathasya untuk kembali ke kos dan mengajaknya menonton Lois dan kawan-kawan menghibur para pengunjung. Aku ingin tahu bagaimana lelaki yang bergelar suamiku itu saat bermusik. Hasilnya, luar biasa! Lois seperti memiliki jiwa dan bakat seni musik yang tinggi. Permainan biolanya tidak buruk sama sekali, bahkan sangat luar biasa. Aku dan Nathasya sengaja memilih tempa
"Kak Lois sama Rily tuh kenal waktu lagi sama-sama ngisi acara. Karena band Kak Lois waktu itu ditinggal vokalisnya mengundurkan diri, lalu masuk lah Rily.""Awalnya kerja bareng lalu pelan-pelan mereka jadian. Bahkan waktu Rily ikut audisi nyanyi tuh yang nganter sama nunggu sampai selesai tuh, ya Kak Lois.""Bahkan Kak Lois rela nggak kerja berhari-hari demi nganter Rily sampai masuk sepuluh besar. Pokoknya sweat banget lah mereka berdua, Ly."Nathasya bercerita tentang masa lalu percintaan Lois dan Rily yang begitu manis. "Tapi, entah ada angin apa tiba-tiba Kak Lois putus sama Rily. Sampai Rily nggak mau jadi vokalis band Kak Lois lagi. Kalau Kak Lois ditanyai, bilangnya selalu udah beda prinsip.""Beda prinsip tapi kalau udah kayak tadi mereka kelihatan banget masih saling mencintai. Tatapan mata, perhatian, sama perlakuan Kak Lois ke Rily tuh kayak bau-bau CLBK."Mendengar perkataan Nathasya, aku yakin jika Lois memutus hubungannya dengan Rily bukan karena aku. Sebab sudah jelas
"Buruan masuk, Ly. Nanti satpamnya berubah pikiran.""Tapi kamu belum jawab pertanyaanku, Lois."Bukannya menjawab, Lois justru mendorong tubuhku memasuki pelataran kantor lalu ia mengambil kartunya dari tangan salah satu satpam. "Selamat pagi, Den. Hati-hati di jalan," kedua satpam itu memberi salam sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Tunggu! Mengapa satpam itu begitu ramah pada Lois? Dan, apa yang kedua satpam tadi katakan?!Den?Namanya Lois tapi mengapa dipanggil Den?! Denny Caknan kah maksudnya?Lalu Lois membisikkan sesuatu pada kedua satpam itu kemudian melenggang pergi dengan motor matic-nya. Setelah yakin dia sudah pergi, aku menghampiri kedua satpam itu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Karena sudah banyak sekali hal yang membuatku sering bertanya-tanya tentang jati diri Lois yang sebenarnya. Memangnya, siapa dia?"Permisi, kalian kenal Lois?" "Lois siapa, Mbak?" "Yang nganter aku tadi kan namanya Lois. Kalian berteman atau gimana? Tidak ada jawaban yang keluar d
Pesan dariku untuk Lois. [Aku ada perlu sama temanku. Jadi, kamu nggak usah repot-repot jemput aku, Lois.] Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menaiki ojek online yang akan membawaku menuju tempat Mama menungguku. Aku begitu penasaran dengan hal apa yang ingin Mama katakan padaku. Katanya, ini berhubungan dengan Vela dan Ishak. Meski aku sudah menikah dengan Lois, namun cintaku untuk Ishak masihlah besar. Karena mantan tunanganku itu memilih meninggalkanku untuk satu hal yang bukan berasal dari kesalahannya. Wajar, jika aku masih menggilai dirinya. Di sebuah rumah makan yang berada di Cipete, ojek online itu menurunkanku. Bergegas aku masuk ke dalam rumah makan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hingga menemukan sosok Mama yang sedang duduk sendiri sambil menelfon seseorang. "Ma, maaf. Agak telat." Mama segera mengakhiri panggilannya tanpa salam lalu mempersilahkan aku duduk dihadapannya. "Mau pesan makan apa, Ly?" "N
"Kenapa kamu nggak angkat telfonku tadi? Kamu dimana? Lagi ketemu sama siapa?" Lois bertanya tanpa jeda seperti gerbong kereta api. Dia baru saja tiba dari bekerja dan langsung duduk di depanku yang menunggunya di teras kontrakan. "Aku tadi ketemu Mama," akuku. Lagi pula untuk apa menyembunyikan pertemuanku dengan Mama padanya?! "Harusnya kamu bilang. Seenggaknya ngirim pesan biar aku nggak bingung kamu dimana? Nggak lucu 'kan waktu aku lagi main gitar tiba-tiba ada kabar nggak enak dari kamu." Lois sudah tahu sekali masalah apa yang kualami hingga membuatku harus menikah dengannya. "Maaf, Lois. Rencanaku tadi mendadak. Kangen rumah dan Mama aja." "Ada masalah? Kok wajahmu sedih, Ly?" Lois cukup peka dengan apa yang terjadi padaku. Matanya menelisik wajahku yang menunjukkan ekspresi kesedihan. Tidak ada senyuman, mata berbinar bahagia, atau nada bicara yang riang gembira. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban tanpa menatapnya. "Ada apa emangnya? Kalau mau, kamu bi
Aku tidak tahu, sebenarnya diriku ini berdiri sebagai apa? Sebagai diriku sendiri atau sebagai istri? Jika berdiri sebagai diriku sendiri, lantas mengapa aku merasa tidak terima jika Lois menduakanku dengan Rily? Tapi jika sebagai istri, mengapa aku masih saja memikirkan Ishak? "Ly, hampir jam sebelas malam. Apa lo nggak ngantuk?" tanya Nathasya seraya menguap. Kami masih duduk di teras lantai dua kosnya. Jalanan di bawah juga sudah lengang, hampir tidak ada pengendara yang lewat. "Entah kenapa gue belum ngantuk aja, Nath." "Mending dibuat rebahan aja, Ly. Soalnya Kak Lois pasti datangnya malam lagi." Kepalaku mengangguk dengan senyum setipis kapas. Berusaha terlihat baik-baik saja meski ... hatiku entah mengapa meronta seperti ini. "Dia pasti nganterin Rily pulang dulu. Mungkin lo baru dijemput di atas jam dua belas lagi." "Iya." Setelah Nathasya meninggalkanku di teras lantai dua sendirian, aku mengalihkan pikiran dengan mengulir isi ponsel. Tidak ada pesan yang berarti
[Lois : Mata-mata yang kusewa udah dapat semua informasi yang kamu butuhin, Ly.] Satu baris kalimat yang Lois tulis berhasil mengalihkan semua perhatianku. Bahkan aku tidak mendengar apa yang sedang Gia katakan. "Ly, lo dengerin gue nggak, sih?!" tanyanya sambil menepuk pundakku. Aku sedikit berjingkat lalu menatapnya, "I ... iya. Sampai mana, Gi?" Gia menghela nafas panjang lalu menutup resleting tasnya, "Gue dari tadi nanya. Lo mau langsung pulang atau beli makan malam bareng gue. Tapi lo diem kayak orang budeg!" Senyum kaku tercipta di bibirku ketika menanggapi kekesalannya akibat otakku sudah terlanjur tenggelam dalam pesan singkat Lois. "Gue ... langsung pulang, Gi." "Yuk ke bawah bareng. Biar bisa pesen ojek sama-sama." Ting ... Lalu notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku. [Lois : Langsung pulang kerja, kan?! Kalau iya, aku tunggu di tempat biasanya. Balas.] Apa? Pesan ojek bersama Gia? Masalahnya Lois menawarkan jemputan dan jika Gia melihat kami, alasan apa yan
"Ly, mau kemana?! Tenangin dirimu!" Lois segera menahan tanganku ketika kakiku terus melangkah keluar dari kafe tempat kami bertemu Daniel. Daniel, si mata-mata yang Lois sewa untuk menyelidiki tabir siapa yang menjebakku dalam foto mesum itu, mengatakan satu hal yang membuat duniaku terguncang. "Tenang katamu?! Harusnya kamu mikir, Lois! Nggak ada ceritanya orang difitnah saudara sendiri lalu hidupnya bakal tenang!" pekikku sambil menunjuk wajahnya. Kuluapkan semua emosi yang menggulung hati dan pikiran hingga tak tahu malu padahal kami masih berada di halaman kafe. "Iya, aku tahu. Aku tahu gimana hancurnya kamu sekarang. Tapi nggak ada ceritanya membalas api dengan api lalu masalahmu selesai. Kamu harus tenang lalu atur strategi." "Aku nggak butuh ceramahmu, Lois!" Kusentak kasar tangannya yang mencekal lenganku namun Lois kembali mencekalnya dengan lebih kuat. "Oke, kamu nggak butuh ceramahku! Tapi seenggaknya kamu mikir satu aja. Apa setelah kamu bilang ke Papa Mamamu tenta