enjoy reading ...
Tanganku bergerak menggenggam erat tangan Lois sambil menatapnya selekat ini di tepi kolam renang. “Sebelum nikah sama kamu, apa aku ini anak seorang konglomerat dengan harta bergelimang?” Kemudian kepalaku menggeleng pelan tanpa memutus pandangan kami. “Aku cuma seorang perempuan biasa yang hidup sederhana, Lois.” “Aku tahu. Tapi … setelah kenyamanan yang kuberikan beberapa bulan di rumah, apa kamu nggak masalah kalau nantinya kita hanya hidup sederhana, Ly?” Lalu aku memeluk tubuh Lois. Merasakan tubuhnya yang sedikit dingin selepas kami berenang bersama. “Aku mencintaimu. Kamu, Lois. Bukan hartamu. Kita bisa cari uang bareng-bareng. Aku yakin, Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kita kalau mau berusaha.” “Mau kamu Lois si seniman recehan, mau kamu Lubis si pewaris keluarga Hartadi, intinya sama, aku nggak minta hartamu dari keluargamu. Cukup kamu cuma jadiin aku satu-satunya istrimu dan kita hadapi kerasnya dunia ini bersama-sama.” Kurasakan kedua telapak tangan Lois memelukku
Senyum dan rasa bahagia selepas dari Bali tidak lekang meski sudah satu minggu yang lalu. Alasannya sederhana, Lois tidak lagi menutupi perasaan dan perhatiannya untukku. Dia bebas menunjukkan rasa cintanya dan aku membalas semua itu dengan penuh suka cita. Bahkan aku tidak segan memberikan pelayanan terbaik di atas ranjang. Lois selalu meminta haknya setiap malam dan berakhir dengan mencium perut rataku. "Sayang? Udah pagi," bisik Lois di telingaku. Kemudian aku menggumam saja karena masih sangat mengantuk. Melayani Lois hampir setiap malam membuatku enggan bangun pagi. "Nggak kerja, heh?" tanyanya lagi sambil mengusap pahaku dari balik selimut. "Masih ngantuk." "Ya udah, aku mandi dulu." Bahkan ketika Lois selesai memakai setelan kerja pun, aku masih bergelung di bawah selimut. Rasanya ingin melelapkan mata saja. "Sayang, ini udah hampir setengah lima," ucapnya lagi. Lalu aku membuka mata sedikit dan melihat ia tengah menyisir rambut hitamnya hingga begitu rapi. "Kamu gan
"Eyang, saya keluar sebentar sama teman. Katanya ini ada kaitannya sama mengembangkan bisnis kafe saya," ucapku melalui sambungan telfon. "Apa lama, Ly?" "Katanya hanya sebentar, Eyang. Satu jam saja. Mau cek lokasi tempat yang cocok untuk membuka cabang kafe baru." "Oh, ya sudah kalau gitu. Meski lebih dari satu jam nggak apa-apa. Karena kalau udah masalah bisnis itu nggak boleh terburu-buru." "Makasih banyak, Eyang." "Kabari Eyang kalau kamu udah selesai. Nanti Eyang jemput." Usai meminta izin pada Eyang, aku segera keluar kamar dengan rambut masih setengah basah. Perbuatan siapa lagi jika bukan Lois yang selalu rajin meminta haknya tiap malam. Sengaja aku menghubungi Eyang ketika Lois sudah keluar dari kamar. Karena pesan Qhiyas kemarin, aku tidak diperbolehkan mengatakan pada Lois tentang bisnis baru ini. Surprise katanya. Ketika aku tiba di ruang makan, dia sudah duduk di kursi dengan melahap sarapan sehatnya. Lalu aku bergegas membuatkan teh hijau hangat yang harus rajin
Kedua mataku terpaku dengan tulisan itu lalu menatap sepasang lelaki dan perempuan yang tengah berdiri di mini panggung dengan dekorasi penuh bunga itu. Si lelaki memakai setelan jas warna hitam yang begitu pas melekat dengan tubuhnya. Sedang si perempuan memakai gaun putih panjang yang elegan sambil tersenyum penuh bahagia. Aku melebarkan mata menatap wajah lelaki yang tengah berdiri di sana untuk memastikan jika yang berdiri adalah Lois, suamiku. Bukan lelaki lain. "Silahkan Den Mas," ucap si pembawa acara memalui pengeras suara. Dia mengangsurkan mikrofon dengan menyebut gelar kebangsawanan Lois. Tidak salah lagi. Dia adalah Lois, suamiku! Ini adalah ballroom tempat pertunangan Lois dan Eliska digelar. Hari ini. Lalu ingatanku berlari ke percakapan kami tadi pagi. Bahwa dia akan pergi ke Bandung untuk melakukan olahraga golf dengan para eksekutif muda lalu dilanjutkan dengan nongkrong bersama. Dan ternyata, itu semua .... BOHONG! Lalu aku menoleh ke arah Qhiyas yang menatapk
Lois menatapku tidak habis pikir tanpa menyentuh pipinya yang baru saja kutampar untuk pertama kalinya. "Ceraikan aku detik ini juga, Raden Mas Renjana Lubis Hartadi!" teriakku dengan nafas memburu sambil menyebut nama lengkapnya. Bahkan air mata yang awalnya tidak ada di pelupuk mata tetiba saja menggenang dengan bibir sedikit bergetar. Lalu aku berdiri dari duduk di tepi ranjang. "Ly, tolong dengerin aku," ucapnya lembut dengan mata menatapku lekat. "Aku nggak butuh penjelasan palsu darimu lagi! Aku muak!" Namun aku tetap bersuara dengan nada tinggi seraya menunjuk dada Lois. Ketika dia akan meraih kedua tanganku, kembali aku menepisnya. "Jangan sentuh aku! Aku bukan istrimu lagi!" "Ly, kamu udah janji bakal percaya sama aku kalau pertunanganku sama Eliska hanya drama. Tapi kenapa kamu jadi begini?" Tidak ada nada tinggi yang Lois sematkan disetiap ucapannya. Dan itu membuatku berpikir jika ia sudah bahagia karena mendapatkan perempuan yang mencuri hatinya sejak awal. Sepe
“Sayang, mana yang sakit?” tanya Lois begitu perhatian. Ia duduk di tepi ranjang masih menggunakan kemeja putih pertunangannya tadi. Lalu tangannya bergerak mengusap keningku namun tanganku bergerak lemah menyingkirkannya. Tapi Lois tetap mengusap kembali keningku dengan mata memerah. Untuk apa? Untuk menunjukkan perhatian palsunya yang membuatku muak kah? “Ly, demi Tuhan, kamu kenapa? Aku benar-benar khawatir kamu kenapa-kenapa.” Lalu tangannya bergerak mengambil tanganku dan menciumnya penuh kesungguhan. Namun hanya helaan nafas yang bisa kutunjukkan betapa sakit kepalaku saat ini. Bahkan perutku ikut terasa mual sekali. “Den Mas, dokternya sudah datang.” Itu suara Pak Wawan. Kemudian dari sisa kesadaranku yang masih ada, dokter yang tidak memakai jas sneli itu langsung memakai sarung tangan dan mengambil stetoskop. Di sebelahnya juga ada seorang perawat laki-laki. “Permisi, Den Mas,” ucapnya sopan lalu Lois berpindah tempat. Dia berdiri di dekat ranjangku lalu memperhat
"Sudah bangun, Mbak?" Bu Sri datang dengan membawa baki berisi sarapan untukku. Kepalaku mengangguk dengan badan benar-benar terasa segar sekali. Semalam setelah mendapat suntikan obat, aku benar-benar mengantuk sekali. "Mas perawatnya mau cek kondisi Mbak Lilyah, sekalian mau cabut infusnya." Setelah dicek, ternyata keadaanku sudah membaik. "Nanti sekitar pukul sembilan pagi, harap Mbak Lilyah ke International Hospital untuk cek kesehatan lanjutan. Saya sudah merekomendasikan dan Mbak Lilyah mendapat jalur priority. Nanti di sana Mbak akan ditangani oleh dokter-dokter terbaik." Usai infus itu dilepas, aku beranjak ke kamar mandi dengan bantuan Bu Sri. Padahal aku bisa berjalan sendiri. Setelah membersihkan diri dengan air hangat, aku melahap sarapan yang dibawakan Bu Sri lalu baru menyadari jika tidak mendapati Lois sama sekali mulai dari bangun hingga sekarang. "Kemana Lois?" gumamku sendiri. Kemudian aku mencari ponselku yang ternyata berada di atas meja rias. Niat hati ing
“Secara agama, Mbak tetap bisa ditalak jika ingin bercerai. Tapi secara hukum negara, perceraian dapat dilakukan hanya setelah bayinya lahir.” Tubuhku langsung melemas mendengar ucapan Pak Kusno. Bukankah itu artinya … “Berarti saya harus menunggu sampai sembilan bulan lamanya?” Kepala Pak Kusno mengangguk tegas. “Benar sekali, Mbak.” Aku memejamkan mata sembari menghela nafas sangat lelah. Sungguh, aku hanya ingin perceraianku dengan Lois bisa terjadi secepat mungkin tanpa ada gangguan seperti ini. “Apa nggak ada cara lain, Pak?” “Tidak bisa, Mbak Lilyah. Mau tidak mau, Mbak harus menunggu sampai melahirkan baru bisa diproses kembali.” Kemudian aku berpikir kembali dan apa salahnya jika mengutarakan kegundahan hati pada pengacara senior ini. “Pak, saya dan suami udah nggak bisa mempertahankan pernikahan ini lagi. Kalau kami nggak segera bercerai, saya bisa gila menghadapi masalah rumah tangga kami. Belum lagi kalau tunangannya meminta bertemu atau sebagainya.” “Saya tahu,
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.