enjoy reading ...
"Aku nggak berani masuk kontrakan. Makanya aku tidur di teras. Nungguin kamu pulang," akuku pada Lois. Lagi pula untuk apa aku menyembunyikan autophobia yang kumiliki? Sedang satu-satunya orang yang mau menemaniku setelah diusir dari rumah hanyalah Lois yang kini juga berstatus sebagai suamiku. Meski hanya suami di atas kertas. Lois meletakkan gitarnya lalu menatapku, "Takut apa sih kamu? Lagian di dalam kontrakan kagak ada apa-apa." Aku kemudian duduk bersila di tempat sahabatnya tadi duduk, "Namanya juga ketakutan bawaan dari lahir. Intinya aku takut sendirian." "Jadi dengan kata lain, aku harus nemenin kamu di kontrakan?" Aku melipat bibir lalu menatapnya sekilas, "Kayaknya gitu." "Kan perjanjian sama bokapmu setelah nikah ya udah. Aku bisa balik kayak biasanya dan nggak terikat sama kamu. Sambil nunggu ---" "Perceraian kita. Gitu kan?" selaku cepat. "Ya emang, kan?!" "Please, jangan bilang cerai dulu." "Kenapa?" "Sekali kamu membahas perceraian, maka saat itu juga tali
Aku membawa jaket denim merk APC milik Lois dan melihat bandrol merk yang terjahit khusus. Bisa dipastikan jika ini adalah jaket asli merk APC. Bukan barang KW seperti yang Lois katakan. “Jaket siapa, Ly?” Shala tiba-tiba muncul dari balik kubikelku. Aku reflek menyembunyikan jaket denim Lois ke dalam tas kerja sebelum sahabat baikku itu mencurigaiku. “Jaket … Ishak,” kilahku. Ah … ya Tuhan. Mengapa aku menyebut namanya? “Gimana persiapan pernikahan lo sama Ishak? Udah dapat MC yang cocok?” Beberapa waktu lalu, sebelum pernikahanku dengan Ishak dibatalkan kedua keluarga kami, aku mengadu pada Shala jika sedang mencari MC khusus acara pernikahan. “Eh … udah, La.” Dan karena pertanyaan Shala itu, suasana hatiku menjadi buruk. Mau tidak mau aku harus mendongkrak semangatku agar bisa menuntaskan pekerjaan hari ini dengan baik. Ishak. Aku masih sangat mencintainya dan … aku tidak tahu bagaimana melenyapkannya dari hatiku. Aku berharap, siapapun orang yang menjebakku dan sengaja me
Lois ingin kembali ke kontrakan yang ia tinggali bersama teman-teman musisi recehannya? Meninggalkan aku di kontrakan seorang diri dengan autophobia yang kuderita? Tega! Meski pernikahan kami di atas kertas namun saat ini hanya Lois semata yang kupunya sebagai teman terdekat. Dan hanya padanya aku bisa meminta tolong untuk menemaniku berada di kontrakan sampai aku bisa melawan autophobia ini. Sampai kapan? Entah lah. Setahuku, gangguan bawaan sejak lahir bukan hal yang mudah untuk ditaklukan. "Oh ... jadi aku ini perempuan yang aneh pemikirannya? Begitu?" "Ya apa emangnya kalau nggak aneh? Kebutuhan untuk kamu sendiri aja masih mikir-mikir. Emang mau numpang terus? Genit sama suami tetangga?" Bagai disentil terang-terangan, aku yang sudah terlanjur bad mood karena barusan melihat mantan tunanganku, akhirnya memilih pergi meninggalkan Lois sebelum air mataku tumpah ruah dihadapannya. "Aku benci kamu, Lois!" Ketukan sepatu high heels-ku beradu dengan lantai pusat perbelanjaan k
Disinilah aku sekarang. "Nath, titip sepupu gue, ya?! Bentar doang," Lois berucap. Aku menatap seorang perempuan tinggi kurus dengan rambut digerai mengenakan baju tidur panjang. Dia Nathasya, kekasih sahabat musisi recehan Lois. Lois menitipkan aku di kos Nathasya. Seperti anak gadis yang belum mandiri. "Dia punya fobia sepi, Nath. Nanti gue jemput setelah pulang kerja. Oke?" Tidak lupa Lois memberikan satu kotak martabak pada Nathasya agar sudi menampungku sampai Lois selesai bekerja. Malam ini, lelaki yang bergelar sebagai suami diam-diamku itu tidak membawa gitarnya, melainkan membawa biola baru miliknya. Dibeli dari upah yang ia dapatkan dari Papa karena menikahiku. Miris nasibku. Setelah Lois pergi dengan motor maticnya, Nathasya membawaku masuk ke dalam kamarnya yang tidak luas. Ternyata, dia seorang mahasiswa sementer enam jurusan ekonomi. "Emang teman kosan lo kemana semua, Ly? Kok lo sampai kesepian?" "Ehm ... pada keluar, Nath," bohongku. "Tapi kalau lo sam
MAAF, ADA KESALAHAN UPLOAD!!! ABAIKAN CHAPTER SEBELUMNYA! ----- "Gaes, hari ini Bang Rama ulang tahun. Rencananya nanti habis pulang kerja kita ditraktir makan-makan di Signature Resto." Aku yang sedang mencatat keluhan customer di laptop pun ikut mendongak mendengar pengumuman yang diumumkan oleh salah satu pegawai customer care. "Jangan nggak datang. Nyesel lo pada." Aku menoleh ke Shala yang juga menatapku. Kami tersenyum senang karena mendapat undangan makan malam di salah satu tempat makan ternama. "La, gue nebeng, ya?" "Ngapain nggak minta antar Ishak aja, Ly?" Sejauh ini, Shala masih belum mengerti jika aku dan Ishak batal menikah. "Dia sibuk, La," bohongku. "Gue perhatiin, lo belakangan ini jarang bicara masalah Ishak atau rencana pernikahan kalian deh, Ly? Apa semua udah beres?" Bukan sudah beres lagi, melainkan sudah selesai. Dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya pada Shala nantinya jika aku belum menyebarkan undangan. Padahal dia tahu sekali rencana tan
Melabrak Ishak dan perempuan yang sedang makan malam dengannya? Oh ... tidak! Aku tidak sebar-bar itu. Lagi pula, aku masih tahu diri jika melabraknya maka aku sendiri yang bisa dipermalukan balik. Bagaimana jika perempuan yang bersama Ishak itu berkata bahwa aku telah menikah dihadapan pengunjung resto? Bukannya mendapat dukungan untuk menjuluki perempuan itu sebagai pelakor atau bebas menghina Ishak yang bisa saja selama ini playing victim di belakangku. Justru, aku yang mendapat julukan wanita tidak tahu diri. Karena sudah bersuami masih saja mengejar lelaki lain. “Gue pulang, La.” Aku beringsut pergi dengan hati menahan sesak lalu Shala menarik tanganku. “Ly, itu Ishak! Mintai penjelasan dulu siapa perempuan yang lagi dinner sama dia!” Kepalaku menggeleng sebagai jawaban. Dan lagi, Shala tidak mengerti duduk perkara hubungan kami yang sebenarnya. “Gue capek, La. Pengen pulang.” Aku segera memesan ojek online karena ingin menangis sekeras-kerasnya di kontrakan tanpa ada
Sudah satu minggu, aku telah meninggalkan rumah masa kecilku ini karena permintaan Papa. Aku dianggap biang masalah yang membuat nama baik keluarga tercoreng. Padahal foto bercintaku dengan seorang lelaki asing yang sampai detik ini tidak bisa kuungkap, belum terbukti kebenarannya. Karena masih segar diingatan jika aku bermalam bersama lelaki itu dibawah kendali alam bawah sadar. Entah kami benar-benar melakukan hubungan itu atau tidak. "Ayo masuk, Ly." Mama, hanya beliau yang tetap menyayangiku. Ketika Papa tidak berada di rumah, Mama menjamuku untuk menginap semalam di rumah penuh kenangan ini. "Mama udah masak menu kesukaanmu." Selera makanku tergugah begitu melihat cap cay dan gurami asam manis tersaji begitu menggoda di atas meja makan. Padahal sebelum berangkat kemari aku telah melahap spagheti buatan Lois. Sembari menikmati sarapan setengah siang, kami berbicara banyak hal. "Kontrakanmu nyaman kan, Ly?" Kepalaku menggeleng. "Tapi aku mencoba beradaptasi, Ma." "Apa
"Ly, cepat minta maaf sama Vela," bujuk Mama. Aku menatap Mama dengan sorot terluka. Pasalnya, kini Mama juga sudah mulai terkena racun mulut berbisa adikku ini. "Buruan minta maaf deh, Kak Ly! Atau aku telfonin Papa nih biar Kakak nggak diizinin tidur sini!" ucap Vela sinis. "Ly, buruan minta maaf. Biar masalahnya kelar." Mama kembali membujukku. "Ngapain sih Kak Lily kemari, Ma? Nggak betah ya tinggal di kontrakan yang sempit dan ... penuh dengan orang-orang kotor," cibirnya. Mendengar kata 'kotor' membuatku curiga jika Vela bekerja sama dengan Lois mencarikan kontrakan untukku yang berada di sekitar area lokalisasi. Apa mereka menganggap aku begitu hina? "Apa maksudmu, Vel?!" Kemudian aku menarik kerah baju Vela begitu saja. "Lepasin, Kak! Aku bilang nih sama Papa!" ancamnya kembali. "Bilang sama Papa kalau aku kemari! Aku nggak takut dan aku nggak bakal nginep disini! Puas kamu!" pekikku lalu menyentak tubuhnya ke belakang. Vela tersenyum senang lalu membetulkan kerah
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.