Enjoy reading ...
Aku bergegas membuka jendela kaca besar kamar mewah resort ini untuk memastikan jika itu Lois. Berniat menguping apa yang ia bicarakan dengan salah satu pegawai resort.Namun belum sempat mendekat, keduanya justru berpindah tempat.Lalu aku segera mencuci muka dan gosok gigi kemudian keluar kamar untuk mencari tahu apa yang Lois lakukan. Tapi, saat mataku menangkap sepasang resepsionis yang sedang bertugas, langkah kakiku terhenti."Mbak, permisi mau tanya, apa Lois itu emang punya hak khusus kalau mau nginap di resort ini?"Kedua resepsionis itu saling tatap."Lois siapa ya, Mbak?"Nah, mengapa mereka bertanya balik?"Lois yang menempati kamar super deluxe 5 itu lho, Mbak.""Maaf kami tidak mengenal satu demi satu nama pelanggan yang menginap, Mbak.""Lois yang semalam reservasi atas namanya sendiri ke kamar itu. Masak Mbak lupa?""Maaf, Mbak. Resepsionis yang berjaga semalam sudah pulang dan digantikan saya."Aku kembali memutar otak hingga muncul satu ide. "Boleh pinjam buku tamuny
Lois menyentil jidatku sedikit keras, "Kamu pikir aku ada tampang jadi gigolo, heh?!" Tanganku mengusap jidat yang terasa sedikit panas karena ulah Lois, "Kali aja iya. Karena kepepet mungkin." Lois bersedekap sambil menatapku dengan helm yang belum terpakai. "Aku masih bisa nyari nafkah yang halal, Ly. Ngapain nyari yang haram?!" Kemudian dia menyuruhku menaiki motornya dan ia melajukannya sedikit kencang agar kami tiba di kontrakan tepat waktu. Perjalanan selama dua jam dari Bogor menuju Jakarta itu ternyata cukup melelahkan, lalu Lois segera mandi. Dan atas inisiatif sendiri, aku membuatkannya segelas teh hangat. Berbarengan dengan itu dia keluar kamar mandi dengan tubuh yang segar dan aroma sabun yang tercium oleh indra penciumanku. "Buat aku nih?" tanyanya ketika aku menyodorkan teh hangat itu. "Iya lah. Emang buat siapa lagi?" Dia meraihnya dan meminumnya sedikit. "Tumben perhatian? Jangan-jangan kamu mulai cinta sama aku?" Aku memandangnya dengan ekspresi tidak ha
Aku berkali-kali menghela nafas panjang sambil mematut wajah di depan cermin rias kecil milikku. "Ya Tuhan, aku gugup banget." Make up minimalis sudah terias sempurna di wajahku dengan setelan kerja warna abu-abu dengan rok span selutut. Hari ini, aku memenuhi permintaan Lois untuk memenuhi undangan interview di sebuah perusahaan yang berada di depan kantor lamaku. Kantor perusahaan sigaret besar di negara ini. "Ly, udah belum?" itu suara Lois. "Iya, bentar." Atas desakannya, dua hari yang lalu aku mengirim surat lamaran ke kantor perusahaan sigaret tersebut. Dan hari ini aku mendapat undangan interview. Secepat ini, kah? "Buruan! Keburu jalannya macet!" teriaknya dari luar kamarku. Aku segera merapikan keperluan ke dalam tas kerja lalu memantapkan hati jika aku bisa menatap masa depan dan esok hari dengan hati yang lebih lapang. Termasuk bisa menghadapi masalah foto mesumku yang mungkin saja masih tersebar luas. "Ayo, Lois." Lois yang sedang memainkan ponsel sambil bers
"Gimana hasil tes kerjanya, Ly?" tanya Lois sambil menyodorkan helmku. Aku baru keluar dari kantor perusahaan sigaret itu dan menunggu kedatangan Lois usai mengiriminya pesan jika aku sudah selesai interview. "Nanti aku ceritain. Sekarang, ayo ikut aku makan siang. Mau, kan?!" Kepalanya mengangguk lalu menyodorkan kembali kain oranye bermotif bunga tadi padaku. Dia menyuruhku memakainya agar kakiku yang menurutnya indah, tidak mengundang perhatian lelaki lain. Setelah duduk di jok motor maticnya, Lois membelah jalanan ramai ini dengan kecepatan sedang hingga kami tiba di tempat makan siang yang kutuju. Sebuah rumah makan prasmanan yang harganya tidak membuat dompetku terkikis terlalu drastis. "Jadi, kapan kerja?" tanya Lois sambil bersiap melahap menu makan siang pilihannya. "Besok." Kepalanya mengangguk dengan mulut mengunyah makan siang. "Great!" "Tapi aneh, Lois." "Aneh gimana?" "Masak iya cuma interview sekali doang lalu aku dikasih surat kontrak kerja? Langsung dua tahun
"Ngantuk, ya? Maaf, aku pulangnya agak malam." Lois baru menjemputku dari kos Nathasya setelah mengisi acara musik bersama grup bandnya di sebuah kafe. Jarum jam baru saja menunjukkan angka 12 tengah malam. "Aku ngantuk banget," gumamku sambil menahan panas di mata. Tangan Lois terulur membetulkan sedikit anak rambutku lalu aku reflek mengelak. Kemudian dia menyodorkan helmku. Apa maksudnya dengan mulai berani menyentuh-nyentuh bagian tubuhku tanpa izin? Meski dia suamiku tapi aku tidak menganggapnya lebih dari itu. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang kakak yang baik. Itu saja. "Kalau ngantuk, pegangan pinggangku, Ly. Biar kamu nggak jatuh," ucapnya ketika aku sudah duduk di jok motornya. "Kamu cukup jalan pelan aja, Lois." "Kalau terlalu pelan kapan sampai kontrakannya?" "Pokoknya pelan-pelan aja!" Dan soal ajakan Nathasya yang tadi memintaku untuk menjodohkan Lois dengan mantan kekasihnya, haruskah aku mengiyakan atau tidak? *** Pagi ini, aku sudah siap dengan setel
"Boleh gabung?!"Vela dan Ishak yang sedang duduk berhadapan langsung mendongak. Lalu aku menunjukkan seulas senyum ramah yang amat terpaksa kepada keduanya.Mata Vela dan Ishak membola terkejut ketika melihat kedatanganku. Lalu dengan tidak tahu malu, aku segera menduduki kursi kosong di dekat Ishak. Sengaja aku mendekatkan dudukku di sebelah Ishak dengan emosi yang berusaha mati-matian kutahan."Kebetulan banget ya bisa ketemu kalian disini? Udah lama nggak jumpa."Vela menatapku dengan ekspresi terkejut. Sedang Ishak justru menunduk."Gimana kabarmu, Shak?""Baik.""Kamu lagi pacaran sama Vela?" tanyaku santai walau sebenarnya hatiku mulai disambangi petir menggelegar.Ishak tidak menjawab tapi Vela yang langsung bersuara."Iya. Kenapa emangnya?""Wow ... sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang?" aku memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat dengan hati geram."Kita nggak ada kewajiban buat bilang ke Kak Lily kapan jadian.""Duh, sombongnya. Mentang-mentang aku batal nikah sama Ish
'Lois sedang memanggil ...' Sudah setengah jam lamanya aku duduk di lobby kantor sejak jam pulang kerja. Aku memiliki alasan mengapa tidak segera pulang. Padahal rekan-rekan kerja yang lain berbondong-bondong ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. 'Lois sedang memanggil ...' Lagi, aku mengabaikan panggilan Lois untuk kesekian kalinya. Aku tahu, dia pasti menghubungi mengapa aku belum keluar juga dari kantor. Hanya saja, saat ini aku sedang ingin sendiri. Tidak ingin bicara, bercerita, atau ditanyai apapun. Benar-benar hanya ingin diam sambil merasakan sakitnya hati karena kejadian siang tadi. Kejadian saat aku bertemu Vela dan Ishak saat makan siang lalu mereka mendeklarasikan rencana pertunangannya dengan pongah. Miris! Aku masih mencintai mantan tunanganku yang kini justru akan bertunangan dengan adikku sendiri. Padahal perpisahan kami karena foto mesumku masih belum terbukti kebenarannya. Tapi Ishak lebih memilih tutup mata dan telinga lalu menjalin hubungan dengan a
'Pertanyaannya ganti Mama balik. Apa jadinya kalau Ishak tetap nggak mau balikan sama kamu meski kebenaran foto mesum itu terungkap, Ly?' Aku kembali menengadah menatap langit sore sambil mengulang-ulang kalimat ajaib Mama yang membuatku berpikir ulang untuk memperjuangkan Ishak. Apa yang dikatakan Mama ada benarnya, belum tentu Ishak sudi kembali padaku. Kemarin saat kami bertemu di rumah makan saja sikapnya cukup menunjukkan padaku bahwa dia tidak akan kembali padaku meski kebenaran foto mesum itu terkuak. Entah dia yang sudah tidak lagi mencintaiku atau dia yang terlanjur malu. "Ly, kamu dari mana aja? Kenapa nggak nelfon kalau pulang sendiri?" Lois langsung menghampiriku begitu aku tiba di kontrakan. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran dengan kedua tangan memegang lenganku. Tapi tanganku kembali menurunkan kedua tangannya karena merasa risih. "Maaf." "Aku khawatir kamu nekat lagi. Beberapa hari ini kamu berubah. Kamu banyak diam dan nggak mau bilang ada apa