enjoy reading ....
Di sebuah resturant kelas elite, aku menjamu seorang lelaki yang baru kukenal. Sengaja aku menjamunya di tempat berkelas seperti ini karena ia bukan orang sembarangan. Dan sudah menjadi etika untuk memperlakukan tamu sebaik mungkin. "Selamat malam. Apa kamu Lilyah?" Aku langsung mendongak kemudian tersenyum padanya. "Kamu Qhiyas?" Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum ramah. "Silahkan duduk." Masih memakai kemeja kerja berwarna putih bergaris biru namun ujungnya sudah dikeluarkan dari dalam celana kain yang dikenakan. Bahkan lengan panjangnya sudah digulung hingga sesiku. Memperlihatkan jam tangan gaulnya yang pasti berharga selangit juga bulu tangan yang sedikit ... lebat. Rambutnya masih sangat rapi dengan kacamata bening membingkai kedua mata. Hidungnya lebih mancung dari Lois dengan bibir yang tipis. Qhiyas seperti bukan lelaki asli pribumi, melainkan seperti lelaki berdarah campuran. Ah ... mengapa aku jadi menilai lelaki lain? Bukankah aku masih punya suami? Iya
Lois is calling ... Aku masih mengenakan bathrobe dengan rambut digelung di dalam handuk. Lalu menatap ponsel yang berdering. Sebenarnya ada rasa tidak ingin mengangkat panggilan dari Lois. Alasannya sudah pasti karena aku sedang tidak ingin berinteraksi dengannya. Namun, mengingat keberlangsungan kafeku, akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilannya. "Ya, Lois?" "Lagi apa, Ly?" Wow ... untuk pertama kalinya dia bertanya aku sedang apa. Padahal dia biasanya acuh denganku. "Habis mandi." "Gimana hasil ketemuan sama Qhiyas?" "Semuanya berjalan lancar. Qhiyas adalah orang yang tepat. Dia ngajari aku banyak hal." "Syukurlah. Berarti aku nggak salah tunjuk orang buat ngajari kamu." "Makasih, Lois." "Tapi, kenapa kamu pulangnya malam banget?" Wajar jika Lois tahu pukul berapa aku baru tiba di rumah. Dia pasti melacak aktivitasku melalui aplikasi tracker yang ada di ponselku. "Qhiyas nggak janji kalau besok dan lusa bisa meluangkan waktunya. Karena ada tender pentin
"Capeknya," gumamku sambil mensejajarkan kedua kaki. Peluhku bercucuran lalu mengusapnya dengan tangan kanan. Baju ganti yang kukenakan pun terasa basah di punggung. "Minum, Ly." Qhiyas menawarkan segelas jus jeruk padaku lalu ikut duduk di sebelah. Sambil kami memandangi laut malam. "Yas, makasih ya? Sejak grand opening sampai hari ini, animo pengunjung benar-benar luar biasa." "Yang penting bagi hasilnya, Ly." Aku mendorong bahunya dengan tersenyum. Sudah dua minggu ini kafeku mulai beroperasi. Qhiyas dan aku sangat antusias membuka kembali kafe ini. Satu sisi Qhiyas merasa antusias karena itu seperti mengingatkan dia akan masa SMA-nya saat dipaksa orang tuanya menjalan bisnis franchise itu. Juga aku sepakat jika ide-ide cemerlang Qhiyas mengolah kafe ini akan kuupahi dengan keuntungan sebesar tiga puluh persen dari hasil bersih. "Kamu tuh udah kaya raya, masih aja minta bagi hasil." "Ide itu mahal, Ly. Lagian yang kaya raya tuh keluarga. Aku mah numpang." Usai menan
Eyang tiba di rumah. Dengan sisa kekuatan yang masih ada di tengah tidak adanya nafsu makan dan raga yang mendadak demam, aku melangkah pelan menghampiri Eyang yang sudah duduk di ruang tamu. Aku berjalan sopan lalu mencium tangan beliau. Kemudian mengambil duduk di hadapannya dan menceritakan apa yang kudengar dari Qhiyas tentang Lois. Saat bercerita, suaraku bergetar namun berusaha menguatkan hati. Tidak kutunjukkan ada air mata yang menetes meski hati hancur. "Lois punya apartemen di Bandung yang dihuni sama Eliska?" tanya Eyang memastikan. "Iya, Eyang. Saya nggak tahu lagi apakah itu artinya mereka udah tinggal seatap." Eyang menghela nafas panjang dengan raut tidak menyangka. "Ada banyak hal yang kulewatkan ternyata. Kupikir Lubis jarang ke rumah karena benar-benar sibuk sama pabriknya, tapi ternyata ... " Kepala Eyang menggeleng tidak habis pikir dan aku merasa lega bisa mengatakan segalanya pada Eyang. Kemudian telfon rumah berdering nyaring dan Bu Sri melangkah mend
"Apa, Yas? Aku?" tanyaku dengan menunjuk diri sendiri. Qhiyas menatapku lekat sambil mengangguk pelan. Astaga Tuhan ... bagaimana bisa Qhiyas jatuh cinta padaku padahal kami baru berkenalan? Dan apa yang membuat dia mencintaiku? Bukankah selama ini aku hanya memperlakukan dia bak teman biasa? Tidak ada perlakuan istimewa yang kuberikan. Tapi bagaimana bisa dia menjatuhkan hatinya padaku? "Yas, bercandamu nggak lucu deh," ucapku lalu tertawa hambar. Karena Qhiyas tidak menanggapi dan hanya melihatku saja, akhirnya kuputuskan untuk meneguk teh tanpa gula yang tidak lagi hangat. Untuk menutupi kegugupan yang menguasai diri ini. "Yas, jangan lihatin aku kayak gitu." "Kenapa? Kan ceritanya untuk saat ini aku hanya bisa memandang kamu tanpa bisa menyentuh." "Hah?!" "Nanti kalau udah sah, baru aku boleh apa-apain kamu kan, Ly." Kepalaku menggeleng lalu tersenyum bingung. Sungguh, Qhiyas adalah lelaki yang bertolak belakang dari sifat seorang Lois. Dia jauh lebih ekspresif, tida
Begitu membuka pintu rumah, hal pertama yang kulihat adalah kesunyian. Namun lampu rumah masih menyala dengan terang. Sedang Bu Sri yang sedang duduk di sofa ruang tamu langsung berdiri menghampiriku seperti biasanya. "Baru pulang, Mbak?" tanyanya dengan senyum. Jika Bu Sri tersenyum bukankah itu artinya tidak ada masalah di rumah? "Iya, Bu Sri. Maaf agak kemalaman. Aku ke kamar dulu." "Silahkan, Mbak." Begitulah Bu Sri setiap hari. Dia tidak akan tidur sebelum aku pulang atau Lois memberi kabar akan pulang. Lois? Pulangkah dia? Kemudian langkahku terhenti dan menoleh pada Bu Sri yang menekan kode kunci elektronik pintu ruang tamu. "Bu Sri, apa ... Lois pulang?" Kepala Bu Sri menggeleng, "Hanya asisten pribadi Den Mas saja yang pulang, Mbak." "Kenapa cuma asistennya aja yang pulang?" tanyaku lebih jauh. "Saya juga tidak tahu, Mbak. Tidak berani tanya banyak-banyak." Kepalaku mengangguk lalu kembali melangkah ke kamar. Setelah membuka pintu kamar, lagi-lagi yang kulihat h
"Aku nggak mau bahas statusmu, Ly. Tapi aku mau bahas kafe. Makanya aku ajak kamu satu mobil." "Memangnya kafe kenapa?" tanyaku sedikit khawatir. "Makanya ayo naik mobilku lalu kita bahas bersama." Akhirnya aku terbujuk oleh ucapan Qhiyas lalu mengambil tas dari taksi. Memberikan uang lebih pada sopir taksi yang harus kukecewakan karena tiba-tiba selesai di tengah perjalanan. Usai menutup pintu otomatis dan sopir Qhiyas menjalankan mobil, lelaki itu menoleh padaku dengan ekspresi biasa saja. Seperti tidak ada masalah diantara kami. "Jadi gini, kemarin aku lihat lampu kafe yang bagian luar kayaknya perlu peremajaan, Ly. Secara apa yang tampak dari luar itu adalah daya pikat pertama yang nggak boleh mengecewakan. Karena itu seperti bungkus." "Perasaan lampunya masih oke dan terang, Yas." "Kabelnya udah mulai retak pembungkusnya. Bahaya kalau ada aliran listrik dan mengenai sesuatu." "Lalu harus gimana, Yas?" "Rencananya pagi ini aku mau hubungi orang yang kemarin renovasi kafe
Bukannya setelah mendudukkanku di seberang Qhiyas lalu Lois akan duduk di sebelahnya. Melainkan Lois ikut duduk di sebelahku dengan aura yang tidak mengenakkan. Kedua mata Lois menatap Qhiyas intens dengan menautkan kedua tangannya di atas meja. Memperlihatkan jam tangannya yang tidak murah. Kini, ada dua eksekutif muda saling berhadapan dan masing-masing masih mengenakan kemeja kerja. Lalu Qhiyas menatap Lois bingung karena menarikku begitu saja dari sampingnya. "Udah lama di sini, Yas?" tanya Lois dengan sikap tenang. Tapi wajah datarnya itu menunjukkan jika sedang menahan emosi agar tak kentara. "Lumayan. Dari jam tujuh kalau nggak salah." Kepala Lois mengangguk pelan, "Lo biasa nongkrong di sini?" "Hampir tiap malam kalau nggak sibuk aja." "Wow ... apa yang bikin lo betah di sini?" "Karena gue ikut tanam saham di kafe ini, Bro. Jadi, gue sama Lilyah tuh kayak kerja sama pakai modal kita berdua buat mendirikan kafe ini lagi." "Kerja sama ya? Kenapa kalian nggak ngaja