enjoy reading ... double up.
“Secara agama, Mbak tetap bisa ditalak jika ingin bercerai. Tapi secara hukum negara, perceraian dapat dilakukan hanya setelah bayinya lahir.” Tubuhku langsung melemas mendengar ucapan Pak Kusno. Bukankah itu artinya … “Berarti saya harus menunggu sampai sembilan bulan lamanya?” Kepala Pak Kusno mengangguk tegas. “Benar sekali, Mbak.” Aku memejamkan mata sembari menghela nafas sangat lelah. Sungguh, aku hanya ingin perceraianku dengan Lois bisa terjadi secepat mungkin tanpa ada gangguan seperti ini. “Apa nggak ada cara lain, Pak?” “Tidak bisa, Mbak Lilyah. Mau tidak mau, Mbak harus menunggu sampai melahirkan baru bisa diproses kembali.” Kemudian aku berpikir kembali dan apa salahnya jika mengutarakan kegundahan hati pada pengacara senior ini. “Pak, saya dan suami udah nggak bisa mempertahankan pernikahan ini lagi. Kalau kami nggak segera bercerai, saya bisa gila menghadapi masalah rumah tangga kami. Belum lagi kalau tunangannya meminta bertemu atau sebagainya.” “Saya tahu,
"Demi Tuhan, Lilyah! Kamu ... hamil?"Kepalaku mengangguk pelan tanpa menatap mata Qhiyas yang menyorotku dengan sejuta keterkejutan."Dan anak ini ... akan jadi batu sandungan perceraianku dengan Lois, Yas."Lalu Qhiyas meraih kedua lenganku hingga mata kami saling menatap. "Ly, aku emang cinta sama kamu. Tapi, bukan berarti aku mendukung kamu gugurin anaknya Lubis! Itu nggak benar, Ly!" "Ini jalan hidupku, Yas. Kamu nggak bisa rasain gimana bingung dan hancurnya aku sekarang." Kali ini Qhiyas benar-benar menunjukkan raut seriusnya di hadapanku. "Anak itu nggak salah, Ly. Dosa kalau kamu menggugurkannya! Dan nggak ada dokter yang mau menggugurkan kandungan pasien tanpa prosedur yang tepat! Mending kamu bilang sama Lubis kalau lagi hamil anaknya biar dia tahu harus ngapain." "Keputusannya tetap sama, Yas. Dia bakal dinikahin sama Eliska dan aku merana sendirian. Jadi mending aku gugurin anak ini dari pada dia lahir tanpa Ayah. Dari pada dia ngerasain pahitnya hidup, Yas. Tumbuh di
Mendadak tubuhku seperti dijalari hawa dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan tiap langah kakiku seperti berjalan di atas lantai kaca yang sangat tipis. Degub jantungku pun berdetak tidak karuan hanya dengan membayangkan bertemu Lois setelah dua hari lamanya dia menghilang entah kemana. Tanpa kabar. Dan membebaskanku pergi kemanapun tanpa larangan. Berjalan ke kamar pun pelan seolah-olah lantai kaca itu akan retak dan pecah jika aku salah melangkah. Ketika sudah berada di depan pintu kamar kami, aku menarik nafas sebanyak mungkin lalu menghelanya perlahan untuk mengurangi kegugupan. Filingku berkata, sepertinya pertemuanku dan Lois kali ini tidak akan baik-baik saja. Lalu tanganku yang sedikit bergetar dan dingin itu menyentuh gagang pintu dan membukanya perlahan. Mirip akan mengunjungi kamar singa jantan yang kelaparan. Perlahan namun pasti, aku mendorong pintu kamar hingga terbuka. Menampilkan kamar kami yang terasa hangat karena ... 'Lois.' Gumamku dalam hati. Mat
“Aku … Raden Mas Renjana Lubis Hartadi, dengan ini … menjatuhkan hukuman untuk istriku karena berani menyembunyikan kehamilannya! Lalu diam-diam mesan obat terlaknat yang mau diminum buat gugurin darah dagingku!” Aku membelalakkan mata dengan air mata masih membasahi pipi lalu mendongak menatap Lois. Apa? Obat itu … Ya Tuhan, bagaimana bisa Lois mengetahuinya? Kini dia menatapku tajam tanpa ampun! Lalu dia berbalik kembali ke ujung ranjang lalu menyibak bantal. Di sana dia menyimpan obat peluruh kandungan yang tadi siang kupesan lalu membawanya tepat di hadapanku. “Apa kamu bertanya-tanya gimana caranya aku bisa tahu tentang obat sialan ini?” tanyanya dengan mendesis tajam dan menatapku dengan sorot intimidatif. Kemudian aku mengusap air mata dan melirik obat peluruh kandungan itu takut. Lalu Lois meremasnya kuat hingga urat dan tulang jemarinya nampak jelas dengan mata tidak lepas dari menatapku. “Kamu depresi dan hilang kepercayaan diri, Ly. Tapi bukan berarti kamu berhak me
Karena mencium aroma parfum Lois, akhirnya kesadaranku tergugah. Perlahan aku membuka mata diikuti tubuh terasa segar sekali. Lampu kamar dibuat Lois masih setengah redup. Mungkin dia tidak ingin membangunkan aku sambil berdandan untuk bersiap ke pabrik. Bahkan mengurangi gerakan yang berpotensi menggugah tidurku. Padahal biasanya dia suka membuat lampu kamar terang benderang padahal pagi masih buta lalu menarik selimutku hingga teronggok di lantai. Tapi itu tidak ia lakukan pagi ini. “Lois,” sapaku dengan suara serak. Dia yang tengah memasang dasi begitu terkejut karena aku memanggil namanya. Kemudian ia mempercepat memasang dasi lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap keningku. Menyingkirkan anak rambutku ke samping kepala. “Mual? Apa si kembar bikin kamu nggak nyenyak?” Kepalaku menggeleng pelan karena si kembar nyatanya tidak merepotkanku sama sekali. “Kenapa nggak bangunin aku?” tanyaku. “Biar si kembar berkembang optimal. Jadi aku nggak mau ganggu kamu. Mau ke kamar ma
Kemudian Bu Sri datang dengan seorang pelayan rumah untuk menyajikan dua gelas minuman hangat. Secangkir teh beraroma camomile untuk Bu Dirut, sedang untukku segelas susu. Susu? Kenapa memberiku susu? Usai menyuguhkan minuman itu, Bu Sri lantas tidak segera pergi. Melainkan tetap berdiri di sebelah kananku agak ke belakang dengan sikap patuh. Kedua tangannya saling bertaut di depan tubuh. "Bisa tinggalin kami berdua, Bu Sri?" tanya Bu Dirut dengan nada menyuruh. Bu Sri seperti enggan meninggalkanku namun tidak menjawab. "Kenapa cuma diem aja? Aku mau bicara empat mata sama perempuan ini!" ucapnya sedikit ketus."Maaf, Den Ajeng. Saya diperintahkan Den Mas untuk mengawasi Mbak Lilyah." "Apa Bu Sri pikir aku ini penjahat?" tanya dengan menaikkan sebelah alis, "Aku ini putri pertama majikan besarmu, Bu Sri! Jadi cepat tinggalin kami!" ucapnya kembali dengan nada tegas. Kemudian Bu Sri mengangguk patuh setelah aku menganggukkan kepala tidak masalah. Setelah Bu Sri tidak berada di r
"Dasar nggak tahu diri!" Maki Bu Dirut dengan wajah emosi. "Silahkan keluar, Den Ajeng!" ucap Bu Sri tanpa mengindahkan bajunya yang kotor. "Berani ngelawan aku, heh?!" "Den Mas dan Mbak Lilyah adalah majikan utama saya. Dan saya minta Den Ajeng untuk segera pergi jika di rumah Den Mas hanya berniat mencelakai Mbak Lilyah!" Bi Dirut segera mengambil cek itu dengan kasar lalu mengembalikannya ke tempat semula di dalam tas mahalnya dengan wajah bersungut marah dan dagu terangkat. "Yang satu pel**ur! Satunya lagi pelayan go**ok!" Tanpa mengucapkan salam apapun kemudian Bu Dirut meninggalkan rumah. Membanting pintu dengan kasar. "Bu Sri, apa terasa panas?" "Nggak sama sekali, Mbak Lilyah." Kemudian tanganku bergerak mengusap pakaian Bu Sri yang basah karena teh itu namun ditahan olehnya. "Bu Sri seharusnya nggak usah begini." "Saya kasihan sama Mbak Lilyah kalau makin stress. Nanti bisa berefek buruk ke kehamilan. Saya khawatir Mbak Lilyah nanti nekat seperti yang Den Mas kataka
"Nin, pulang yuk?!" ajak Gia."Lha? Kok buru-buru sih, Gi? Nanggung nih makanannya."Gia segera menarik tangan Nina begitu akan meraih terang bulan manis pembelian Lois tadi."Lo tuh mikir dikit kek. Den Mas itu udah pulang. Artinya ini tuh waktunya dia kumpul sama Lilyah. Kita buruan cabut!" "Dih, kita kan tamunya Lilyah, Gi.""Siapa tahu Den Mas capek lalu minta pijit Lilyah kek!" Aku membelalakkan mata lalu melempar kotak tisyu itu ke arah Gia. Malu lebih tepatnya."Mulut lo, Gi!""Kenapa? Suka bener ya?"Lalu aku menggeleng tidak habis pikir dengan ucapannya itu. "Ayo, Nin! Udah mau setengah sembilan malam nih!" "Lo tuh emang nggak bisa diajak asyik deh, Gi!" Setelah kedua temanku pulang dengan taksi online, aku segera membereskan gelas minuman dan ceceran camilan mereka. Namun tidak sepenuhnya selesai karena pelayan rumah melarangku melakukannya. "Mbak Lilyah istirahat saja. Biar kami yang membereskan." "Nggak apa-apa." Usai membantu kedua pelayan menata kembali ruang tamu