enjoy reading ...
"Buruan masuk, Ly. Nanti satpamnya berubah pikiran.""Tapi kamu belum jawab pertanyaanku, Lois."Bukannya menjawab, Lois justru mendorong tubuhku memasuki pelataran kantor lalu ia mengambil kartunya dari tangan salah satu satpam. "Selamat pagi, Den. Hati-hati di jalan," kedua satpam itu memberi salam sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Tunggu! Mengapa satpam itu begitu ramah pada Lois? Dan, apa yang kedua satpam tadi katakan?!Den?Namanya Lois tapi mengapa dipanggil Den?! Denny Caknan kah maksudnya?Lalu Lois membisikkan sesuatu pada kedua satpam itu kemudian melenggang pergi dengan motor matic-nya. Setelah yakin dia sudah pergi, aku menghampiri kedua satpam itu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Karena sudah banyak sekali hal yang membuatku sering bertanya-tanya tentang jati diri Lois yang sebenarnya. Memangnya, siapa dia?"Permisi, kalian kenal Lois?" "Lois siapa, Mbak?" "Yang nganter aku tadi kan namanya Lois. Kalian berteman atau gimana? Tidak ada jawaban yang keluar d
Pesan dariku untuk Lois. [Aku ada perlu sama temanku. Jadi, kamu nggak usah repot-repot jemput aku, Lois.] Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menaiki ojek online yang akan membawaku menuju tempat Mama menungguku. Aku begitu penasaran dengan hal apa yang ingin Mama katakan padaku. Katanya, ini berhubungan dengan Vela dan Ishak. Meski aku sudah menikah dengan Lois, namun cintaku untuk Ishak masihlah besar. Karena mantan tunanganku itu memilih meninggalkanku untuk satu hal yang bukan berasal dari kesalahannya. Wajar, jika aku masih menggilai dirinya. Di sebuah rumah makan yang berada di Cipete, ojek online itu menurunkanku. Bergegas aku masuk ke dalam rumah makan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hingga menemukan sosok Mama yang sedang duduk sendiri sambil menelfon seseorang. "Ma, maaf. Agak telat." Mama segera mengakhiri panggilannya tanpa salam lalu mempersilahkan aku duduk dihadapannya. "Mau pesan makan apa, Ly?" "N
"Kenapa kamu nggak angkat telfonku tadi? Kamu dimana? Lagi ketemu sama siapa?" Lois bertanya tanpa jeda seperti gerbong kereta api. Dia baru saja tiba dari bekerja dan langsung duduk di depanku yang menunggunya di teras kontrakan. "Aku tadi ketemu Mama," akuku. Lagi pula untuk apa menyembunyikan pertemuanku dengan Mama padanya?! "Harusnya kamu bilang. Seenggaknya ngirim pesan biar aku nggak bingung kamu dimana? Nggak lucu 'kan waktu aku lagi main gitar tiba-tiba ada kabar nggak enak dari kamu." Lois sudah tahu sekali masalah apa yang kualami hingga membuatku harus menikah dengannya. "Maaf, Lois. Rencanaku tadi mendadak. Kangen rumah dan Mama aja." "Ada masalah? Kok wajahmu sedih, Ly?" Lois cukup peka dengan apa yang terjadi padaku. Matanya menelisik wajahku yang menunjukkan ekspresi kesedihan. Tidak ada senyuman, mata berbinar bahagia, atau nada bicara yang riang gembira. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban tanpa menatapnya. "Ada apa emangnya? Kalau mau, kamu bi
Aku tidak tahu, sebenarnya diriku ini berdiri sebagai apa? Sebagai diriku sendiri atau sebagai istri? Jika berdiri sebagai diriku sendiri, lantas mengapa aku merasa tidak terima jika Lois menduakanku dengan Rily? Tapi jika sebagai istri, mengapa aku masih saja memikirkan Ishak? "Ly, hampir jam sebelas malam. Apa lo nggak ngantuk?" tanya Nathasya seraya menguap. Kami masih duduk di teras lantai dua kosnya. Jalanan di bawah juga sudah lengang, hampir tidak ada pengendara yang lewat. "Entah kenapa gue belum ngantuk aja, Nath." "Mending dibuat rebahan aja, Ly. Soalnya Kak Lois pasti datangnya malam lagi." Kepalaku mengangguk dengan senyum setipis kapas. Berusaha terlihat baik-baik saja meski ... hatiku entah mengapa meronta seperti ini. "Dia pasti nganterin Rily pulang dulu. Mungkin lo baru dijemput di atas jam dua belas lagi." "Iya." Setelah Nathasya meninggalkanku di teras lantai dua sendirian, aku mengalihkan pikiran dengan mengulir isi ponsel. Tidak ada pesan yang berarti
[Lois : Mata-mata yang kusewa udah dapat semua informasi yang kamu butuhin, Ly.] Satu baris kalimat yang Lois tulis berhasil mengalihkan semua perhatianku. Bahkan aku tidak mendengar apa yang sedang Gia katakan. "Ly, lo dengerin gue nggak, sih?!" tanyanya sambil menepuk pundakku. Aku sedikit berjingkat lalu menatapnya, "I ... iya. Sampai mana, Gi?" Gia menghela nafas panjang lalu menutup resleting tasnya, "Gue dari tadi nanya. Lo mau langsung pulang atau beli makan malam bareng gue. Tapi lo diem kayak orang budeg!" Senyum kaku tercipta di bibirku ketika menanggapi kekesalannya akibat otakku sudah terlanjur tenggelam dalam pesan singkat Lois. "Gue ... langsung pulang, Gi." "Yuk ke bawah bareng. Biar bisa pesen ojek sama-sama." Ting ... Lalu notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku. [Lois : Langsung pulang kerja, kan?! Kalau iya, aku tunggu di tempat biasanya. Balas.] Apa? Pesan ojek bersama Gia? Masalahnya Lois menawarkan jemputan dan jika Gia melihat kami, alasan apa yan
"Ly, mau kemana?! Tenangin dirimu!" Lois segera menahan tanganku ketika kakiku terus melangkah keluar dari kafe tempat kami bertemu Daniel. Daniel, si mata-mata yang Lois sewa untuk menyelidiki tabir siapa yang menjebakku dalam foto mesum itu, mengatakan satu hal yang membuat duniaku terguncang. "Tenang katamu?! Harusnya kamu mikir, Lois! Nggak ada ceritanya orang difitnah saudara sendiri lalu hidupnya bakal tenang!" pekikku sambil menunjuk wajahnya. Kuluapkan semua emosi yang menggulung hati dan pikiran hingga tak tahu malu padahal kami masih berada di halaman kafe. "Iya, aku tahu. Aku tahu gimana hancurnya kamu sekarang. Tapi nggak ada ceritanya membalas api dengan api lalu masalahmu selesai. Kamu harus tenang lalu atur strategi." "Aku nggak butuh ceramahmu, Lois!" Kusentak kasar tangannya yang mencekal lenganku namun Lois kembali mencekalnya dengan lebih kuat. "Oke, kamu nggak butuh ceramahku! Tapi seenggaknya kamu mikir satu aja. Apa setelah kamu bilang ke Papa Mamamu tenta
Lois tersenyum lalu menggeleng. "Bukan apa-apa kok, Ly." Lois tersenyum lalu menilik jam tangannya. "Yuk, aku anter ke kosnya Nathasya." Ini masih terlalu sore dan Lois sudah menitipkanku di kos Nathasya. Padahal biasanya dia akan berangkat bekerja pukul tujuh malam. Aku yakin jika yang tadi sedang ditelfon Lois adalah mantan kekasihnya. Dia akan menjemput mantan kekasihnya itu setelah menurunkanku di kos Nathasya. Lalu mereka akan pergi bekerja bersama-sama. Indah dan manis sekali. Tidak seperti nasibku yang kini harus sendiri dan terjebak dalam pernikahan yang tidak kuharapkan bersama Lois. Sepanjang perjalanan menuju kos Nathasya, aku duduk di jok motor Lois sambil menjaga jarak. Tidak ada percakapan sama sekali diantara kami. Aku sibuk dengan pemikiranku sendiri tentang penjelasan Daniel tadi sore. Bahwa Vela adalah dalang utama dibalik hancurnya rencana pernikahanku dengan Ishak. Dan aku berani jamin jika Vela sebenarnya ingin memiliki Ishak namun dengan cara yang 'mura
"Karena ... " Lois tidak melanjutkan ucapannya dan hanya tersenyum. Namun kelingkingnya masih terulur dihadapanku. "Pilihannya ada dua, Ly. Aku bakal serahin flashdisk ini ke kamu lalu bantu kamu membuka segalanya ketika Vela sama Ishak bertunangan. Atau ... maaf, aku nggak bisa serahin flashdisk ini ke kamu dan nggak akan bantuin kamu lagi untuk membalas perbuatannya Vela." Keningku berkerut dalam sembari menatapnya. "Ini nggak adil, Lois!" "Aku cuma nagih janjimu aja. Bukannya kemarin kamu bilang nggak bakal balik ke Ishak setelah kenyataan foto mesum yang menjebak kamu terbongkar?" Aku hanya bisa menunjukkan ekspresi kesal karena pilihan yang Lois tawarkan. "Kalau aku nggak boleh balik ke Ishak, lalu apa efeknya buat kamu?!" Kedua mata Lois menatapku dalam lalu dia menurunkan kelingkingnya sambil menghela nafas. "Ya udah, aku buang aja flashdisknya." Tangan Lois segera menyambar flashdisk itu lalu berdiri. Namun aku segera berdiri dan mencekal pergelangan tangannya. Membua
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.