enjoy reading ....
Shala menatapku dengan raut bertanya-tanya. “Ly, lo selingkuh?” Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Shala ketika mendengar ucapan seorang rekan kerja kami yang kebetulan tadi pagi melihatku diantar Lois pergi bekerja. Ya Tuhan, mengapa masih saja ada yang melihatku diantar Lois? Padahal Lois sudah menurunkanku sebelum mencapai halaman kantor. Apakah temanku itu melihatku saat bertepatan membuka helm? “Eng … enggak. I .. itu kakak gue.” “Kakak? Bukannya lo anak pertama?” Shala dan seorang rekan kerja yang berada di kubikel, menatapku lekat-lekat. “Ah … maksud gue itu kakak sepupu gue. Kebetulan lokasi kerjanya searah sama gue.” Aku segera menghidupkan komputer lalu mengabaikan keduanya yang saling bertukar pandang. “Ly, lo aneh. Maksud gue, hari pernikahan udah deket tapi nggak ada undangan yang lo sebar. Tahu-tahu lo bilang acaranya diundur. Sekarang, ada yang bilang lo dianter sama cowok lain. Lo nggak lagi berbohong 'kan?!" Aku cukup gelagapan karena belum apa-ap
"Mbak Lily nggak mau makan malam dulu?" tanya sopir taksi mewah ini. Kedua alisku berkerut mendapat pertanyaan itu. Sejak kapan seorang sopir taksi menawarkan mengantar menuju rumah makan pada penumpang yang ia bawa sedang penumpangnya tidak berkata akan makan malam. "Makan malam gimana maksudnya, Pak?" "Lho, Mbak Lily merasa lapar atau tidak?" "Kalau lapar kenapa?" "Saya antar ke restauran." "Hah?!" Aku bingung dengan sopir taksi ini. Bukankah tugas sopir hanya mengantar dan menjemput penumpangnya? Bukan menawarkan pergi ke restauran untuk makan malam tanpa perintah dari penumpang, kan?! Lagi pula, akan terasa lucu jika sopir taksi mobil mewah seperti ini mengetahui selera makanku yang hanya berada di level biasa-biasa saja. Gengsi lebih tepatnya. Masak iya sedan mewan begini berhenti di warteg? "Eh ... saya ... bisa beli sendiri nanti, Pak. Tidak perlu repot-repot." Malu rasanya karena tidak mampu membeli makanan mahal di restauran. Memangnya berapa besar gaji seorang st
"Ly, ini kue siapa?" teriak Lois dari ruang tamu. Aku yang masih diliputi kebingungan setelah membaca softcopy dokumen peralihan saham dari ponselnya pun menjawab seadanya. "Buat kamu!" "Buat aku?! Aku nggak ultah?" "Eh ... itu ... udah makan aja!" "Tumben kamu perhatian beliin aku kue enak?" Aku tidak menggubris ucapannya lalu memilih mengambil pakaian bersih dan bersiap mandi. Tapi ketika membuka pintu, Lois sudah berdiri di depan pintu kamar dengan membawa potongan kue di atas piring. Dia memotongnya sedikit menggunakan sendok lalu menyodorkannya ke mulutku. "Kamu belum nyobain, kan?!" Aku membuka mulut, menerima suapan dari Lois. Kemudian Lois menyuapkan potongan kue selanjutnya untuk dirinya sendiri menggunakan sendok yang sama. "Lois, itu sendok bekasku." "Iya. Kenapa?" "Kamu nggak jijik?" "Sama bini sendiri kenapa jijik?" Apa? Lois menganggapku benar-benar istrinya? Ada apa dengan hari ini? Mengapa dia mendadak begitu ... loveable? *** Lois : Kamu pulang sen
"Lois?" Mataku membelalak tidak percaya melihat keberadaannya yang teramat kebetulan sekali di sini. Dia ada saat aku dihujat rekan-rekan kerjaku satu kantor tentang tersebarnya foto serta video syur itu. Lois lalu mengulurkan tangan kanannya ketika aku terjatuh. Hingga aku tidak mampu kembali berdiri lagi karena terlalu malu. Otakku terus bertanya-tanya bagaimana bisa rekan-rekan kerja mengetahui foto menjijikkanku? Siapa lagi yang sengaja menyebarkannya? Hingga aku tidak fokus saat berjalan tergesa-gesa lalu menginjak sesuatu yang licin. "Ayo pulang." Tangan lois masih terulur lalu aku meraihnya agar bisa segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Setelah berdiri dengan benar, Lois mengibas kotoran yang menempel di rok kerjaku dengan tangan kanannya. "Nggak usah sok peduli!" ucapku tegas tapi lirih. Keempat temanku memandang kami tidak percaya dan aku makin salah tingkah. "Aku nggak mau teman-temanku mikir yang nggak-nggak tentang aku!" "Apa salahnya aku bantu bersihin?"
Tanpa menunggu nanti sore, aku segera mengemasi barang-barang dan membiarkan tugasku sebagai customer service terbengkalai. Tidak ada pemindahan tugas pada siapapun karena aku sudah terlanjur malu pada seluruh karyawan kantor. Foto mesumku sudah tersebar dan semua orang kantor memandangku rendah dan jijik. "Eh, si Lilyah itu mau kemana?" bisik rekanku yang duduk di seberang setelah melepas headphone. Rekan sebelahnya juga melepask headphone lalu ikut melirikku. "Kabur kali. Kemesumannya 'kan udah tersebar." "Nggak nyangka gue kalau dia binal banget." "Sama. Mending dia keluar dari kantor ini dari pada ngasih pengaruh buruk sama yang lain." Lalu berkali-kali dering telfon kabel di kubikelku berdering namun aku mengabaikannya. Itu pasti dari para customer maskapai penerbangan yang hendak mengaduhkan keluhannya. Namun aku tetap fokus mengemasih barang-barang ke dalam tas lalu menutup resletingnya dengan cepat. Tanpa berpamitan pada siapapun, aku segera berlari keluar kantor de
Pikirku, untuk apa tetap hidup jika telah kehilangan banyak hal? Kehormatan, keluarga, tunangan, pekerjaan, dan teman. Semua itu tidak lagi kumiliki sejak foto mesumku tersebar. Aku menjadi sarang hujatan dan hinaan orang yang telah melihat foto aku tengah bergumul dengan seorang lelaki tanpa busana. Meski nyatanya itu adalah fitnah yang digunakan untuk menjatuhkan aku. Hingga detik ini aku masih tidak mengetahui siapa pelakunya. Apa motifnya hingga tega membuat harga diriku jatuh sejatuhnya hingga yang tersisa hanya hinaan. Dengan berurai air mata, aku melihat ke bawah gedung. Aku berhasil berdiri di tingkat teratas sebuah apartemen. Kupikir jika mengakhiri hidup adalah jalan terbaik dari pada hidupku tidak berguna sama sekali. "Aku capek, Tuhan," ucapku dengan air mata membasahi pipi. "Aku nggak kuat lagi. Ini bukan ujian tapi ini neraka dunia!" Banyak orang berlalu lalang dibawah sana tanpa tahu aku ada disini berniat akan mengakhiri hidup yang tidak adil ini. Aku tidak
Aku bergegas mengurai pelukan Lois lalu sedikit bergerak ke belakang agar tercipta jarak diantara kami. Malu rasanya jika aku terlihat begitu membutuhkan dia di saat seperti ini. Saat aku rapuh dan lemah karena foto mesumku tersebar. "Kenapa, Ly?" Kepalaku menggeleng dengan tangan mengusap sisa air mata yang membasahi pipi tanpa mau melihat Lois sedikit pun. "Aku janji bakal pegang rahasiamu, Ly. Kamu bisa cerita segalanya. Bukan dipendam sendiri lalu diam-diam naik rooftop apartemen," ucapnya tenang dan lembut. Tidak seperti tadi, tajam dan berintonasi tinggi. "Itu aib, Lois. Nggak ada bagusnya sama sekali," ucapku serak kemudian air mata ini kembali merembes keluar dan buru-buru menyekanya. Lois tidak berucap apapun, dia hanya duduk di depanku sambil menatap wajahku. "Kamu nggak kerja?!" tanyaku sambil mengalihkan perhatian. Kebetulan diluar nampak sudah gelap. "Hari ini aku minta libur. Karena kamu nekat mau bunuh diri. Aku pikir kamu mengalami krisis kepercayaan diri d
“Kopi itu pahit. Tapi kalau minumnya sama kamu, rasanya jadi manis, Ly.” Aku membelalakkan mata dengan gombalan Lois yang didengar banyak orang. Karena dia mengucapkannya dengan suara lantang seolah-olah tidak memiliki urat malu. Beberapa pengunjung tersenyum tipis. Sedang wajahku seperti diusapi saos kentang goreng yang tersaji di hadapan mereka. Akhirnya tanpa mempedulikan Lois, aku berjalan lebih dulu untuk mencari bangku kosong. Lois justru tersenyum ke beberapa pengunjung yang menatapnya. “Itu bini saya. Lagi ngambek karena belum saya belikan tas baru.” Apa??? Lois sinting! Ketika dia duduk dihadapanku dengan wajah slengekannya, aku justru menatap ke arah pemandangan malam hutan pinus di Kopi Daong ini. “Mau pesan apa, Ly?” tanyanya sambil membuka buku menu yang baru dibawakan pramusaji. “Pesan Lois bakar bisa nggak?!” tanyaku kesal. “Oh … bisa itu. Nanti malam.” “Maksudnya?” Dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Nanti malam aku pasti jadi Lois bakar karena terbakar