1608 kata ... enjoy reading ...
“Urusan cowok,” ucap Lois santai dengan mengusapkan gel di rambutnya. Kedua alisku masih berkerut bingung dengan jawabannya. Kemudian berspekulasi apakah dia akan … Dengan mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosku yang baru saja dinikmati Lois hingga sebatas dada, aku duduk di atas ranjang dengan menatapnya intens. “Maksudnya apa, Lois?” “Kepo.” Ingin sekali kutendang pantat Lois. Sudah diberi kepuasan dua kali sekarang justru membuatku penasaran. “Lois, Ishak nggak salah apapun. Sumpah demi Tuhan, kemarin kita nggak ngelakuin apa-apa. Kita cuma ngobrol singkat aja. Kamu jangan salah paham,” terangku dengan menatapnya lekat. Usai menyisir rambut dengan begitu rapi, Lois melatakkan sisir lalu tangannya bergerak di depan sensor lampu hingga kamar kami terlihat terang benderang. Sedang di luar masih gelap. Aduh … malu sekali rasanya aku hanya mengenakan selimut sebatas dada untuk menutupi tubuh polosku. Belum lagi rambutku yang acak-acakan karena percintaan semalam kami. “K
Jika sudah begini, aku bisa apa selain menghubungi Ishak balik. Masa bodoh dengan ancaman Lois yang akan menghukumku karena melanggar janji. Masalahnya ini berhubungan dengan nasib Ishak yang tidak bersalah apapun namun harus menanggung akibat yang kulakukan. Aku segera menekan tombol telfon pada kontak Ishak sambil berharap cemas bagaimana nasib sahabat baikku ini. Dengan langkah mondar mandir di dalam kamar dan tangan menempelkan telfon ke telinga, aku bingung setengah mati harus melakukan apa. "Angkat, Shak! Kamu dimana!" gumamku kesal. Lalu jemariku menekan ulang nomernya namun tetap saja tidak diangkat. Padahal aku membutuhkan penjelasannya tentang ajakan Lois untuk bertemu. Sebab tadi pagi suamiku itu tidak menjelaskan secara detail apa tujuannya mengajak Ishak bertemu. Lois begitu mudah mengalihkan perhatianku untuk tidak bertanya lagi tentang Ishak dengan membicarakan hal lain. "Bodohnya aku!" geramku sambil mencari cara karena Ishak tidak kunjung mengangkat panggilank
Seperti pagi sebelumnya, sebelum berangkat ke Bandung, Lois meminta haknya dengan alasan ... "Aku butuh vitamin, Ly. Hari ini bakal berat kerjaku," ucapnya dengan senyum nakal yang membuatku malu. Usai menyentuhku dengan beringas disertai kecupan di leher dan pundak, Lois mendapatkan pelepasannya dengan nafas terengah-engah berada di atasku. Ekspresi wajahnya yang terlihat sangat puas, dengan rambut berantakan karena ulah tanganku yang meremasnya berulang kali, dan punggung dipenuhi keringat yang menjadi saksi betapa bersemangatnya Lois mencumbuku. "Makasih, swetheart," ucapnya kemudian mencium pipiku. Dipanggil 'sweatheart' saja aku sudah sangat bahagia. Bukankah ini sebuah kemajuan? Aku pun membalas memberinya ciuman di pipi lalu Lois beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sungguh bahagia aku mendapati Lois yang kini boleh dibilang mulai 'kecanduan' akan diriku. Meski belum ada kata 'cinta' yang terucap dari bibirnya, tapi perlakuannya sudah menunjukkan hal yang m
Usai membersihkan tubuh dan berganti pakaian, aku kembali menjamu Eyang di ruang tengah. "Eyang pulang dulu, Ly," pamit beliau.Kemudian beliau dibantu perawatnya berdiri. "Eyang tidak menginap di sini?" tanyaku yang juga ikut berdiri. "Nanti Romonya Lubis curiga kalau Eyang ada di belakangmu. Jadi sebisa mungkin Eyang bakal bantu kamu tapi sembunyi-sembunyi." Kepalaku mengangguk pelan, "Terima kasih banyak, Eyang."Baru dua langkah Eyang berjalan, aku membuka suara kembali. "Eyang, apa saya boleh tanya lagi?" "Apa?" tanya beliau dengan menoleh padaku. "Kira-kira ... kapan Lois akan dikenalkan dengan perempuan itu?" "Eyang nggak tahu kapan pastinya, Ly. Tapi kamu bisa meneliti dari sikap Lubis yang mungkin nanti banyak berubah dari biasanya. Karena Eyang berani jamin, Lubis nggak akan sampai hati bilang tentang perempuan ini ke kamu."Aku kembali menunduk dengan perasaan carut marut tak menentu. "Ingat pesan Eyang, Ly. Jangan larut dalam kesedihan. Kamu nggak sendiri. Ada Eyan
"Siapa yang mengundangmu kemari?!" tanya Romonya Lois dengan suara begitu tegas meski tidak keras. Kemudian aku menghadap beliau dan memungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Meski bukan menantu idaman, tapi aku tidak mau bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua. "Saya datang ... atas undangan panggilan hati, Pak Presdir." Aku masih memanggilnya Pak Presdir, bukan Romo. Ah ... apalah daya, beliau masih belum mengizinkan aku menganggapnya sebagai seorang ayahku jua. "Omong kosong apa lagi yang akan kamu mainkan, heh?!" Kemudian beliau menatap Pak Wahyu, asisten pribadinya, dan Pak Wawan, asisten pribadi Lois. "Bawa keluar perempuan rendahan ini!" titahnya. Kedua asisten itu saling pandang ketika mendapat perintah seperti itu. "Apa yang kalian tunggu?!" tegas Ibunya Lois yang melihat kedua asisten itu tidak bergerak. Mungkin karena mereka sudah mengenalku, dan merasa tidak enak serta bingung mendapat perintah tersebut dari Pak Presdir. "Cepat bawa dia keluar!" Ibuny
Aku membelalakkan mata tidak percaya dengan ucapan Lois."Baik, Den Mas. Akan saya laksanakan perintah Den Mas," ucap Bu Sri patuh. Lalu Lois menatapku yang masih terpaku memandangnya. "Nggak ada alat komunikasi baru, nggak ada pergi kerja lagi, atau apapun itu. Kamu hanya boleh keluar kamar tapi tetap di dalam rumah ini, Lilyah. Ini udah keputusanku dan nggak bisa diganggu gugat!""Meski kamu menangis darah sekalipun, kalau kamu nggak bisa tepat janji sama kesepakatan kita jangan harap kamu bisa keluar dari sini!" Keputusan gila apa ini?! Aku menggeleng dengan emosi membuncah sambil menatap Lois."Kamu benar-benar mau nyiksa aku sampai mati, heh?!""Maaf, Ly. Aku nggak ada pilihan. Kamu juga udah keterlaluan berani nampar aku. Dimana etikamu sebagai seorang istri? Kesalahpahaman ini kamu telan mentah-mentah dan nggak mau ngertiin aku.""Itu karena kamu emang sialan, Lois!" bentakku dengan menunjuk wajahnya. Tidak lagi menyahuti caci makiku yang berapi-api, Lois kemudian merogoh p
Ranjang sebelahku sudah kosong. 'Apa Lois udah berangkat?' gumamku dalam hati. Lalu aku menurunkan kaki dari ranjang dan tanganku bergerak menarik selimut untuk menutupi tubuh polosku hingga sebatas dada. Dengan mata masih setengah mengantuk dan tubuh sedikit tidak nyaman akibat sisa percintaan paksa semalam, aku memaksa diri berjalan dengan rambut acak-acakan untuk menyibak gorden. "Udah pagi." Sinar mentari telah menerangi bumi dan aku baru terbangun. Semalam, setelah Lois mendapatkan kenikmatannya di atas tubuhku, dia langsung tertidur pulas dengan terus memelukku dari samping. Sedang aku tidak ubahnya seperti perempuan paling kasihan seperti habis diperkosa suami sendiri. Hingga entah pukul berapa aku baru memejamkan mata. Setelah lelah berperang dengan hati dan kenyataan. Aku berbalik badan dan hendak mengambil baju. Lalu ingatanku kembali ke saat baju-baju Lois yang kubuat berantakan di lantai ternyata sudah tidak ada lagi. Kupikir baju itu dimasukkan kembali ke dalam
Aku tidak sekuat itu melihat Lois bersama keluarganya sedang makan malam bersama Eliska. Lalu kepalaku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Eyang. "Saya mau pulang aja, Eyang." "Baiklah, kita keliling-keliling kota dulu baru pulang. Setuju?" Malam ini, entah Eliska datang sendiri seperti kemarin malam atau justru dengan kedua orang tuanya. Lagi-lagi, hatiku dipenuhi kemalangan membayangkan pertemuan mereka yang mungkin saja begitu membahagiakan untuk keluarga Hartadi. Dan apakah Lois terhanyut dalam pertemuan itu dan mulai menyukai sosok Eliska yang begitu menawan? Jauh dibanding aku? "Ly, boleh Eyang berpesan?" tanya Eyang begitu mobilnya sudah berhenti di depan rumah Lois. "Tentu, Eyang. Silahkan." Tangan tua Eyang mengambil satu tangan kiriku lalu digenggamnya. "Yang kuat, sabar, dan tetap semangat. Eyang yakin kamu bisa melewati semuanya." Kepalaku mengangguk pelan dengan wajah menunduk. "Jangan tahan kesedihanmu sendiri. Tapi kamu harus bicara sama Lubis tentan