'Lois sedang memanggil ...' Sudah setengah jam lamanya aku duduk di lobby kantor sejak jam pulang kerja. Aku memiliki alasan mengapa tidak segera pulang. Padahal rekan-rekan kerja yang lain berbondong-bondong ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. 'Lois sedang memanggil ...' Lagi, aku mengabaikan panggilan Lois untuk kesekian kalinya. Aku tahu, dia pasti menghubungi mengapa aku belum keluar juga dari kantor. Hanya saja, saat ini aku sedang ingin sendiri. Tidak ingin bicara, bercerita, atau ditanyai apapun. Benar-benar hanya ingin diam sambil merasakan sakitnya hati karena kejadian siang tadi. Kejadian saat aku bertemu Vela dan Ishak saat makan siang lalu mereka mendeklarasikan rencana pertunangannya dengan pongah. Miris! Aku masih mencintai mantan tunanganku yang kini justru akan bertunangan dengan adikku sendiri. Padahal perpisahan kami karena foto mesumku masih belum terbukti kebenarannya. Tapi Ishak lebih memilih tutup mata dan telinga lalu menjalin hubungan dengan a
'Pertanyaannya ganti Mama balik. Apa jadinya kalau Ishak tetap nggak mau balikan sama kamu meski kebenaran foto mesum itu terungkap, Ly?' Aku kembali menengadah menatap langit sore sambil mengulang-ulang kalimat ajaib Mama yang membuatku berpikir ulang untuk memperjuangkan Ishak. Apa yang dikatakan Mama ada benarnya, belum tentu Ishak sudi kembali padaku. Kemarin saat kami bertemu di rumah makan saja sikapnya cukup menunjukkan padaku bahwa dia tidak akan kembali padaku meski kebenaran foto mesum itu terkuak. Entah dia yang sudah tidak lagi mencintaiku atau dia yang terlanjur malu. "Ly, kamu dari mana aja? Kenapa nggak nelfon kalau pulang sendiri?" Lois langsung menghampiriku begitu aku tiba di kontrakan. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran dengan kedua tangan memegang lenganku. Tapi tanganku kembali menurunkan kedua tangannya karena merasa risih. "Maaf." "Aku khawatir kamu nekat lagi. Beberapa hari ini kamu berubah. Kamu banyak diam dan nggak mau bilang ada apa
"Jadi, kamu ceritanya belum benar-benar bisa move on?" tanya Lois. Aku duduk di sebelahnya sambil melihat lalu lalang kendaraan di depan kontrakan kami. Tadi, setelah adegan dramatis memeluk Lois dari belakang agar tidak meninggalkanku sendirian di kontrakan, dia mengajakku duduk di teras. Lalu aku mencurahkan semua isi hati padanya. Mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan padanya apa yang menjadi beban pikiran ini. Atau Lois akan meninggalkanku sendirian di kontrakan dengan autophobia ini. "Belum, Lois." "Kenapa nggak nyoba move on?" "Andai aku bisa, Lois. Udah aku lakukan dari kemarin." "Andai kamu mau mencoba, Ly," Lois membalik ucapanku. Aku menghela nafas panjang dengan pandangan lurus ke depan. Menyandarkan punggung ke dinding teras kontrakan dengan pakaian kerja yang masih melekat di raga. "Kamu cuma kurang usaha buat lupain Ishak. Padahal semua itu bisa diusahakan asal ada niat." "Aku masih nggak bisa terima kenyataan harus kehilangan Ishak, Lois. Apalagi aku haru
Belum usai menguping, sebuah tepukan membuatku terkejut. "Kamu ini karyawan baru, kan?! Kok nguping?" Aku langsung berbalik badan kemudian map yang kudekap di dada terlepas dari tangan. Membuat isinya terburai ke lantai. Bodohnya menguping pembicaraan para manajer tanpa melihat sekitar dan tahu-tahu ada seseorang yang memergoki kelakuanku. Astaga, aku tidak mau dipecat secepat ini. "Maaf ... maafkan saya," ucapku dengan menundukkan kepala berulang kali. "Jangan nguping pemicaraan atasan, nggak baik. Kamu itu staf dan kalau sampai ada pembicaraan yang nggak benar di kalanganmu, nanti itu membahayakan karirmu sendiri," lelaki dengan jas hitam itu memperingatkan. Dan aku tidak berani menatap wajahnya sedikit pun. Malu dan takut lebih tepatnya. "Kamu mau laporan atau gimana?" "S ... saya ... mau mengajukan laporan komplain dari customer, Pak." "Ya sudah, ikut saya." Lelaki itu mengetuk pintu dan membukanya setelah mendapat izin dari kepala pemasaran. Aku pun mengekori dari be
"Daniel itu kerjanya ya emang jadi mata-mata. Ngulik-ngulik informasi, Ly.""Kamu kenal dimana?" tanyaku ketika dia sudah kembali duduk di kursinya. Lois kembali masuk ke dalam kafe setelah mengantar kepergian Daniel."Ehm ... kebetulan dia itu temannya temanku."Oh, pantas saja sikap Daniel begitu formal pada Lois ketika di parkiran tadi. Aku kira mereka sahabat baik."Lois, biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu harganya berapa?" "Gratis.""Hah?! Yang bener kamu? Mana ada orang mau capek-capek ngulik-ngulik informasi tapi nggak ada duitnya?""Maksudnya, aku yang bayarin."Aku yakin jika biaya sewa jasa mata-mata Daniel itu tidak murah dan mengapa Lois begitu loyal padaku dengan menggratiskan seluruh biayanya?"Kamu lagi ada duit, Lois?""Iya, duit menang lotre kemarin," ucapnya teramat santai. "Lotre lagi? Emang kamu menang berapa puuh juta?""Yuk lah, kita pulang, Ly. Aku mau berangkat kerja," bukannya menjawab pertanyaanku, Lois justru mengajak pulang.Hari sudah hampir gelap dan
"Ly! Lo kok tidur di meja, sih?!" Nathasya berseru lirih sambil mengguncang lenganku. Mau tidak mau akhirnya aku membuka mata dengan wajah yang teramat mengantuk. "Sorry, Nath. Gue ngantuk berat." "Kak Lois sama yang lain udah mau selesai. Yuk, kita balik duluan." Mataku menatap ke arah panggung mini tempat Lois dan teman satu bandnya baru saja selesai menyelesaikan tugas untuk menghibur para pengunjung kafe and restaurant ini. Mereka masih menata perlengkapan musik dan sang penyanyi memberi ucapan terima kasih serta salam perpisahan. "Yuk, Ly. Buruan! Keburu Kak Lois dan yang lain ke parkiran." Tadi, aku menahan Nathasya untuk kembali ke kos dan mengajaknya menonton Lois dan kawan-kawan menghibur para pengunjung. Aku ingin tahu bagaimana lelaki yang bergelar suamiku itu saat bermusik. Hasilnya, luar biasa! Lois seperti memiliki jiwa dan bakat seni musik yang tinggi. Permainan biolanya tidak buruk sama sekali, bahkan sangat luar biasa. Aku dan Nathasya sengaja memilih tempa
"Kak Lois sama Rily tuh kenal waktu lagi sama-sama ngisi acara. Karena band Kak Lois waktu itu ditinggal vokalisnya mengundurkan diri, lalu masuk lah Rily.""Awalnya kerja bareng lalu pelan-pelan mereka jadian. Bahkan waktu Rily ikut audisi nyanyi tuh yang nganter sama nunggu sampai selesai tuh, ya Kak Lois.""Bahkan Kak Lois rela nggak kerja berhari-hari demi nganter Rily sampai masuk sepuluh besar. Pokoknya sweat banget lah mereka berdua, Ly."Nathasya bercerita tentang masa lalu percintaan Lois dan Rily yang begitu manis. "Tapi, entah ada angin apa tiba-tiba Kak Lois putus sama Rily. Sampai Rily nggak mau jadi vokalis band Kak Lois lagi. Kalau Kak Lois ditanyai, bilangnya selalu udah beda prinsip.""Beda prinsip tapi kalau udah kayak tadi mereka kelihatan banget masih saling mencintai. Tatapan mata, perhatian, sama perlakuan Kak Lois ke Rily tuh kayak bau-bau CLBK."Mendengar perkataan Nathasya, aku yakin jika Lois memutus hubungannya dengan Rily bukan karena aku. Sebab sudah jelas
"Buruan masuk, Ly. Nanti satpamnya berubah pikiran.""Tapi kamu belum jawab pertanyaanku, Lois."Bukannya menjawab, Lois justru mendorong tubuhku memasuki pelataran kantor lalu ia mengambil kartunya dari tangan salah satu satpam. "Selamat pagi, Den. Hati-hati di jalan," kedua satpam itu memberi salam sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Tunggu! Mengapa satpam itu begitu ramah pada Lois? Dan, apa yang kedua satpam tadi katakan?!Den?Namanya Lois tapi mengapa dipanggil Den?! Denny Caknan kah maksudnya?Lalu Lois membisikkan sesuatu pada kedua satpam itu kemudian melenggang pergi dengan motor matic-nya. Setelah yakin dia sudah pergi, aku menghampiri kedua satpam itu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Karena sudah banyak sekali hal yang membuatku sering bertanya-tanya tentang jati diri Lois yang sebenarnya. Memangnya, siapa dia?"Permisi, kalian kenal Lois?" "Lois siapa, Mbak?" "Yang nganter aku tadi kan namanya Lois. Kalian berteman atau gimana? Tidak ada jawaban yang keluar d
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.