"Kalau kamu ada masalah di rumah, jangan dibawa ke kantor, Lilyah! Karena kami tidak menggaji karyawati yang tidak profesional sama sekal! Kami butuh karyawati yang siap bekerja!"
"Maafkan saya, Bu."
Atasanku memberi peringatan tegas karena dua hari ini aku terlambat masuk kantor dan beberapa komplain calon penumpang maskapai yang kutangani tidak terselesaikan dengan baik. Akhirnya mereka mengirim surat elektronik yang sialnya langsung terhubungan dengan atasanku, Bu Dira.
"Sekali lagi kamu tidak becus bekerja, silahkan kirim surat pengunduran dirimu ke bagian HRD!"
Usai mendapat teguran, aku kembali ke kubikel dengan wajah tidak ceria sama sekali. Masalah yang menghampiri belakangan ini membuatku tidak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup.
Sudah kehilangan kehormatan, kehilangan calon suami, dibenci keluarga, menjadi bahan gunjingan tetangga, dan kini tidak bekerja dengan baik.
Setelah seharian memaksa diri dan hati untuk bekerja, akhirnya aku kembali pulang dengan sesak di dada yang masih sama. Walau kami batal menikah, namun cincin milik Ishak masih tergantung aman sebagai liontin di kalung yang kukenakan.
Aku masih belum bahkan tidak rela melepas dirinya meski Shala menasehati aku berkali-kali untuk sabar dan mengikhlaskan kepergiannya. Beruntung, Shala tidak memaksaku mengungkap apa yang menjadi alasan perpisahan kami.
"Jangan, Pa! Jangan! Kasihan Lilyah! Dia itu anakmu!"
"Dia bukan anakku! Dia itu pe***ur yang membuat malu nama baik keluarga! Biar dia minggat!"
"Jangan, Pa! Jangan usir Lilyah!"
Aku yang baru saja turun dari taksi online begitu terkejut melihat teriakan Mama dan Papa di teras rumah. Ada dua tas besar berisi pakaian namun sebagian telah terburai ke lantai. Papa menendang satu tas yang telah tertutup hingga tas itu terjungkal di lantai paving rumah.
Sedang Mama tetap memohon pada Papa dengan bersimbah air mata untuk mengampuniku. Dan Vela, adikku, yang tidak pernah akur denganku itu hanya diam, bersedekap, dan berdiri di belakang Papa yang tengah murka.
"Bagus kalau kamu udah datang! Pergi dari rumah ini! Nggak usah nunggu besok!" bentak Papa lantang dengan tangannya menunjuk gerbang rumah.
"Sebagai orang tua yang baik, seharusnya Papa nggak gelap mata nuduh aku kayak gitu, Pa! Karena aku bukan pe***ur atau ja***g seperti yang Papa pikirkan! Aku juga berusaha mengingat dan mencari tahu siapa lelaki yang begitu kurang ajar padaku!"
"Halah, nggak penting! Nasi udah jadi bubur! Lagi pula siapa yang mau percaya ucapanmu heh?!"
Gajiku yang masih belum seberapa untuk hidup mandiri, ditambah aku memiliki gangguan autophobia, menjadikan aku sangat takut bila tinggal seorang diri di tempat baru tanpa ada yang kukenal.
"Seisi perumahan ini udah tahu gimana bejatnya kamu! Papa sampai ditegur Pak RT gara-gara foto terlaknatmu udah tersebar!"
"Papa bakal menyesal karena nggak percaya sama aku! Karena aku memang benar-benar dijebak! Demi Tuhan!"
"Jangan bawa-bawa Tuhan! Dan satu lagi, minta pertanggungjawaban sama lelaki itu kalau kamu bingung mau kemana!"
Saat kami sedang berseteru tiba-tiba Vela membuka suara.
"Kalau Papa malu dengan foto-foto yang udah tersebar, kita bisa carikan Kak Lily penggantinya Kak Ishak," itu suara Vela, adikku yang sangat centil.
Dua tahi lalat di dekat bibirnya seakan menjadi penanda jika dia adalah gadis yang pandai berargumen.
"Maksudnya?" Papa bertanya.
"Gimana kalau Kak Lily tetep dinikahin sama lelaki sembarang yang mau menikahi dia? Ya ... hitung-hitung biar nama baik keluarga kita bisa diselametin, Paa."
Aku menatap heran dengan ide konyol adikku itu. Dia pikir apakah aku ini perempuan tidak punya hati yang bisa menerima lelaki manapun dengan entengnya?
"Emang ada lelaki yang mau nikahin perempuan kotor kayak dia?"
"Selama kita nggak bilang sama lelaki itu, pasti dia mau. Kak Lily nggak jelek-jelek amat, apalagi nanti Papa kasih dia imbalan sepuluh juta buat jadi suami sementaranya Kak Lily."
Aku dibuat tercengang dengan ide Vela yang tidak menghargaiku sama sekali. Dia benar-benar berubah menjadi gadis tidak berperasaan.
"Mama terima saran Vela asal Papa nggak ngusir Lily dari rumah!" Mama justru memberikan persetujuannya.
"Cuma itu jalan satu-satunya biar keluarga kita nggak digunjing sama tetangga, Paa," Vela kembali berucap.
Bisa kulihat dari cara bicara Vela yang terkesan sangat santai disertai senyum tipis penuh makna saat memberi saran pada Papa untuk menikahkanku dengan lelaki sembarang. Apa tujuan sebenarnya dia memberi saran itu?
"Apa kamu punya kenalan lelaki yang mau diajak kerja sama, Vel?"
"Ada, Paa. Aku bisa cariin laki-laki yang bisa diajak kompromi. Temanku kan banyak." Papa menatap Mama sejenak kemudian kembali menatap Vela. Beliau bimbang harus memutuskan apa karena foto syurku terlanjur diketahui warga perumahan. "Apa dengan dia menikah dengan lelaki sembarangan itu, nama baik kita bisa berubah bersih?" tanya Papa pada Vela. "Ya kan seenggaknya, tetangga mikirnya kalau Kak Lily tuh udah tidur sama lelaki yang menikahi dia. Lumrah kan, Paa.""Lalu, apa harus pakai acara resepsi juga?" "Ya nggak usah lah, Paa. Namanya juga married by accident. Yang penting cepet menikah sebelum ketahuan hamil duluan. Masih untung undangannya sama Kak Ishak belum kesebar." Bagaimana bisa Vela begitu enteng membahas hal ini bersama Papa dihadapanku. Bahkan apapun yang mereka putuskan dan bicarakan, aku sama sekali tidak mampu untuk menyahuti. Selelah itulah raga dan jiwaku ini."Hamil duluan katamu?" "Ya mana kutahu, Paa.""Seenggaknya, Lily jangan diusir dari rumah ini. Dia pun
"Panggil aja anakmu itu!" Papa berucap dengan nada sedikit membentak. "Kalau Papa nggak mau bilang tamu itu siapa, lebih baik Lilyah tetap di kamar!" Mama juga tidak mau kalah berargumen dengan Papa. Kemudian Papa menghela nafas kasar sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya terlihat menahan emosi yang teramat karena selalu dihadapkan dengan pertengkaran bersama Mama. "Dia ---""Pa, anaknya udah aku persilahkan duduk," Vela menyela obrolan Mama dan Papa dengan wajah sumringah dan bahagiaAdikku telah berubah dengan tidak lagi bersikap manis itu justru bertindak sebagai angin yang terus berhembus di ladang hati Papa yang tengah terbakar. Akibatnya usahaku dan Mama menaburkan air yang tidak seberapa untuk meredam amarah Papa, tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih justru gagal. "Suruh anakmu keluar!"Hanya itu yang Papa katakan lalu aku kembali luruh ke lantai dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Tidak lama kemudian, Mama mengetuk kamarku. Beliau menyuruhku untuk memakai baju
Siapa bilang Lois itu tampan?Jika ada yang bilang dia tampan, mungkin itu adalah kucing betina yang benar-benar buruk rupa hingga tidak ada kucing jantan yang sudi mengajaknya berkencan. Oh ayolah ... Lois, si lelaki yang berprofesi sebagai seniman recehan dengan pendapatan pas-pasan ditunjang dengan wajah yang tidak rupawan. Dia memiliki model rambut yang disisir ke belakang dengan gel murahan, kaos hitam setengah pudar yang dibungkus dengan kemeja flanel biru abu-abu usang dan celana jeans belel yang mulai kelihatan tidak layak dikenakan.Seriuskah Papa akan menghancurkan masa depanku dengan menikahkanku dengannya?! Garis wajahnya sangat minimal sekali, hanya hidung saja yang mancung. Selebihnya dia tidak memiliki daya tarik apapun dan aku berani jamin jika dia berasal dari keluarga yang kastanya lebih rendah dari pada keluargaku. Ini mimpi buruk!Bahkan dia sama sekali tidak jauh lebih baik seujung kuku Ishak. Tunangan yang harus kulepaskan secara paksa karena kebodohanku. Mu
Saat aku hanya diam menatap tangan Lois yang terulur padaku, dengan cepat Mama mengulurkan tangan kananku untuk meraih tangannya. Dengan setengah terkejut, aku menuruti apa yang sudah Mama lakukan. Pasalnya, keinginan untuk mengabaikan pernikahan ini lalu pergi meninggalkan Lois di tengah-tengah acara sudah membayangi pikiranku. Tapi, karena ulah Mama, akhirnya aku menerima tangan Lois lalu menciumnya sekilas dihadapan para petugas agama yang menikahkan kami dan siapa saja yang datang. Setelahnya, aku segera melepas tangan Lois dan ia hanya tersenyum tipis dengan bentuk lengkungan yang membuatku berpikir jika ia sedang menikmati betapa tersiksanya aku melakukan hal ini. Ketika dia datang seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar nyata untukku, ingin rasanya satu waktu nanti giliranku yang akan menertawakannya balik. Tunggu saja, Lois!"Pengantin perempuannya masih syok ya kalau udah nikah," ucap petugas urusan agama. "I ... iya, Pak," jawab Mama dengan senyum terpaksanya. Lalu
"Yang menghancurkan masa depanmu, adalah kamu sendiri! Jadi, berhenti menunjuk Papa sebagai orang tua yang nggak benar! Justru menikahkan kamu adalah pilihan terbaik meski harus sama pengamen sekalipun kayak Lois!" ucap Papa kasar. Aku melirik Lois yang bermuka cuek dan masa bodoh meski dihina Papa sedemikian menyakitkan. Dia seakan-akan kenyang dengan segala hinaan orang karena profesinya yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah."Ingat Lilyah, kalau fotomu itu udah kesebar di satu kompleks perumahan! Memang lelaki benar mana yang mau menikahi kamu?! Masih syukur Lois mau sama kamu meski ujung-ujungnya dia mau nerima kamu karena duit!" "Dasar anak nggak tahu diri! Ngaca yang bener baru menghardik orang tua! Udah salah, masih protes melulu!" jelas Papa panjang lebar.Selepas mengatakan kekesalannya pada kami berdua, betapa malunya aku dihadapan Lois dan ketiga temannya yang mendengar pertengkaranku dengan Papa. Pernikahan yang baru diselenggarakan, bahkan kurang dari dua jam saj
Lois menunjukkan kardus besar yang disembunyikan di balik tubuh tingginya. Dia mengangkatnya sedikit lebih tinggi dengan ekspresi acuh. "Buat apa kamu bawa kardus kemari?" tanyaku dengan suara serak sehabis menangis. Bahkan aku setengah malu karena dia melihatku dengan kondisi sehabis berurai air mata. Pasti penampilanku sudah jauh dari kata layak dipandang mata. "Pindahan." "Apa maksudnya?" Dia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "Papamu ngasih kardus ini ke aku. Katanya suruh bantuin kamu packing dari sekarang. Besok pagi kita harus udah nggak ada di rumah ini lagi." Aku menelan kenyataan pedih ini sambil memejamkan mata erat-erat. Demi Tuhan, aku menyumpahi Papa akan sangat menyesal karena telah mengusirku dengan cara yang teramat buruk. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri yang difitnah oleh orang tidak bertanggung jawab. Papa seperti apa dirinya itu?! Bukannya membantuku mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah yang membuat keluargaku menanggung malu hingga a
Apa yang kuharapkan dari lelaki .... ah bukan, tetapi suami. Ya, suami. Apa yang kuharapkan dari suami yang berprofesi sebagai seniman recehan ketika membawaku keluar dari rumah yang menjadi istana tempatku dilahirkan? Dijemput mobil bagus? Dengan hiasan indah di atapnya? Lalu membawaku menuju hotel berbintang yang sudah ia sewa? Dengan kamar presidensial yang dipenuhi bunga mawar merah dan segala pernak-pernik dunia yang membuatku memujanya? MIMPI! Ya, karena kenyataannya Lois tidak memiliki itu semua! Dia hanya memiliki sedikit uang, bahkan aku berani bertaruh jika ia baru tahu rasanya memegang uang sebanyak tiga puluh juta. Itu pun dari hasil menjual masa depannya pada Papa dengan menikahi perempuan kotor sepertiku. Tidak ada acara pelepasan penuh haru biru seperti orang tua kebanyakan saat melepas putri mereka pada lelaki yang baru saja menikahinya. Papa tetap menyantap sarapannya dengan nikmat ditemani Vela, adikku sekaligus musuh baruku. Sedang Mama membantuku membawa
"Jangan sentuh aku walau kita udah nikah!" ucapku ketus pada Lois ketika dia mempersilahkan masuk ke dalam taksi.Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, aku hanya diam sambil menatap lalu lalang kendaraan. Hingga pandanganku tertuju pada bar and restaurant tempat aku dan Ishak bertemu untuk pertama dan ... terakhir kali.Kisah cinta kami berawal dari pertemuan di dalam bar and restaurant itu dan berakhir disana pula. Aku hanya bisa mendesah lirih dengan hati yang sesak. Bagaimanapun, kisah kami tidak bisa diulang karena Ishak tidak akan pernah sudi menerimaku lagi. Dia berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih bermartabat dan suci.'Kalau kamu bahagia, aku pun akan turut bahagia, Shak. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Kamu tetap memiliki ruang tersendiri di dalam hatiku meski cinta kita tidak akan pernah bisa bersatu,' batinku.Lois, suamiku itu, tampak akrab berbincang dengan sopir taksi. Mereka membahas timpangnya pembangunan pusat perbelanjaan yang berdiri di atas lahan
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.