enjoy reading .... Maaf kalau part ini menyebalkan.
Senja di Jakarta hari ini ditutup dengan gerimis. Tanganku menengadah ke rerintik gerimis yang membasahi paving kantor. Sengaja aku tidak segera pulang bahkan ketika semua karyawan sudah kembali ke peraduannya masing-masing. Alasannya sederhana. "Kalau aku di rumah, aku pasti ingat kamu, Lois," gumamku dengan menatap telapak tangan yang basah akibat percikan gerimis yang berjatuhan. Kemudian ponselku berdering dan ternyata dari Pak Wawan. Aku segera mengangkat panggilannya dengan tetap membiarkan satu telapak tanganku terbasahi oleh rerintik gerimis. "Selamat sore, Mbak Lilyah. Kenapa Mbak belum pulang?" tanyanya sopan. Wajar Pak Wawan tahu aku sedang dimana. Karena aplikasi tracker yang ada di ponselku juga terhubung dengannya. "Males aja, Pak Wawan. Memangnya kenapa kalau aku belum pulang?" "Mbak sudah bekerja seharian, apa tidak lelah dan ingin segera istirahat?" "Tumben Pak Wawan nelfon dan menasehati aku kayak gini. Apa Lois yang nyuruh?" Pak Wawan menghela nafas pend
Lois tidak menghubungiku sama sekali ketika ia sudah disibukkan dengan acara rapat tahunan di Bali. Entah karena sibuk dengan rapat itu atau karena gengsinya atau ... ada Eliska yang sudah menemaninya. Ya, perlahan tapi pasti. Posisiku sebagai istri Lois yang belum ia cintai sepenuhnya itu akan tergantikan oleh Eliska yang nyaris sempurna itu. "Halo, Mbak Lilyah." "Halo, Pak Wawan. Lois sedang apa?" "Kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Mbak." Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam di Jakarta. Berarti sekarang pukul sembilan di Bali. "Apa kamar Lois dan Eliska jadi satu?" "Astaga, Tuhan. Tidak, Mbak. Den Mas di kamarnya sendiri," jawab Pak Wawan dengan nada tidak percaya. "Lalu dimana kamar Eliska? Apa kamar mereka berdekatan?" tebakku lagi. Entahlah firasat seorang istri itu tidak bisa diabaikan. Pak Wawan tidak menjawab pertanyaanku dan bukankah itu artinya jika kamar mereka benar-benar berdekatan? "Siapa yang ngatur biar kamar mereka berdekatan, Pak?" "Mbak E
Lois sedikit menjauhkan wajah dan tubuhnya lalu menarik daguku agar menatap kedua matanya yang sayu. Rupanya Lois hampir saja terlelap usai mendapat pelepasan dan kepuasan batinnya. “Kenapa kamu mendadak pengen buka kafe lagi?” tanyanya lirih. Tanganku bergerak sedikit menaikkan selimut agar menutupi tubuh polos kami. Suhu AC kamar cukup dingin. “Aku pengen punya kesibukan aja.” “Apa kerja di kantor masih kurang sibuk?” Kepalaku menggeleng, “Kadang aku nggak tahu di rumah harus ngapain kalau kamu belum pulang. Pikirku, kenapa aku nggak mencari kesibukan positif aja sambil nunggu kamu pulang.” Ya, biasanya Lois baru tiba di rumah minimal pukul delapan malam. Tapi jika ada satu atau dua hal maka dia bisa tiba di rumah pukul sepuluh malam. Waktunya untuk bertemu denganku hanya ketika malam dan pagi hari saja. Selebihnya, dia akan sibuk di pabrik Bandung. Ditemani asistennya dan … perempuan kesayangan keluarga Hartadi yang digadang-gadang akan menjadi maduku. Eliska. “Kamu mau car
Di sebuah resturant kelas elite, aku menjamu seorang lelaki yang baru kukenal. Sengaja aku menjamunya di tempat berkelas seperti ini karena ia bukan orang sembarangan. Dan sudah menjadi etika untuk memperlakukan tamu sebaik mungkin. "Selamat malam. Apa kamu Lilyah?" Aku langsung mendongak kemudian tersenyum padanya. "Kamu Qhiyas?" Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum ramah. "Silahkan duduk." Masih memakai kemeja kerja berwarna putih bergaris biru namun ujungnya sudah dikeluarkan dari dalam celana kain yang dikenakan. Bahkan lengan panjangnya sudah digulung hingga sesiku. Memperlihatkan jam tangan gaulnya yang pasti berharga selangit juga bulu tangan yang sedikit ... lebat. Rambutnya masih sangat rapi dengan kacamata bening membingkai kedua mata. Hidungnya lebih mancung dari Lois dengan bibir yang tipis. Qhiyas seperti bukan lelaki asli pribumi, melainkan seperti lelaki berdarah campuran. Ah ... mengapa aku jadi menilai lelaki lain? Bukankah aku masih punya suami? Iya
Lois is calling ... Aku masih mengenakan bathrobe dengan rambut digelung di dalam handuk. Lalu menatap ponsel yang berdering. Sebenarnya ada rasa tidak ingin mengangkat panggilan dari Lois. Alasannya sudah pasti karena aku sedang tidak ingin berinteraksi dengannya. Namun, mengingat keberlangsungan kafeku, akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilannya. "Ya, Lois?" "Lagi apa, Ly?" Wow ... untuk pertama kalinya dia bertanya aku sedang apa. Padahal dia biasanya acuh denganku. "Habis mandi." "Gimana hasil ketemuan sama Qhiyas?" "Semuanya berjalan lancar. Qhiyas adalah orang yang tepat. Dia ngajari aku banyak hal." "Syukurlah. Berarti aku nggak salah tunjuk orang buat ngajari kamu." "Makasih, Lois." "Tapi, kenapa kamu pulangnya malam banget?" Wajar jika Lois tahu pukul berapa aku baru tiba di rumah. Dia pasti melacak aktivitasku melalui aplikasi tracker yang ada di ponselku. "Qhiyas nggak janji kalau besok dan lusa bisa meluangkan waktunya. Karena ada tender pentin
"Capeknya," gumamku sambil mensejajarkan kedua kaki. Peluhku bercucuran lalu mengusapnya dengan tangan kanan. Baju ganti yang kukenakan pun terasa basah di punggung. "Minum, Ly." Qhiyas menawarkan segelas jus jeruk padaku lalu ikut duduk di sebelah. Sambil kami memandangi laut malam. "Yas, makasih ya? Sejak grand opening sampai hari ini, animo pengunjung benar-benar luar biasa." "Yang penting bagi hasilnya, Ly." Aku mendorong bahunya dengan tersenyum. Sudah dua minggu ini kafeku mulai beroperasi. Qhiyas dan aku sangat antusias membuka kembali kafe ini. Satu sisi Qhiyas merasa antusias karena itu seperti mengingatkan dia akan masa SMA-nya saat dipaksa orang tuanya menjalan bisnis franchise itu. Juga aku sepakat jika ide-ide cemerlang Qhiyas mengolah kafe ini akan kuupahi dengan keuntungan sebesar tiga puluh persen dari hasil bersih. "Kamu tuh udah kaya raya, masih aja minta bagi hasil." "Ide itu mahal, Ly. Lagian yang kaya raya tuh keluarga. Aku mah numpang." Usai menan
Eyang tiba di rumah. Dengan sisa kekuatan yang masih ada di tengah tidak adanya nafsu makan dan raga yang mendadak demam, aku melangkah pelan menghampiri Eyang yang sudah duduk di ruang tamu. Aku berjalan sopan lalu mencium tangan beliau. Kemudian mengambil duduk di hadapannya dan menceritakan apa yang kudengar dari Qhiyas tentang Lois. Saat bercerita, suaraku bergetar namun berusaha menguatkan hati. Tidak kutunjukkan ada air mata yang menetes meski hati hancur. "Lois punya apartemen di Bandung yang dihuni sama Eliska?" tanya Eyang memastikan. "Iya, Eyang. Saya nggak tahu lagi apakah itu artinya mereka udah tinggal seatap." Eyang menghela nafas panjang dengan raut tidak menyangka. "Ada banyak hal yang kulewatkan ternyata. Kupikir Lubis jarang ke rumah karena benar-benar sibuk sama pabriknya, tapi ternyata ... " Kepala Eyang menggeleng tidak habis pikir dan aku merasa lega bisa mengatakan segalanya pada Eyang. Kemudian telfon rumah berdering nyaring dan Bu Sri melangkah mend
"Apa, Yas? Aku?" tanyaku dengan menunjuk diri sendiri. Qhiyas menatapku lekat sambil mengangguk pelan. Astaga Tuhan ... bagaimana bisa Qhiyas jatuh cinta padaku padahal kami baru berkenalan? Dan apa yang membuat dia mencintaiku? Bukankah selama ini aku hanya memperlakukan dia bak teman biasa? Tidak ada perlakuan istimewa yang kuberikan. Tapi bagaimana bisa dia menjatuhkan hatinya padaku? "Yas, bercandamu nggak lucu deh," ucapku lalu tertawa hambar. Karena Qhiyas tidak menanggapi dan hanya melihatku saja, akhirnya kuputuskan untuk meneguk teh tanpa gula yang tidak lagi hangat. Untuk menutupi kegugupan yang menguasai diri ini. "Yas, jangan lihatin aku kayak gitu." "Kenapa? Kan ceritanya untuk saat ini aku hanya bisa memandang kamu tanpa bisa menyentuh." "Hah?!" "Nanti kalau udah sah, baru aku boleh apa-apain kamu kan, Ly." Kepalaku menggeleng lalu tersenyum bingung. Sungguh, Qhiyas adalah lelaki yang bertolak belakang dari sifat seorang Lois. Dia jauh lebih ekspresif, tida
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.