enjoy reading ... Author double up. Seneng nggak?
Mendadak tubuhku seperti dijalari hawa dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan tiap langah kakiku seperti berjalan di atas lantai kaca yang sangat tipis. Degub jantungku pun berdetak tidak karuan hanya dengan membayangkan bertemu Lois setelah dua hari lamanya dia menghilang entah kemana. Tanpa kabar. Dan membebaskanku pergi kemanapun tanpa larangan. Berjalan ke kamar pun pelan seolah-olah lantai kaca itu akan retak dan pecah jika aku salah melangkah. Ketika sudah berada di depan pintu kamar kami, aku menarik nafas sebanyak mungkin lalu menghelanya perlahan untuk mengurangi kegugupan. Filingku berkata, sepertinya pertemuanku dan Lois kali ini tidak akan baik-baik saja. Lalu tanganku yang sedikit bergetar dan dingin itu menyentuh gagang pintu dan membukanya perlahan. Mirip akan mengunjungi kamar singa jantan yang kelaparan. Perlahan namun pasti, aku mendorong pintu kamar hingga terbuka. Menampilkan kamar kami yang terasa hangat karena ... 'Lois.' Gumamku dalam hati. Mat
“Aku … Raden Mas Renjana Lubis Hartadi, dengan ini … menjatuhkan hukuman untuk istriku karena berani menyembunyikan kehamilannya! Lalu diam-diam mesan obat terlaknat yang mau diminum buat gugurin darah dagingku!” Aku membelalakkan mata dengan air mata masih membasahi pipi lalu mendongak menatap Lois. Apa? Obat itu … Ya Tuhan, bagaimana bisa Lois mengetahuinya? Kini dia menatapku tajam tanpa ampun! Lalu dia berbalik kembali ke ujung ranjang lalu menyibak bantal. Di sana dia menyimpan obat peluruh kandungan yang tadi siang kupesan lalu membawanya tepat di hadapanku. “Apa kamu bertanya-tanya gimana caranya aku bisa tahu tentang obat sialan ini?” tanyanya dengan mendesis tajam dan menatapku dengan sorot intimidatif. Kemudian aku mengusap air mata dan melirik obat peluruh kandungan itu takut. Lalu Lois meremasnya kuat hingga urat dan tulang jemarinya nampak jelas dengan mata tidak lepas dari menatapku. “Kamu depresi dan hilang kepercayaan diri, Ly. Tapi bukan berarti kamu berhak me
Karena mencium aroma parfum Lois, akhirnya kesadaranku tergugah. Perlahan aku membuka mata diikuti tubuh terasa segar sekali. Lampu kamar dibuat Lois masih setengah redup. Mungkin dia tidak ingin membangunkan aku sambil berdandan untuk bersiap ke pabrik. Bahkan mengurangi gerakan yang berpotensi menggugah tidurku. Padahal biasanya dia suka membuat lampu kamar terang benderang padahal pagi masih buta lalu menarik selimutku hingga teronggok di lantai. Tapi itu tidak ia lakukan pagi ini. “Lois,” sapaku dengan suara serak. Dia yang tengah memasang dasi begitu terkejut karena aku memanggil namanya. Kemudian ia mempercepat memasang dasi lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap keningku. Menyingkirkan anak rambutku ke samping kepala. “Mual? Apa si kembar bikin kamu nggak nyenyak?” Kepalaku menggeleng pelan karena si kembar nyatanya tidak merepotkanku sama sekali. “Kenapa nggak bangunin aku?” tanyaku. “Biar si kembar berkembang optimal. Jadi aku nggak mau ganggu kamu. Mau ke kamar ma
Kemudian Bu Sri datang dengan seorang pelayan rumah untuk menyajikan dua gelas minuman hangat. Secangkir teh beraroma camomile untuk Bu Dirut, sedang untukku segelas susu. Susu? Kenapa memberiku susu? Usai menyuguhkan minuman itu, Bu Sri lantas tidak segera pergi. Melainkan tetap berdiri di sebelah kananku agak ke belakang dengan sikap patuh. Kedua tangannya saling bertaut di depan tubuh. "Bisa tinggalin kami berdua, Bu Sri?" tanya Bu Dirut dengan nada menyuruh. Bu Sri seperti enggan meninggalkanku namun tidak menjawab. "Kenapa cuma diem aja? Aku mau bicara empat mata sama perempuan ini!" ucapnya sedikit ketus."Maaf, Den Ajeng. Saya diperintahkan Den Mas untuk mengawasi Mbak Lilyah." "Apa Bu Sri pikir aku ini penjahat?" tanya dengan menaikkan sebelah alis, "Aku ini putri pertama majikan besarmu, Bu Sri! Jadi cepat tinggalin kami!" ucapnya kembali dengan nada tegas. Kemudian Bu Sri mengangguk patuh setelah aku menganggukkan kepala tidak masalah. Setelah Bu Sri tidak berada di r
"Dasar nggak tahu diri!" Maki Bu Dirut dengan wajah emosi. "Silahkan keluar, Den Ajeng!" ucap Bu Sri tanpa mengindahkan bajunya yang kotor. "Berani ngelawan aku, heh?!" "Den Mas dan Mbak Lilyah adalah majikan utama saya. Dan saya minta Den Ajeng untuk segera pergi jika di rumah Den Mas hanya berniat mencelakai Mbak Lilyah!" Bi Dirut segera mengambil cek itu dengan kasar lalu mengembalikannya ke tempat semula di dalam tas mahalnya dengan wajah bersungut marah dan dagu terangkat. "Yang satu pel**ur! Satunya lagi pelayan go**ok!" Tanpa mengucapkan salam apapun kemudian Bu Dirut meninggalkan rumah. Membanting pintu dengan kasar. "Bu Sri, apa terasa panas?" "Nggak sama sekali, Mbak Lilyah." Kemudian tanganku bergerak mengusap pakaian Bu Sri yang basah karena teh itu namun ditahan olehnya. "Bu Sri seharusnya nggak usah begini." "Saya kasihan sama Mbak Lilyah kalau makin stress. Nanti bisa berefek buruk ke kehamilan. Saya khawatir Mbak Lilyah nanti nekat seperti yang Den Mas kataka
"Nin, pulang yuk?!" ajak Gia."Lha? Kok buru-buru sih, Gi? Nanggung nih makanannya."Gia segera menarik tangan Nina begitu akan meraih terang bulan manis pembelian Lois tadi."Lo tuh mikir dikit kek. Den Mas itu udah pulang. Artinya ini tuh waktunya dia kumpul sama Lilyah. Kita buruan cabut!" "Dih, kita kan tamunya Lilyah, Gi.""Siapa tahu Den Mas capek lalu minta pijit Lilyah kek!" Aku membelalakkan mata lalu melempar kotak tisyu itu ke arah Gia. Malu lebih tepatnya."Mulut lo, Gi!""Kenapa? Suka bener ya?"Lalu aku menggeleng tidak habis pikir dengan ucapannya itu. "Ayo, Nin! Udah mau setengah sembilan malam nih!" "Lo tuh emang nggak bisa diajak asyik deh, Gi!" Setelah kedua temanku pulang dengan taksi online, aku segera membereskan gelas minuman dan ceceran camilan mereka. Namun tidak sepenuhnya selesai karena pelayan rumah melarangku melakukannya. "Mbak Lilyah istirahat saja. Biar kami yang membereskan." "Nggak apa-apa." Usai membantu kedua pelayan menata kembali ruang tamu
"Eyang, ini jahe hangatnya." Aku datang dari dapur dengan membawa secangkir jahe hangat untuk Eyang. Kemudian beliau menyuruhku duduk di sebelahnya. "Gimana kandunganmu?" "Baik, Eyang." "Apa Lubis memperhatikan kesehatanmu?" Kepalaku mengangguk pelan dengan seulas senyum, "Eyang sendiri bagaimana keadaannya sekarang?" "Baik-baik aja, Ly." "Eyang, maaf kalau saya lancang. Apa ... hubungan Eyang sama Romonya Den Mas baik-baik saja?" Eyang menghela nafas lalu menatap ke arah yang lain. "Kadang ibu dan anak juga ada permasalahan, Ly. Wajar." "Eyang, boleh kah saya bicara?" "Apa?" "Eyang cukup jaga kesehatan. Tidak perlu memikirkan saya dan Den Mas terlalu berlebihan. Kami pasti bisa melewati ini semua, Eyang." Eyang tersenyum lalu menepuk pahaku pelan. "Tolong kamu bersabar sama sikap Romonya Lubis ya, Ly? Kadang orang tua itu butuh waktu untuk menerima seorang menantu yang tidak diharapkan. Apalagi Romonya Lubis tahu soal video dan foto nggak senonohmu itu." "Sekalipun k
"Ngapain mendadak pengen ikut ke Bandung?" Tidak mungkin kan aku berterus terang pada Lois jika ingin menjaganya agar tidak didekati Eliska. Demi si kembar, aku tidak akan membiarkan perempuan manapun mendapatkan hati ayahnya. "Aku ... bosan di rumah, Lois." Alasan apa itu? Ah masa bodoh! Yang penting Lois tidak tahu jika aku ingin menjaganya dari Eliska. "Bosan?" tanyanya dengan menautkan kedua alis. Tangannya kembali mengusap lembut perutku dan itu nyaman sekali. Aku merasa begitu diinginkan dan dicintai Lois sepenuh hati. Kepalaku mengangguk saja namun sejurus kemudian Lois tampak berpikir. "Kenapa bosan? Di rumah semua fasilitas ada, Ly." "Ehm ... pengen suasana baru aja, Lois." Lois tersenyum sambil menggeleng pelan. Apa dia mengetahui isi pikiranku yang ingin terus berada di belakangnya? "Lalu kamu mau tinggal dimana? Aku belum dapat rumah yang pas buat kamu dan si kembar," ucapnya lalu tidak lagi mengusap perutku. Tangannya bergerak menaikkan selimut hingga sebata