enjoy reading ...
"Karena ... " Lois tidak melanjutkan ucapannya dan hanya tersenyum. Namun kelingkingnya masih terulur dihadapanku. "Pilihannya ada dua, Ly. Aku bakal serahin flashdisk ini ke kamu lalu bantu kamu membuka segalanya ketika Vela sama Ishak bertunangan. Atau ... maaf, aku nggak bisa serahin flashdisk ini ke kamu dan nggak akan bantuin kamu lagi untuk membalas perbuatannya Vela." Keningku berkerut dalam sembari menatapnya. "Ini nggak adil, Lois!" "Aku cuma nagih janjimu aja. Bukannya kemarin kamu bilang nggak bakal balik ke Ishak setelah kenyataan foto mesum yang menjebak kamu terbongkar?" Aku hanya bisa menunjukkan ekspresi kesal karena pilihan yang Lois tawarkan. "Kalau aku nggak boleh balik ke Ishak, lalu apa efeknya buat kamu?!" Kedua mata Lois menatapku dalam lalu dia menurunkan kelingkingnya sambil menghela nafas. "Ya udah, aku buang aja flashdisknya." Tangan Lois segera menyambar flashdisk itu lalu berdiri. Namun aku segera berdiri dan mencekal pergelangan tangannya. Membua
"Pergi kamu, Kak!" Tetiba Vela mendorong tubuhku dari hadapan Ishak hingga hampir terjungkal. Lalu aku menatap Vela yang menutupi Ishak dari pandanganku. Kentara sekali jika adikku itu sangat melindungi mantan tunanganku yang sebentar lagi akan berpindah gelar menjadi tunangan adikku. Wajahnya terlihat marah karena merasa aku mengancam posisinya di hati Ishak. Senyumku terpampang menang dihadapan Vela. Sebagai bentuk perlawanan bahwa aku sama sekali tidak selemah yang ia bayangkan. Aku akan merubah posisi permainan dengan aku menjadi ratunya dan dia prajuritnya. "Kenapa marah-marah, Vel? Takut ya kalau kedokmu terbongkar?" "Aku nggak punya kedok! Aku juga bukan penipu seperti yang kamu katakan, Kak!" Ishak menarik Vela lalu memberi kode agar tidak berteriak saat berbicara denganku. Karena orang-orang yang berada di stand kosmetik itu mulai menatap kami dengan beragam sorot pandang. "Ly, tolong kamu pergi. Urusan kita udah selesai. Harapanku cuma satu, aku pengen bahagia setelah
"Beri aku minuman lagi!" ucapku setengah sadar pada bertender yang tengah meramu minuman. "Jangan mabuk-mabuk amat, Mbak. Ntar lo sendiri yang susah kalau mau pulang!" Kepalaku menggeleng tegas, "Ngerti apa lo, heh?! Laki-laki bau kencur aja sok-sok an!" "Mending Mbaknya bayar tagihan minuman ini lalu pulang. Mumpung belum teler beneran." "Lo berisik! Lo pikir gue nggak bisa bayar, heh?!" Emosiku tersulut karena apa yang menjadi keinginanku tidak dipenuhi oleh bartender sialan itu. Dan minuman keras ini benar-benar membuatku memiliki keberanian berkali lipat hingga berani menantang siapapun. Saat aku akan berdiri dari duduk untuk memberi pelajaran pada bertender itu, keseimbanganku oleng hingga aku terjatuh ke lantai klub malam. Beruntung ada yang membantuku untuk duduk kembali di kursi dan menyarankan pulang. "Gue masih mau disini, tolol!" Karena ulahku yang dianggap meresahkan, seorang satpam langsung menghampiriku untuk menyelesaikan tagihan pembayaran dan menyuruhku den
Ini semua gara-gara Lois membawaku singgah ke hotel karena semalam aku mabuk berat. Lalu paginya kami berdebat sedikit karena aku terbangun dengan dia juga tidur seranjang bersamaku. Lebih gila lagi dia tidak mengenakan baju. Apa dia sempat memelukku? Mengambil kesempatan dalam kesempitan? "Mana baju kotormu, Lois?" aku masih sempat bertanya hal demikian. Padahal waktunya sudah mepet dengan jam kerjaku. "Buruan naik motor, Ly. Ntar kamu keburu telat masuk kantor!" Aku yang hanya siap dengan pakaian kerja tanpa make up karena diburu waktu pun segera menaiki motor Lois untuk diantar ke kantor. Lagi-lagi, aku beruntung ketika kedua satpam yang berjaga adalah satpam yang sama saat aku datang terlambat untuk pertama kali beberapa minggu lalu. Tanpa basa basi, kedua satpam ini sedikit membungkuk hormat pada Lois lalu mempersilahkan aku masuk. Lois juga demikian, dia tidak banyak bicara dan setelah menerima helmku, dia langsung pergi dengan motornya. "Maaf, kalau aku lancang. Ken
Vela masih menatap kedatanganku dan Lois yang berdiri di ambang pintu rumah. Hingga pandangannya jatuh pada genggaman tanganku di pergelangan lengan tangan kanan Lois. Hampir saja aku akan menariknya lalu Lois meraih tangan kiriku agar terus melingkar di lengannya. Dia menggenggamnya sedikit erat dan memberi usapan lembut. "Ada apa kalian kemari?" "Silahturahmi lah, Vel. Gue juga pengen ketemu bapak ibu mertua gue," Lois menjawabnya dengan tenang. "Apa mereka ada?" imbuhnya. "Ada." "Boleh masuk?" Vela memundurkan sedikit badannya lalu aku dan Lois melangkah masuk ke dalam rumah yang memiliki banyak kenangan masa kecilku ini. Aku duduk di sofa empuk warna biru laut ini dengan wajah menunduk. "Ada perlu apa kalian kemari? Apa duit yang dikasih bokap udah habis?" Lois terkekeh lalu menghela nafas, "Dasar matre." Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Lois untuk Vela. "Apa lo bilang, Lois? Gue matre?" Kepalanya mengangguk, "Masih mending Lilyah. Istri kesayangan gue ini ngga
"Lepasin aku, Lois!" Aku memberontak dari kungkungan tangan Lois yang mengurungku diantara tubuhnya dan dinding kontrakan kami. Tapi usahaku untuk menyingkirkan tubuhnya berakhir sia-sia karena Lois tidak beranjak dari posisinya. "Aku bingung banget ngadepin sikapmu yang berubah-ubah kayak gini, Ly. Bukannya bahagia setelah kubantu pelan-pelan menikam Vela, kamu malah mau main pergi sendirian." "Gimana kalau kamu ketakutan di luar sana waktu aku masih kerja? Aku nggak mungkin bisa jemput kamu sewaktu-waktu, Ly! Coba kamu mikir sampai situ! Nggak akan jadi masalah kalau autophobiamu itu udah sembuh." "Jadi, please. Ayo aku antar ke kosnya Nathasya. Biar waktu kerja aku bisa tenang. Nggak kepikiran kamu nanti gimana kalau takut sendirian." Bukannya senang diperhatikan Lois sedalam ini, aku justru merasa dia terlalu berlebihan! Hingga aku merasa muak tanpa sebab yang logis. "Nggak usah ngatur kehidupanku, Lois!" bentakku. "Gimana kalau kamu tiba-tiba pengen belok ke klub malam la
"Lilyah, tolong gantikan Gia ikut meeting. Hari ini para direksi mau evaluasi tentang kualitas produk kita yang banyak mendapat komplain." Itu adalah titah dari atasan yang bertanggung jawab atas posisiku sebagai staff customer service. Gia yang biasanya mewakili departemen customer service tidak bisa hadir karena sedang sakit. "Baik, Pak." "Bawa semua catatan keluhan customer yang sudah kamu tampung hari ini. Laporan keluhan per hari kemarin sudah ada di tangan sekretaris Pak Presdir dan jajarannya." Aku segera menyimpan data keluhan customer yang baru saja kulayani lalu mengambil dokumen catatan keluhan hari ini. Sungguh, jumlah keluhan dari customer yang menelfon tiap hari terus bertambah sejak kursi direktur utama berganti pimpinan. Lalu petugas pengawas produksi yang dipekerjakan tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar hingga berdampak sebegini besarnya pada kualitas produk rokok. Alhasil, para buruh membuat lintingan batang rokok dengan kualitas yang tidak biasanya
"Gimana hasil rapat tadi, Ly?" tanya Ratna, teman sesama staff customer service. "Pak Presdir minta pengawas yang baru diganti sama yang lama." "Orangnya marah-marah nggak waktu tahu ada karyawan bikin masalah segini krusialnya sama produknya?" "Sumpah, dia santai banget, Rat. Gue heran, apa beliau tipikal orang yang nggak bisa marah ya?!" "Ya mana bisa marah, orang direktur utama yang baru ini anaknya beliau." "Oh ... " Kepalaku mengangguk lalu pikiranku kembali berkelana ke kejadian pagi tadi. Saat Lois tidak sengaja menabrak mobil sedannya. Sikap angkuhnya saat memberi Lois uang dengan cara yang merendahkan, justru terekam jelas di ingatanku. Bagaimana bisa, orang berpendidikan tinggi seperti itu memiliki tabiat yang buruk? Bukankah padi itu semakin berisi maka semakin menunduk? "Dulu sebelum anaknya Pak Presdir yang menjabat, nggak ada keluhan sampai bejibun kayak gini dari pelanggan, Ly." "Kok jadi merosot ya, Rat?" "Nah itu lah. Kenapa pimpinan lama yang bagus nggak di