enjoy reading ...
"Mbak Lily nggak mau makan malam dulu?" tanya sopir taksi mewah ini. Kedua alisku berkerut mendapat pertanyaan itu. Sejak kapan seorang sopir taksi menawarkan mengantar menuju rumah makan pada penumpang yang ia bawa sedang penumpangnya tidak berkata akan makan malam. "Makan malam gimana maksudnya, Pak?" "Lho, Mbak Lily merasa lapar atau tidak?" "Kalau lapar kenapa?" "Saya antar ke restauran." "Hah?!" Aku bingung dengan sopir taksi ini. Bukankah tugas sopir hanya mengantar dan menjemput penumpangnya? Bukan menawarkan pergi ke restauran untuk makan malam tanpa perintah dari penumpang, kan?! Lagi pula, akan terasa lucu jika sopir taksi mobil mewah seperti ini mengetahui selera makanku yang hanya berada di level biasa-biasa saja. Gengsi lebih tepatnya. Masak iya sedan mewan begini berhenti di warteg? "Eh ... saya ... bisa beli sendiri nanti, Pak. Tidak perlu repot-repot." Malu rasanya karena tidak mampu membeli makanan mahal di restauran. Memangnya berapa besar gaji seorang st
"Ly, ini kue siapa?" teriak Lois dari ruang tamu. Aku yang masih diliputi kebingungan setelah membaca softcopy dokumen peralihan saham dari ponselnya pun menjawab seadanya. "Buat kamu!" "Buat aku?! Aku nggak ultah?" "Eh ... itu ... udah makan aja!" "Tumben kamu perhatian beliin aku kue enak?" Aku tidak menggubris ucapannya lalu memilih mengambil pakaian bersih dan bersiap mandi. Tapi ketika membuka pintu, Lois sudah berdiri di depan pintu kamar dengan membawa potongan kue di atas piring. Dia memotongnya sedikit menggunakan sendok lalu menyodorkannya ke mulutku. "Kamu belum nyobain, kan?!" Aku membuka mulut, menerima suapan dari Lois. Kemudian Lois menyuapkan potongan kue selanjutnya untuk dirinya sendiri menggunakan sendok yang sama. "Lois, itu sendok bekasku." "Iya. Kenapa?" "Kamu nggak jijik?" "Sama bini sendiri kenapa jijik?" Apa? Lois menganggapku benar-benar istrinya? Ada apa dengan hari ini? Mengapa dia mendadak begitu ... loveable? *** Lois : Kamu pulang sen
"Lois?" Mataku membelalak tidak percaya melihat keberadaannya yang teramat kebetulan sekali di sini. Dia ada saat aku dihujat rekan-rekan kerjaku satu kantor tentang tersebarnya foto serta video syur itu. Lois lalu mengulurkan tangan kanannya ketika aku terjatuh. Hingga aku tidak mampu kembali berdiri lagi karena terlalu malu. Otakku terus bertanya-tanya bagaimana bisa rekan-rekan kerja mengetahui foto menjijikkanku? Siapa lagi yang sengaja menyebarkannya? Hingga aku tidak fokus saat berjalan tergesa-gesa lalu menginjak sesuatu yang licin. "Ayo pulang." Tangan lois masih terulur lalu aku meraihnya agar bisa segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Setelah berdiri dengan benar, Lois mengibas kotoran yang menempel di rok kerjaku dengan tangan kanannya. "Nggak usah sok peduli!" ucapku tegas tapi lirih. Keempat temanku memandang kami tidak percaya dan aku makin salah tingkah. "Aku nggak mau teman-temanku mikir yang nggak-nggak tentang aku!" "Apa salahnya aku bantu bersihin?"
Tanpa menunggu nanti sore, aku segera mengemasi barang-barang dan membiarkan tugasku sebagai customer service terbengkalai. Tidak ada pemindahan tugas pada siapapun karena aku sudah terlanjur malu pada seluruh karyawan kantor. Foto mesumku sudah tersebar dan semua orang kantor memandangku rendah dan jijik. "Eh, si Lilyah itu mau kemana?" bisik rekanku yang duduk di seberang setelah melepas headphone. Rekan sebelahnya juga melepask headphone lalu ikut melirikku. "Kabur kali. Kemesumannya 'kan udah tersebar." "Nggak nyangka gue kalau dia binal banget." "Sama. Mending dia keluar dari kantor ini dari pada ngasih pengaruh buruk sama yang lain." Lalu berkali-kali dering telfon kabel di kubikelku berdering namun aku mengabaikannya. Itu pasti dari para customer maskapai penerbangan yang hendak mengaduhkan keluhannya. Namun aku tetap fokus mengemasih barang-barang ke dalam tas lalu menutup resletingnya dengan cepat. Tanpa berpamitan pada siapapun, aku segera berlari keluar kantor de
Pikirku, untuk apa tetap hidup jika telah kehilangan banyak hal? Kehormatan, keluarga, tunangan, pekerjaan, dan teman. Semua itu tidak lagi kumiliki sejak foto mesumku tersebar. Aku menjadi sarang hujatan dan hinaan orang yang telah melihat foto aku tengah bergumul dengan seorang lelaki tanpa busana. Meski nyatanya itu adalah fitnah yang digunakan untuk menjatuhkan aku. Hingga detik ini aku masih tidak mengetahui siapa pelakunya. Apa motifnya hingga tega membuat harga diriku jatuh sejatuhnya hingga yang tersisa hanya hinaan. Dengan berurai air mata, aku melihat ke bawah gedung. Aku berhasil berdiri di tingkat teratas sebuah apartemen. Kupikir jika mengakhiri hidup adalah jalan terbaik dari pada hidupku tidak berguna sama sekali. "Aku capek, Tuhan," ucapku dengan air mata membasahi pipi. "Aku nggak kuat lagi. Ini bukan ujian tapi ini neraka dunia!" Banyak orang berlalu lalang dibawah sana tanpa tahu aku ada disini berniat akan mengakhiri hidup yang tidak adil ini. Aku tidak
Aku bergegas mengurai pelukan Lois lalu sedikit bergerak ke belakang agar tercipta jarak diantara kami. Malu rasanya jika aku terlihat begitu membutuhkan dia di saat seperti ini. Saat aku rapuh dan lemah karena foto mesumku tersebar. "Kenapa, Ly?" Kepalaku menggeleng dengan tangan mengusap sisa air mata yang membasahi pipi tanpa mau melihat Lois sedikit pun. "Aku janji bakal pegang rahasiamu, Ly. Kamu bisa cerita segalanya. Bukan dipendam sendiri lalu diam-diam naik rooftop apartemen," ucapnya tenang dan lembut. Tidak seperti tadi, tajam dan berintonasi tinggi. "Itu aib, Lois. Nggak ada bagusnya sama sekali," ucapku serak kemudian air mata ini kembali merembes keluar dan buru-buru menyekanya. Lois tidak berucap apapun, dia hanya duduk di depanku sambil menatap wajahku. "Kamu nggak kerja?!" tanyaku sambil mengalihkan perhatian. Kebetulan diluar nampak sudah gelap. "Hari ini aku minta libur. Karena kamu nekat mau bunuh diri. Aku pikir kamu mengalami krisis kepercayaan diri d
“Kopi itu pahit. Tapi kalau minumnya sama kamu, rasanya jadi manis, Ly.” Aku membelalakkan mata dengan gombalan Lois yang didengar banyak orang. Karena dia mengucapkannya dengan suara lantang seolah-olah tidak memiliki urat malu. Beberapa pengunjung tersenyum tipis. Sedang wajahku seperti diusapi saos kentang goreng yang tersaji di hadapan mereka. Akhirnya tanpa mempedulikan Lois, aku berjalan lebih dulu untuk mencari bangku kosong. Lois justru tersenyum ke beberapa pengunjung yang menatapnya. “Itu bini saya. Lagi ngambek karena belum saya belikan tas baru.” Apa??? Lois sinting! Ketika dia duduk dihadapanku dengan wajah slengekannya, aku justru menatap ke arah pemandangan malam hutan pinus di Kopi Daong ini. “Mau pesan apa, Ly?” tanyanya sambil membuka buku menu yang baru dibawakan pramusaji. “Pesan Lois bakar bisa nggak?!” tanyaku kesal. “Oh … bisa itu. Nanti malam.” “Maksudnya?” Dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Nanti malam aku pasti jadi Lois bakar karena terbakar
"Lois, kamu itu siapa sih sebenarnya?!" Tangan Lois yang sedang menyibak gorden kamar mewah resort yang ada di Ciawi ini akhirnya terhenti. Lalu kepalanya menoleh ke arahku."Aku ... ya Lois lah. Emang siapa lagi?""Kamu cuma seniman recehan, kenapa bisa nyewa kamar segini bagusnya? Maaf ya, emang berapa gajimu sebulan jadi seniman di bar and restaurant?!"Wajar jika aku sangsi dengan isi dompet lelaki ini jika dibandingkan dengan biaya sewa kamar ini."Jangan bilang karena menang lotre? Karena tampangmu itu nggak cocok ikut judi online."Lois terkekeh kemudian duduk di tepi ranjang king size ini sambil melihatku."Yang punya resort ini orang baik, Ly.""Orang baik apa orang bodoh yang bisa kamu kibulin?!"Kali ini Lois tertawa sejadi-jadinya bahkan kepalanya sambil geleng-geleng. "Kamu curigaan banget, ya?!""Wajarlah. Aku nggak mau nerima kebaikanmu tapi ujung-ujungnya itu uang nggak benar atau hasil kamu nipu orang."Dia memandangiku dengan seksama, "Wajar zaman sekarang kalau ora
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.