Lois menunjukkan kardus besar yang disembunyikan di balik tubuh tingginya. Dia mengangkatnya sedikit lebih tinggi dengan ekspresi acuh. "Buat apa kamu bawa kardus kemari?" tanyaku dengan suara serak sehabis menangis. Bahkan aku setengah malu karena dia melihatku dengan kondisi sehabis berurai air mata. Pasti penampilanku sudah jauh dari kata layak dipandang mata. "Pindahan." "Apa maksudnya?" Dia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "Papamu ngasih kardus ini ke aku. Katanya suruh bantuin kamu packing dari sekarang. Besok pagi kita harus udah nggak ada di rumah ini lagi." Aku menelan kenyataan pedih ini sambil memejamkan mata erat-erat. Demi Tuhan, aku menyumpahi Papa akan sangat menyesal karena telah mengusirku dengan cara yang teramat buruk. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri yang difitnah oleh orang tidak bertanggung jawab. Papa seperti apa dirinya itu?! Bukannya membantuku mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah yang membuat keluargaku menanggung malu hingga a
Apa yang kuharapkan dari lelaki .... ah bukan, tetapi suami. Ya, suami. Apa yang kuharapkan dari suami yang berprofesi sebagai seniman recehan ketika membawaku keluar dari rumah yang menjadi istana tempatku dilahirkan? Dijemput mobil bagus? Dengan hiasan indah di atapnya? Lalu membawaku menuju hotel berbintang yang sudah ia sewa? Dengan kamar presidensial yang dipenuhi bunga mawar merah dan segala pernak-pernik dunia yang membuatku memujanya? MIMPI! Ya, karena kenyataannya Lois tidak memiliki itu semua! Dia hanya memiliki sedikit uang, bahkan aku berani bertaruh jika ia baru tahu rasanya memegang uang sebanyak tiga puluh juta. Itu pun dari hasil menjual masa depannya pada Papa dengan menikahi perempuan kotor sepertiku. Tidak ada acara pelepasan penuh haru biru seperti orang tua kebanyakan saat melepas putri mereka pada lelaki yang baru saja menikahinya. Papa tetap menyantap sarapannya dengan nikmat ditemani Vela, adikku sekaligus musuh baruku. Sedang Mama membantuku membawa
"Jangan sentuh aku walau kita udah nikah!" ucapku ketus pada Lois ketika dia mempersilahkan masuk ke dalam taksi.Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, aku hanya diam sambil menatap lalu lalang kendaraan. Hingga pandanganku tertuju pada bar and restaurant tempat aku dan Ishak bertemu untuk pertama dan ... terakhir kali.Kisah cinta kami berawal dari pertemuan di dalam bar and restaurant itu dan berakhir disana pula. Aku hanya bisa mendesah lirih dengan hati yang sesak. Bagaimanapun, kisah kami tidak bisa diulang karena Ishak tidak akan pernah sudi menerimaku lagi. Dia berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih bermartabat dan suci.'Kalau kamu bahagia, aku pun akan turut bahagia, Shak. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Kamu tetap memiliki ruang tersendiri di dalam hatiku meski cinta kita tidak akan pernah bisa bersatu,' batinku.Lois, suamiku itu, tampak akrab berbincang dengan sopir taksi. Mereka membahas timpangnya pembangunan pusat perbelanjaan yang berdiri di atas lahan
Aku kembali mengenakan sepatu lalu berjalan ke arah Lois dengan amarah tertahan kemudian mengambil kedua tasku dari tangannya. "Ini tas aku!" Dia menaikkan kedua alis dan tangannya, "Yang bilang itu tasnya Angelina Jolie juga siapa?" "Jangan banyak omong deh! Sekarang tunjukin dimana rumah kontrakannya?!" tanyaku dengan hati kesal karena Lois nampaknya hobi membuat orang lain kesal dengan kelakuannya. Jarinya menunjuk ke kanan, sebuah rumah yang bentuk bangunannya sama dengan rumah sebelahnya. Hanya wananya saja yang berbeda. Aku berusaha membawa kedua tasku sendiri meski berat lalu menuju rumah itu. Namun, ketika tanganku meraih handle, pintu tidak terbuka sama sekali. Aku hanya bisa mendesah kasar karena baru menyadari jika pintu rumah itu terkunci. Dan Lois pasti memegang kuncinya. Dia membuka tas ransel lalu mengoyak-ayik isinya. Terdengar suara dentingan antara uang koin recehan dengan kunci kontrakan hingga membuatku muak dengan profesi rendahannya. Lalu sekelebat bayan
Dua jam lamanya aku duduk di teras kontrakan tanpa berani masuk ke dalam. Alasannya sederhana, autophobia yang kumiliki membuat ciut keberanianku untuk berada di dalam kontrakan tanpa adanya teman. Bayangan gelap yang terus menghantui di balik kedua kelopak mataku seperti hal yang tidak bisa aku hindari. Semakin melawan ketakutan ini, maka semakin aku tidak bernyali. Lalu, mau sampai kapan aku duduk di teras kontrakan sedang hari terus bergulir menuju gelap? "Apa aku telfon Shala aja ya?" Shala, sahabat baik sekaligus rekan kerjaku. Lalu aku memberanikan diri menelfonnya dan berharap dia bisa datang membantuku. "Sha, lo ada waktu luang nggak hari ini?" tanyaku melalui sambungan telfon. "Gue lagi keluar sama keluarga besar, Ly. Nggak ada di rumah sekarang." "Oh ..." Bahuku lunglai begitu mendapati satu-satunya penolongku untuk bisa melawan autophobia ini ternyata sedang menghabiskan akhir pekannya dengan keluarga yang mencintainya. Tidak seperti aku, yang dibuang oleh keluarga
"Lho, Mbak Lily masih di teras rumah?" itu suara tetangga kontrakan tadi, Indri namanya. "Iya, Mbak." Dia menatap kondisi dalam kontrakanku ketika senja hampir berganti petang, "Kok lampunya belum dihidupin, Mbak?" Aku menggeleng pelan lalu berucap, "Aku nggak berani, Mbak. Soalnya ... aku punya autophobia." "Apa itu, Mbak?" "Takut sendirian apalagi di tempat baru yang nggak ada satu pun yang kukenal." "Naaah, pas itu, Mbak. Mending Mbak Lily telfon suaminya aja biar segera pulang buat nemenin. Eh, tapi ... kalian kayaknya nggak akur ya? Maaf lho, Mbak. Bukannya ikut campur urusan rumah tangganya Mbak Lily." Tadi siang Indri tahu bagaimana perseteruanku dengan Lois melalui sambungan telfon. Wajar jika dia menganggap aku dan Lois memiliki masalah. "Tapi suaminya beneran mau kemari kan, Mbak?" "Katanya tadi mau kemari, Mbak. Cuma sampai mau gelap gini dia belum juga datang." Indri tiba-tiba menghela nafas kasar. Wanita berkulit sawo matang itu nampak sedikit kesal. "Nah, gitu
“Dengar, Lois! Meski aku nggak suci lagi bukan berarti kamu bebas bersikap seenaknya kayak gini!” aku berucap penuh amarah. Lois menatapku tanpa berketip mendengar rahasia besarku ini. “Apa kamu bilang, Ly? Nggak suci?” Aku terhenyak ketika Lois balik bertanya. Belum tahu kah dia dengan apa yang kualami? “Jadi, kamu … batal nikah karena habis diperkosa lalu ditinggalin calon suami atau karena calon suamimu pergi setelah puas mainin kamu?” Oh tidak! Benar dugaanku bahwa Lois tidak tahu pasti apa penyebab aku batal menikah dengan Ishak. Karena tersulut amarah, aku membuka aibku. Mengakui bahwa tubuhku telah ternoda. Aku memilih berdiri lalu berucap, “Gi ... gimana malam ini? Aku nggak berani sendirian.” Lebih baik mengalihkan pembicaraan dari pada terbuka pada Lois. Lois menatapku penuh selidik namun aku membuang muka, “Kan di kamar ada kasurnya.” “Hari-hari selanjutnya?” “Kamu lagi nggak minta aku temani tidur di kamar, kan?!” “Mesum!" “Kan kesepakatan awal sama Papamu, t
Aku tidur di kamar. Lois tidur di ruang tamu. Kami sudah menikah tapi seperti orang lain. Mau bagaimana lagi, pernikahan kami terjadi demi menyelamatkan nama baik keluargaku akibat foto satu malamku dengan lelaki tidak dikenal yang sudah tersebar di grup dasawisma perumahan orang tuaku. Begitu pagi menjelang, aku menyadari satu hal bahwa kamar mandi di kontrakanku masih kosong. Tidak ada gayung, air, dan perlengkapan mandi apapun. “Miris!” gumamku. Padahal pagi ini aku harus berangkat bekerja. Karena tidak ada pilihan, aku menumpang mandi di kontrakan Mbak Indri yang berada di sebelahku. Setelah aku selesai berdandan pun, Lois masih terlelap di atas alas tidur dengan berselimut jaket denimnya. Aku bingung haruskah berpamitan atau tidak? Akhirnya aku memilih pergi ke kantor tanpa berpamitan langsung. Hanya mengirim pesan bahwa aku sudah berangkat bekerja. “Terima kasih atas kepercayaan Bapak menggunakan pelayanan maskapai kami. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Baru saja aku