Enjoy reading ...
Lois menyentil jidatku sedikit keras, "Kamu pikir aku ada tampang jadi gigolo, heh?!" Tanganku mengusap jidat yang terasa sedikit panas karena ulah Lois, "Kali aja iya. Karena kepepet mungkin." Lois bersedekap sambil menatapku dengan helm yang belum terpakai. "Aku masih bisa nyari nafkah yang halal, Ly. Ngapain nyari yang haram?!" Kemudian dia menyuruhku menaiki motornya dan ia melajukannya sedikit kencang agar kami tiba di kontrakan tepat waktu. Perjalanan selama dua jam dari Bogor menuju Jakarta itu ternyata cukup melelahkan, lalu Lois segera mandi. Dan atas inisiatif sendiri, aku membuatkannya segelas teh hangat. Berbarengan dengan itu dia keluar kamar mandi dengan tubuh yang segar dan aroma sabun yang tercium oleh indra penciumanku. "Buat aku nih?" tanyanya ketika aku menyodorkan teh hangat itu. "Iya lah. Emang buat siapa lagi?" Dia meraihnya dan meminumnya sedikit. "Tumben perhatian? Jangan-jangan kamu mulai cinta sama aku?" Aku memandangnya dengan ekspresi tidak ha
Aku berkali-kali menghela nafas panjang sambil mematut wajah di depan cermin rias kecil milikku. "Ya Tuhan, aku gugup banget." Make up minimalis sudah terias sempurna di wajahku dengan setelan kerja warna abu-abu dengan rok span selutut. Hari ini, aku memenuhi permintaan Lois untuk memenuhi undangan interview di sebuah perusahaan yang berada di depan kantor lamaku. Kantor perusahaan sigaret besar di negara ini. "Ly, udah belum?" itu suara Lois. "Iya, bentar." Atas desakannya, dua hari yang lalu aku mengirim surat lamaran ke kantor perusahaan sigaret tersebut. Dan hari ini aku mendapat undangan interview. Secepat ini, kah? "Buruan! Keburu jalannya macet!" teriaknya dari luar kamarku. Aku segera merapikan keperluan ke dalam tas kerja lalu memantapkan hati jika aku bisa menatap masa depan dan esok hari dengan hati yang lebih lapang. Termasuk bisa menghadapi masalah foto mesumku yang mungkin saja masih tersebar luas. "Ayo, Lois." Lois yang sedang memainkan ponsel sambil bers
"Gimana hasil tes kerjanya, Ly?" tanya Lois sambil menyodorkan helmku. Aku baru keluar dari kantor perusahaan sigaret itu dan menunggu kedatangan Lois usai mengiriminya pesan jika aku sudah selesai interview. "Nanti aku ceritain. Sekarang, ayo ikut aku makan siang. Mau, kan?!" Kepalanya mengangguk lalu menyodorkan kembali kain oranye bermotif bunga tadi padaku. Dia menyuruhku memakainya agar kakiku yang menurutnya indah, tidak mengundang perhatian lelaki lain. Setelah duduk di jok motor maticnya, Lois membelah jalanan ramai ini dengan kecepatan sedang hingga kami tiba di tempat makan siang yang kutuju. Sebuah rumah makan prasmanan yang harganya tidak membuat dompetku terkikis terlalu drastis. "Jadi, kapan kerja?" tanya Lois sambil bersiap melahap menu makan siang pilihannya. "Besok." Kepalanya mengangguk dengan mulut mengunyah makan siang. "Great!" "Tapi aneh, Lois." "Aneh gimana?" "Masak iya cuma interview sekali doang lalu aku dikasih surat kontrak kerja? Langsung dua tahun
"Ngantuk, ya? Maaf, aku pulangnya agak malam." Lois baru menjemputku dari kos Nathasya setelah mengisi acara musik bersama grup bandnya di sebuah kafe. Jarum jam baru saja menunjukkan angka 12 tengah malam. "Aku ngantuk banget," gumamku sambil menahan panas di mata. Tangan Lois terulur membetulkan sedikit anak rambutku lalu aku reflek mengelak. Kemudian dia menyodorkan helmku. Apa maksudnya dengan mulai berani menyentuh-nyentuh bagian tubuhku tanpa izin? Meski dia suamiku tapi aku tidak menganggapnya lebih dari itu. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang kakak yang baik. Itu saja. "Kalau ngantuk, pegangan pinggangku, Ly. Biar kamu nggak jatuh," ucapnya ketika aku sudah duduk di jok motornya. "Kamu cukup jalan pelan aja, Lois." "Kalau terlalu pelan kapan sampai kontrakannya?" "Pokoknya pelan-pelan aja!" Dan soal ajakan Nathasya yang tadi memintaku untuk menjodohkan Lois dengan mantan kekasihnya, haruskah aku mengiyakan atau tidak? *** Pagi ini, aku sudah siap dengan setel
"Boleh gabung?!"Vela dan Ishak yang sedang duduk berhadapan langsung mendongak. Lalu aku menunjukkan seulas senyum ramah yang amat terpaksa kepada keduanya.Mata Vela dan Ishak membola terkejut ketika melihat kedatanganku. Lalu dengan tidak tahu malu, aku segera menduduki kursi kosong di dekat Ishak. Sengaja aku mendekatkan dudukku di sebelah Ishak dengan emosi yang berusaha mati-matian kutahan."Kebetulan banget ya bisa ketemu kalian disini? Udah lama nggak jumpa."Vela menatapku dengan ekspresi terkejut. Sedang Ishak justru menunduk."Gimana kabarmu, Shak?""Baik.""Kamu lagi pacaran sama Vela?" tanyaku santai walau sebenarnya hatiku mulai disambangi petir menggelegar.Ishak tidak menjawab tapi Vela yang langsung bersuara."Iya. Kenapa emangnya?""Wow ... sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang?" aku memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat dengan hati geram."Kita nggak ada kewajiban buat bilang ke Kak Lily kapan jadian.""Duh, sombongnya. Mentang-mentang aku batal nikah sama Ish
'Lois sedang memanggil ...' Sudah setengah jam lamanya aku duduk di lobby kantor sejak jam pulang kerja. Aku memiliki alasan mengapa tidak segera pulang. Padahal rekan-rekan kerja yang lain berbondong-bondong ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. 'Lois sedang memanggil ...' Lagi, aku mengabaikan panggilan Lois untuk kesekian kalinya. Aku tahu, dia pasti menghubungi mengapa aku belum keluar juga dari kantor. Hanya saja, saat ini aku sedang ingin sendiri. Tidak ingin bicara, bercerita, atau ditanyai apapun. Benar-benar hanya ingin diam sambil merasakan sakitnya hati karena kejadian siang tadi. Kejadian saat aku bertemu Vela dan Ishak saat makan siang lalu mereka mendeklarasikan rencana pertunangannya dengan pongah. Miris! Aku masih mencintai mantan tunanganku yang kini justru akan bertunangan dengan adikku sendiri. Padahal perpisahan kami karena foto mesumku masih belum terbukti kebenarannya. Tapi Ishak lebih memilih tutup mata dan telinga lalu menjalin hubungan dengan a
'Pertanyaannya ganti Mama balik. Apa jadinya kalau Ishak tetap nggak mau balikan sama kamu meski kebenaran foto mesum itu terungkap, Ly?' Aku kembali menengadah menatap langit sore sambil mengulang-ulang kalimat ajaib Mama yang membuatku berpikir ulang untuk memperjuangkan Ishak. Apa yang dikatakan Mama ada benarnya, belum tentu Ishak sudi kembali padaku. Kemarin saat kami bertemu di rumah makan saja sikapnya cukup menunjukkan padaku bahwa dia tidak akan kembali padaku meski kebenaran foto mesum itu terkuak. Entah dia yang sudah tidak lagi mencintaiku atau dia yang terlanjur malu. "Ly, kamu dari mana aja? Kenapa nggak nelfon kalau pulang sendiri?" Lois langsung menghampiriku begitu aku tiba di kontrakan. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran dengan kedua tangan memegang lenganku. Tapi tanganku kembali menurunkan kedua tangannya karena merasa risih. "Maaf." "Aku khawatir kamu nekat lagi. Beberapa hari ini kamu berubah. Kamu banyak diam dan nggak mau bilang ada apa
"Jadi, kamu ceritanya belum benar-benar bisa move on?" tanya Lois. Aku duduk di sebelahnya sambil melihat lalu lalang kendaraan di depan kontrakan kami. Tadi, setelah adegan dramatis memeluk Lois dari belakang agar tidak meninggalkanku sendirian di kontrakan, dia mengajakku duduk di teras. Lalu aku mencurahkan semua isi hati padanya. Mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan padanya apa yang menjadi beban pikiran ini. Atau Lois akan meninggalkanku sendirian di kontrakan dengan autophobia ini. "Belum, Lois." "Kenapa nggak nyoba move on?" "Andai aku bisa, Lois. Udah aku lakukan dari kemarin." "Andai kamu mau mencoba, Ly," Lois membalik ucapanku. Aku menghela nafas panjang dengan pandangan lurus ke depan. Menyandarkan punggung ke dinding teras kontrakan dengan pakaian kerja yang masih melekat di raga. "Kamu cuma kurang usaha buat lupain Ishak. Padahal semua itu bisa diusahakan asal ada niat." "Aku masih nggak bisa terima kenyataan harus kehilangan Ishak, Lois. Apalagi aku haru
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.