enjoy reading ...
"Aku nggak mau pulang ke rumahmu!" teriakku lantang. Tapi Lois hanya menggunakan telunjuknya untuk memberi isyarat agar aku tutup mulut. Lalu tiba-tiba saja bodyguard Lois sudah berada di belakangku. "Bawa istriku ke mobil. Jangan izinin dia keluar!" "Maaf, Mbak Lilyah." Kedua tangan bodyguard itu langsung mencengkeram kedua pundakku dan menggiringku paksa menuju mobil. Sedang aku hanya bisa berjalan dan terus menoleh melihat Lois yang mulai mematikan seluruh lampu kafe dan mengunci pintunya. Di sebelah mobil MPV Premium Lois, sudah ada Pak Wawan yang langsung bersiap membukakan pintu untukku. Usai aku duduk di bangku penumpang, pintu ditutup otomatis dengan bodyguard berdiri di sebelah pintu. Aku mirip seorang tahanan. Tidak berapa lama, Lois datang lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelahku. Lalu kami berempat pulang ke rumah Lois dengan aku hanya diam dan memejamkan mata. Bukan mengantuk melainkan aku tidak mau diajak berbicara dengan Lois. Setibanya di rumah, aku segera
Ketika mataku terbuka, yang pertama kali kulihat adalah ... Lois, suamiku. Ada rasa tidak percaya, sedih, dan terluka. Itu karena sudah satu bulan dia tidak pernah satu ranjang denganku. Dia menginap di Bandung dengan Eliska yang selalu menempel kemanapun. Tanganku berada dalam genggamannya yang tidak erat. Matanya masih terpejam sempurna dengan wajah yang damai. Tapi, mengapa Lois tidak kunjung bangun? Bukankah biasanya dia akan bangun pagi buta karena harus ke Bandung? Ah ... untuk apa peduli dengannya lagi? Bukankah aku sedang membatasi diri darinya? Perlahan aku menarik tangan yang berada di dalam genggamannya lalu menuruni ranjang. Kemudian berjalan pelan membuka lemari untuk mengambil sepasang setelan kerja untuk hari ini. Dengan langkah pelan aku keluar dari kamar lalu memakai kamar mandi yang berada di kamar tamu. Dari pantulan cermin, terlihat betapa sembab mataku. Karena terlalu banyak menangis. Usai mandi dan berganti setelan kerja, aku terkejut ketika membuka pint
"Halo selamat siang, dengan customer service Lilyah di sini. Ada yang bisa kami bantu?" Tidak ada jawaban kemudian aku kembali memanggil customer yang menghubungi melalui call center perusahaan. "Halo?" "Ini gue ... Eliska." Kini giliran aku yang terdiam dengan gagang telfon tetap menempel di telinga. "Bisa kita ketemu sebentar, Lilyah?" tanyanya dengan suara sopan sekali. "Mau apa lo ngajak gue ketemuan?" "Nanti sore gue tunggu di restaurant Hotel Whiz Bellin, Lilyah. Maaf mengganggu waktumu. Selamat siang." Eliska, untuk pertama kalinya aku mendengar suara perempuan itu. Sikapnya tetap saja sopan dan lembut meski berhadapan dengan lawan. Atau memang seperti itu kelebihannya? Usai menutup gagang telfon, kepalaku mendadak pening sekali. Tadi pagi aku sudah cukup makan hati karena sikap Lois. Dan siang ini, aku kembali dipaksa makan hati karena calon tunangan suamiku itu ingin mengajak bertemu. Haruskah aku memenuhi undangannya? "Ly, lo kenapa? Sakit?" tanya Gia. Kepalak
“Ly? Lilyah? Ini aku. Qhiyas. Buka pintunya.”Lalu mataku mengerjap pelan ketika nama ‘Qhiyas’ memasuki indra pendengaranku.Oh Tuhan, ternyata karena kelelahan menangis, akhirnya aku terlelap hingga pukul delapan malam. Masih memakai setelan kerja dan tidak membantu karyawan melayani pesanan pelanggan. Karena biasanya pukul enam malam, kafeku ramai pengunjung.“Ly? Please, buka pintunya. Kamu baik-baik aja ‘kan?”Qhiyas kembali bersuara lalu aku mendudukkan diri di atas kasur lantai. Kedua tasku juga masih tergeletak di lantai.“Lubis udah pulang, Ly. Dia nggak ada di kafe. Please, buka pintunya.”Syukurlah kalau Lois sudah pulang. Setidaknya aku butuh menenangkan diri serta berjauhan darinya.Kemudian aku bangkit dari kasur lantai. Melangkah tidak semangat sembari mengusap wajah yang terasa sedikit kaku karena bekas linangan air mata. Kedua mataku pasti bengkak karena sehabis menangis tadi.“Akhirnya …. Lilyah. Kamu buka pintu juga,” ucap Qhiyas lega.“Haus, Yas,” ucapku lirih.“Ayo
"Apa ceritanya ... berpotensi melukai hatiku, Pak Wawan? Kalau bikin aku sakit hati, mending nggak usah cerita aja." "Tidak akan membuat Mbak Lilyah sakit hati. Justru akan membuat Mbak tahu seberapa besar cinta Den Mas."“Benarkah?” tanyaku ragu. Kepalaku akhirnya mengangguk setuju meski ada ketakutan di hati mendengar cerita Pak Wawan. "Oke, aku mau dengar. Silahkan duduk, Pak." Kepala Pak Wawan menggeleng, "Saya bercerita sambil berdiri saja, Mbak. Karena dalam peraturan, tidak boleh seorang asisten atau pengawal duduk satu meja dengan istri Den Mas." Kepalaku kembali mengangguk sedang Pak Wawan berdiri dengan sedikit membungkuk dan kedua tangan diletakkan di depan tubuh. Ia sangat sopan dan tahu sekali menjaga etika. "Satu bulan di Bandung, sebenarnya niat awal Den Mas menginap di sana karena mau merapatkan uang yang baru saja investor berikan. Beliau memimpin rapat berkali-kali untuk menentukan arah pembangunan pabrik dengan tepat bersama para direksi dan Pak Presdir." "Be
Satu minggu ini, sikap Lois berubah seratus persen. Dia yang biasanya tidak terlalu banyak mengirim pesan, mendadak sering bertanya aku sedang ada. Mengingatkan untuk tidak telat makan. Pulang dari Bandung tidak pernah berada di atas pukul delapan malam. Dan selalu bertanya aku ingin dibawakan makanan apa. Namun karena rasa takut akan terluka lagi jika kembali bersamanya, aku memutuskan untuk satu langkah lebih berani dengan tidak terlalu menanggapi perasaannya. Bahkan ... "Aku nggak peduli andai dijauhin dari Lois, Yas. Aku nggak peduli sekalipun hidupku harus berakhir di tangan Pak Presdir." Lalu hembusan angin pantai sore itu menerbangkan anak rambutku yang keluar dari ikatan. Aku dan Qhiyas sengaja duduk di tepi pantai ketika mentari beranjak tenggelam dari langit. Sengaja aku memintanya untuk datang ke kafe lebih awal karena ingin mengutarakan semua unek-unek yang ada di hati. "Astaga, Lilyah. Jangan ngomong gitu!" "Hidupku itu ibarat kapal kecil yang di sana itu, Yas." t
Tanganku bergerak menggenggam erat tangan Lois sambil menatapnya selekat ini di tepi kolam renang. “Sebelum nikah sama kamu, apa aku ini anak seorang konglomerat dengan harta bergelimang?” Kemudian kepalaku menggeleng pelan tanpa memutus pandangan kami. “Aku cuma seorang perempuan biasa yang hidup sederhana, Lois.” “Aku tahu. Tapi … setelah kenyamanan yang kuberikan beberapa bulan di rumah, apa kamu nggak masalah kalau nantinya kita hanya hidup sederhana, Ly?” Lalu aku memeluk tubuh Lois. Merasakan tubuhnya yang sedikit dingin selepas kami berenang bersama. “Aku mencintaimu. Kamu, Lois. Bukan hartamu. Kita bisa cari uang bareng-bareng. Aku yakin, Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kita kalau mau berusaha.” “Mau kamu Lois si seniman recehan, mau kamu Lubis si pewaris keluarga Hartadi, intinya sama, aku nggak minta hartamu dari keluargamu. Cukup kamu cuma jadiin aku satu-satunya istrimu dan kita hadapi kerasnya dunia ini bersama-sama.” Kurasakan kedua telapak tangan Lois memelukku
Senyum dan rasa bahagia selepas dari Bali tidak lekang meski sudah satu minggu yang lalu. Alasannya sederhana, Lois tidak lagi menutupi perasaan dan perhatiannya untukku. Dia bebas menunjukkan rasa cintanya dan aku membalas semua itu dengan penuh suka cita. Bahkan aku tidak segan memberikan pelayanan terbaik di atas ranjang. Lois selalu meminta haknya setiap malam dan berakhir dengan mencium perut rataku. "Sayang? Udah pagi," bisik Lois di telingaku. Kemudian aku menggumam saja karena masih sangat mengantuk. Melayani Lois hampir setiap malam membuatku enggan bangun pagi. "Nggak kerja, heh?" tanyanya lagi sambil mengusap pahaku dari balik selimut. "Masih ngantuk." "Ya udah, aku mandi dulu." Bahkan ketika Lois selesai memakai setelan kerja pun, aku masih bergelung di bawah selimut. Rasanya ingin melelapkan mata saja. "Sayang, ini udah hampir setengah lima," ucapnya lagi. Lalu aku membuka mata sedikit dan melihat ia tengah menyisir rambut hitamnya hingga begitu rapi. "Kamu gan