enjoy reading ...
Aku banyak berterima kasih pada Lois yang merawatku dengan telaten selama sakit. Dia tidak banyak bertanya mengapa aku tidak jadi menginap di rumah kedua orang tuaku. Dia juga tidak menghakimi perbuatanku yang memilih tidak menghubunginya ketika sudah tiba di kos Nathasya semalam. Dia justru menghiburku dengan petikan gitar dan gesekan biolanya dari beberapa lagu yang sedang terkenal saat ini. "Kalau kamu bisa nyanyi, nyanyi aja. Biar aku yang iringi pakai biola." Kepalaku menggeleng pelan dengan posisi setengah duduk di atas kasur lantai kamar kontrakan kami. "Aku nggak pandai nyanyi, Lois. Mending kamu aja." Dia terkekeh lalu menghentikan permainan biolanya. "Aku nggak jago nyanyi. Suaraku nggak enak." "Bukannya kalau bisa main alat musik juga bisa nyanyi?" "Bisa nyanyi tapi ya gitu. Fals." Aku tersenyum kemudian meraih teh hangat yang pagi ini sudah ia buatkan. Tadi pagi, dia juga membelikan aku bubur untuk sarapan. Dibalik sikap cerewet dan konyolnya, Lois benar-benar l
Kamar Lois di kontrakan lama itu sederhana namun cukup nyaman. Terutama spring bed-nya yang sangat nyaman. Bahkan permukaan spring bed-nya bisa tiba-tiba hangat ketika sapuan angin malam yang berhembus dari jendela cukup dingin ditambah kipas angin yang menyala. Aku yang penasaran dengan jenis spring bed ini pun tergerak untuk mencari tahu dengan menelisik setiap sudutnya. Hingga aku menemukan nama merk spring bed ini dan mencarinya di laman internet. Bukannya keluar dalam bahasa Indonesia, justru ulasannya keluar dalam bahasa Inggris dari situs jual beli Amerika. "WinkBed, number one innerspring mattres. The price is 1.499 Dollar?" Mataku hampir keluar begitu melihat harganya. "Lois gimana bisa beli kasur ginian? Nggak dijual di Indonesia pula." "Masak iya cuma jadi musisi band recehan aja bisa beli spring bed seharga satu motor matic baru?" Masih segar diingatan jika jaket denim yang ia kenakan juga bukan barang murah namun Lois selalu mengelak jika itu hanyalah barang KW.
"Lois! Tunggu! Jangan ditutup telfonnya!" seruku di detik-detik akhir sambungan telfon kami. "Apa lagi?! Aku mau kerja! Keburu telat!" ucapnya dengan nada kesal. Aku tahu, Lois pasti marah karena menungguku selama itu namun aku justru pergi ke rumah Deni. Tapi itu juga bukan sepenuhnya salahku karena aku tidak tahu dia sudah berada di depan kantor untuk menjemputku. Salah sendiri tidak mengirim pesan lebih dulu. "Aku nggak mau tidur di teras." "Lalu? Berapa abad lagi aku mesti nungguin kamu, heh?!" *** Dan disinilah aku. Setelah pulang dari rumah Deni, aku langsung menuju rumah teman adikku, Fani namanya. Aku pernah mengantar adikku, Vela, pergi ke rumah Fani ketika kami berdua masih akur sebagai kakak adik. Seingatku, Fani berada di restauran tempat Vela mengajakku ke acara terlaknat yang mengantarkanku pada nasib sial itu. Dan semoga saja Fani berpihak padaku dan bisa memberi secerca harapan tentang siapa dalang di balik ini semua. Dan juga, semoga Deni bisa membuat I
Saat aku di rumah Fani … “Seingatku, Kak Lily udah setengah nggak sadar. Kepala udah direbahin di atas meja. Saat aku tanya Vela, dia bilang kalau Kakak ngantuk.” “Saat kita lagi sorak-sorak senang, aku nggak sengaja lihat dua orang laki-laki datang nyamperin Kak Lily lalu membawa Kakak pergi. Lalu aku tanya Vela lagi. Dia bilang kalau itu sepupu kalian yang emang sengaja datang buat njemput Kak Lily.” Aku yang duduk di samping Fani pun menggeleng tidak percaya. Kini spekulasinya hanya ada dua. Apakah Vela benar-benar tidak mengenal kedua lelaki yang membawaku pergi? Ataukah itu memang rencangan Vela untuk membuatku berakhir di ranjang dengan lelaki lain? “Makanya aku sempat kaget Kak Lily bilang diusir dari rumah bahkan dikatain yang nggak bener.” “Apa kamu nggak tahu hal lainnya, Fan?” Kepalanya menggeleng. “Soalnya aku kira itu emang sepupu kalian. Tapi, bukannya Kak Lily mau nikah?” Kini giliran kepalaku yang menggeleng. “Batal. Karena kejadian itu, Fan.” “Ya Tuhan. Yang
“Lois, ayo pulang ke kontrakan. Aku harus berangkat kerja.” Fajar mulai nampak dan aku membangunkan Lois yang tidur dengan sangat lelap. Hingga pagi menjelang entah berapa kali aku terbangun hanya untuk memastikan bahwa tidak ada tangan yang melingkari tubuhku meski Lois adalah suamiku. Dia menepati janjinya dengan tidak menyentuhku saat tidur tapi memeluk guling yang menjadi pembatas kami berdua. Setelah mencuci muka dan kembali ke kamar, Lois membuka lemari kemudian mengambil sebuah sweater. “Pakai ini, Ly. Di luar masih dingin. Cardiganmu terlalu tipis.” Aku menerima sweaternya setelah selesai merapikan sprei ranjang tidur. “Eh, tunggu. Kamu habis nangis, ya?!” Semalam, mungkin Lois tidak menyadari kondisi mataku karena penerangan yang temaram di dalam kamarnya. Namun pagi ini, aku lupa menyembunyikan mata bengkakku ketika penerangan kamarnya menyala terang. “Nggak, kok. Buruan balik ke kontrakan kita. Aku belum mandi.” Tanpa menginterogasiku lebih jauh, Lois memilih berlal
“Kok cuma berdiri sih, Mbak? Sini duduk dulu. Ntar aku kasihin kuncinya.” Usai berkata demikian, lelaki tanpa baju dan hanya mengenakan celana jeans itu kembali menghisap nikotin melalui bibirnya yang hitam. Lalu menghembuskan asapnya ke udara diikuti beberapa teman lelakinya yang lain. “Saya cuma butuh kunci kamar Lois. Bukan duduk disini dengan kalian.” “Jangan mikir jelek dulu, Mbak. Ceweknya anak-anak yang bertamu kemari tuh wajib kenalan sama kami-kami dulu. Masak cuma keluar masuk kontrakan tapi nggak kenal kan nggak etis.” “Saya rasa itu nggak perlu.” “Nama Mbaknya aja kita nggak tahu. Gimana kalau pas ada yang nyariin. Ya nggak, gaes?!” Teman-teman lelakinya yang lain mengangguk setuju. “Teman-teman disini tuh biasa banget masukin ceweknya ke kamar. Dan kita kenal semua cewek itu. Anggap aja ini salam perkenalan.” Aku tertegun mendengar penuturan mereka. Pasalnya aku baru tahu jika kontrakan lama Lois ini tidak memiliki aturan ketat bahkan bisa seenaknya membawa masuk d
"Nath, makasih udah ngizinin gue nginep di kos lo. Maaf gue ngrepotin." "Nggak masalah, Ly." "Gue balik dulu, ya? Tolong jangan bilang apa-apa ke Lois. Gue nggak mau ngrepotin dia," kilahku padahal aku begitu kecewa padanya. "Kenapa sih, Ly? Dia kan sepupu lo?" Kepalaku menggeleng kemudian berpamitan pergi. Pagi masih buta namun aku harus segera kembali ke kontrakan untuk mandi dan berganti pakaian. Pertanyaannya, apakah aku berani berada di kontrakan seorang diri? Nanti aku akan nekat mencobanya. Andai tetap tidak berani, mungkin aku akan meminjam kamar mandi tetangga kontrakan. Dan semoga saja suaminya sudah pergi bekerja agar aku tidak dianggap mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain. Rasanya sungguh tidak nyaman memiliki autophobia seperti ini ditambah dengan hati yang benar-benar terluka. Lalu sebuah ide terlintas dibenakku dan sepertinya tidak ada salahnya mencoba solusi itu. Bukankah aku pernah membahasnya dengan Mama? Dan bila keadaannya seperti ini, buka
“Aku nggak pernah merendahkan kamu! Apalagi menjual kamu ke teman-temanku!” Lois berucap pelan, tegas, dengan wajah serius menatapku yang berurai air mata. “Munafik! Semua laki-laki itu sama! Ucapan sama kelakuannya beda! Kalian bersikap sok jadi pahlawan padahal aslinya preman! Aku benci kamu, Lois!" Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya yang mencengkeram kedua pergelangan tanganku erat dan menghimpit tubuhku ke dinding. “Sumpah demi apapun, Ly! Aku nggak pernah punya niatan nyodorin kamu ke teman-temanku!" "Kalau enggak, lalu kenapa mereka gituin aku, Lois?!" ucapku kesal. "Lagi pula, teman mana yang kamu maksud, Ly?!” “Teman-teman kontrakanmu!” “Apa?!” Lois terkejut. “Nggak usah sok terkejut padahal kamu tahu semuanya! Kamu sengaja giniin aku, kan?! Mentang-mentang kamu udah tahu rahasia besarku yang gagal nikah! Iya, kan?!” Kepalanya menggeleng tegas dengan mata menatapku tajam. “Walau aku gagal nikah, tapi aku bukan perempuan murahan, Lois! Aku masih punya harga dir