1722 kata ... Enjoy reading ...
Aku tidak sekuat itu melihat Lois bersama keluarganya sedang makan malam bersama Eliska. Lalu kepalaku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Eyang. "Saya mau pulang aja, Eyang." "Baiklah, kita keliling-keliling kota dulu baru pulang. Setuju?" Malam ini, entah Eliska datang sendiri seperti kemarin malam atau justru dengan kedua orang tuanya. Lagi-lagi, hatiku dipenuhi kemalangan membayangkan pertemuan mereka yang mungkin saja begitu membahagiakan untuk keluarga Hartadi. Dan apakah Lois terhanyut dalam pertemuan itu dan mulai menyukai sosok Eliska yang begitu menawan? Jauh dibanding aku? "Ly, boleh Eyang berpesan?" tanya Eyang begitu mobilnya sudah berhenti di depan rumah Lois. "Tentu, Eyang. Silahkan." Tangan tua Eyang mengambil satu tangan kiriku lalu digenggamnya. "Yang kuat, sabar, dan tetap semangat. Eyang yakin kamu bisa melewati semuanya." Kepalaku mengangguk pelan dengan wajah menunduk. "Jangan tahan kesedihanmu sendiri. Tapi kamu harus bicara sama Lubis tentan
Sejak kapan aku bisa menolak permintaan Lois saat menyadari jika telah jatuh cinta padanya? Dan pada akhirnya, semalam aku kembali menyerahkan jiwa ragaku secara sukarela untuk kembali dinikmati Lois. Tidak seperti dua malam lalu ketika dia meminta haknya dengan cara yang 'kasar' dalam arti sebenarnya. Semalam, Lois memperlakukanku penuh kasih dan ... cinta. Meski di tengah keremangan kamar, aku masih hafal betul bagaimana dia mencium bibirku penuh makna. Seolah-olah aku telah ada di hatinya hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Biasanya hanya sekali permainan, Lois akan mengajakku untuk terlelap, tapi tidak dengan tadi malam. Dia meminta haknya hingga dua kali pergulatan. Kemudian Lois benar-benar melebur dengan lelah raganya hingga dia bangun kesiangan pagi ini. Begitu aku sudah siap dengan setelan kerja sambil duduk di kursi rias, Lois baru saja membuka mata perlahan dengan posisi telungkup. Lengannya yang padat dan sedikit berotot itu nampak menggiurka
Lois menghentikan permainan pianonya lalu menatapku. “Aku uda beliin kamu ponsel baru. Mau lihat?” Bukannya menjawab pertanyaanku tentang pertemuannya dengan Eliska, justru Lois mengambil paper bag coklat kecil itu lalu mengeluarkan ponsel yang masih berada di dalam kotak. Dengan hati-hati Lois mengangsurkan ponsel yang ternyata sudah hidup itu padaku. “Keluaran terbaru dari merk paling bagus. Kamu suka?” Kemudian Lois membalik bagian belakang ponsel yang menunjukkan brand apel tidak bulat sepenuhnya. “Makasih, Lois. Ini lebih dari bagus.” Aku senang menerimanya karena ponsel lamaku tidak sebagus ini. Namun tetap saja di hatiku masih ada ganjalan tentang pertemuannya dengan Eliska. “Tahu kan?! Kalau aku nggak ingkar janji? Aku bolehin kamu kerja lagi dan dapat ponsel baru.” Kepalaku mengangguk dan mengakui jika Lois adalah lelaki dan suami yang tepat janji. Sesuai dengan apa yang ia ucapkan. Bukannya mengulir layar ponsel baru, aku justru meletakkannya di dekat tuts
Aku masih bingung, mengapa Lois masih ada di sini? Tadi pagi dia berpamitan padaku akan ke Bandung menggunakan helikopter. Tapi pagi ini dia justru mendadak akan menaiki bus yang sama denganku menuju Bandung. "Sudah lengkap semuanya?" tanya Lois sambil berdiri. Kepalanya menoleh ke kanan untuk melihat kami semua yang sudah duduk di bangku masing-masing. "Sudah, Pak Lubis," jawab kami serentak begitu juga denganku. Kemudian rombongan bis berangkat menuju Bandung. "Gi, kok ... Pak Lubis naik bis ini ya?" tanyaku berbisik pada Gia. "Ya suka-suka si bos, Ly. Dia anaknya yang punya perusahaan ini. Wajar mau naik bis kek, mobil pribadi kek, atau helikopter kantor sekalipun." Kepalaku hanya mengangguk dengan kepala menunduk agar tertutupi oleh kursi penumpang yang ada di depanku. "Lo nggak capek duduk posisinya kayak gitu, Ly?" tanya Gia ketika kami sudah sekitar setengah jam perjalanan. Aku tersenyum canggung sembari menggeleng. Sedang mereka yang duduk di bagian depan justru s
Dengan kepala pening dan kaki berusaha menopang tubuh yang bersandar di badan bis yang terayomi tumbuhan rindang, aku menatap seseorang yang kini berdiri di sampingku. Memegang kedua lenganku dari samping. "Kamu sakit, Ly?" Aku tidak mengenali wajahnya sama sekali. Tapi bagaimana dia bisa tahu namaku? Kemudian dia membantuku untuk berdiri lebih tegak. "Di sini panas, Ly. Ayo kita duduk di ruang tamu gedung utama aja," ajaknya. Perempuan dengan setelan kerja yang rapi dan wangi serta riasan wajah minimalis namun elegan itu sekilas membuat otakku dipenuhi tanya. Namun belum terlontar tanya itu dari bibir ini karena aku masih sibuk melangkah menuju gedung utama dengan kepala pening. Sedang kedua tangan perempuan itu terus mengamit kedua lenganku seperti khawatir aku benar-benar limbung lalu jatuh terduduk di lantai paving pabrik. Hingga kami tiba di ruang tamu gedung utama lalu aku duduk di sofa. "Aku ambilin minum. Kamu duduk di sini aja." Setelah kepergiannya, aku mengingat kemb
"Kita kayaknya perlu diskusi mesra, Ly." Aku tertawa lirih mendengar gombalan Lois di tengah galaunya hati akan kedekatannya dengan Eliska. "Gimana? Mau saya ajak rapat singkat untuk mendiskusikan sesuatu?" tanyanya lagi dengan bahasa yang formal. Astaga, Lois. Sekejap dia berubah manis tapi kadang sikapnya yang introvert itu membuatku sering salah paham. "Boleh, Pak Lois. Dimana saya bisa menemui Bapak?" ucapku tak kalah formalnya dengan gaya berbicara selayaknya dengan customer melalui sambungan telfon. "Baiklah, Lilyah. Menurut tracker yang terlacak dari ponsel saya, rupanya anda berada di lobby gedung utama pabrik saya." "Betul, Pak." "Kalau begitu anda bisa mulai mengambil jalan ke kanan." Aku mengikuti saran Lois lalu melangkah ke kanan. Di sepanjang lorong itu nampak legang karena semua karyawan sedang bersenang-senang di aula merayakan ulang tahun pabrik ini. "Silahkan naik tangga sampai ke lantai tiga." "Apa di kantor Bapak tidak ada liftnya?" tanyaku dengan mulai
Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta menggunakan bis, aku hanya duduk termenung dengan menatap keluar jendela. Apalagi jika bukan karena merasa galau akibat kedekatan Lois dan Eliska. Juga saran yang Ishak katakan. Bahkan aku tidak bersemangat menimpali obrolan Gia dan Nina yang sedari tadi sibuk membahas ketampanan anggota band yang menghibur acara ulang tahun di pabrik yang Lois pimpin. Mereka tidak tahu saja kalau anggota grup band itu semua adalah teman bermusik Lois semasa dia belum menjadi pebisnis seperti ini. "Ly, lo kok pucat banget sih? Bengong pula," tanya Gia ketika kami sudah tiba di Jakarta. Kami masih menunggu rekan-rekan yang lain turun lebih dulu dari bis agar tidak berjubel. "Kurang makan," jawabku asal. "Emang tadi di pabriknya Pak Lubis kamu nggak makan?!" Kepalaku menggeleng tegas dengan menatap Gia. "Lha? Menunya enak-enak kok malah nggak makan sih?" Aku berdiri dari duduk lalu menyampirkan tas kerja ke pundak. "Ada jelangkung di aula pabriknya Pak
Ini kali pertama aku tidur sendirian di kamar tanpa Lois sejak dipaksa pindah ke rumahnya ini. Nyatanya segala kemewahan yang ada di rumah ini tidak bisa menggantikan kesenangan yang hatiku butuhkan. "Aku mau kamu pulang, Lois. Tapi ... kamu sekarang mulai sibuk dan selalu ditempeli Eliska," gumamku dengan menatap bantal yang biasa dipakai Lois terlelap. Lalu tanganku bergerak mengusap sisi kasur yang dipakai ia berbaring. Dingin dan kosong. Bahkan di angka dua belas tepat, aku masih saja terjaga dan memandangi tempatnya yang kosong. Sembari menguatkan hati untuk tidak menangisi apapun yang terjadi. Andai kata aku hanya ditakdirkan oleh Tuhan hanya berjodoh dengan Lois beberapa tahun saja, aku sudah menyiapkan diri untuk tetap tegar meski hidup tanpa dia lagi. Bukankah hidup hanya tentang dia yang datang kemudian harus berpisah. "Selamat tidur, Lois. Aku merindukanmu. Entah dirimu." Karena nyatanya, hingga aku mulai memejamkan mata, ponsel yang berada di dalam dekapan dengan