enjoy reading ... Maaf up nya kesiangan. Yang mau baca bab gratis novel baru author yang masih tahap pengajuan kontrak, silahkan dibaca melalui link ini. Judulnya : MANAJERKU PELANGGAN SETIAKU https://www.goodnovel.com/book/Manajerku-Pelanggan-Setiaku_31000308541
"Eyang, ini jahe hangatnya." Aku datang dari dapur dengan membawa secangkir jahe hangat untuk Eyang. Kemudian beliau menyuruhku duduk di sebelahnya. "Gimana kandunganmu?" "Baik, Eyang." "Apa Lubis memperhatikan kesehatanmu?" Kepalaku mengangguk pelan dengan seulas senyum, "Eyang sendiri bagaimana keadaannya sekarang?" "Baik-baik aja, Ly." "Eyang, maaf kalau saya lancang. Apa ... hubungan Eyang sama Romonya Den Mas baik-baik saja?" Eyang menghela nafas lalu menatap ke arah yang lain. "Kadang ibu dan anak juga ada permasalahan, Ly. Wajar." "Eyang, boleh kah saya bicara?" "Apa?" "Eyang cukup jaga kesehatan. Tidak perlu memikirkan saya dan Den Mas terlalu berlebihan. Kami pasti bisa melewati ini semua, Eyang." Eyang tersenyum lalu menepuk pahaku pelan. "Tolong kamu bersabar sama sikap Romonya Lubis ya, Ly? Kadang orang tua itu butuh waktu untuk menerima seorang menantu yang tidak diharapkan. Apalagi Romonya Lubis tahu soal video dan foto nggak senonohmu itu." "Sekalipun k
"Ngapain mendadak pengen ikut ke Bandung?" Tidak mungkin kan aku berterus terang pada Lois jika ingin menjaganya agar tidak didekati Eliska. Demi si kembar, aku tidak akan membiarkan perempuan manapun mendapatkan hati ayahnya. "Aku ... bosan di rumah, Lois." Alasan apa itu? Ah masa bodoh! Yang penting Lois tidak tahu jika aku ingin menjaganya dari Eliska. "Bosan?" tanyanya dengan menautkan kedua alis. Tangannya kembali mengusap lembut perutku dan itu nyaman sekali. Aku merasa begitu diinginkan dan dicintai Lois sepenuh hati. Kepalaku mengangguk saja namun sejurus kemudian Lois tampak berpikir. "Kenapa bosan? Di rumah semua fasilitas ada, Ly." "Ehm ... pengen suasana baru aja, Lois." Lois tersenyum sambil menggeleng pelan. Apa dia mengetahui isi pikiranku yang ingin terus berada di belakangnya? "Lalu kamu mau tinggal dimana? Aku belum dapat rumah yang pas buat kamu dan si kembar," ucapnya lalu tidak lagi mengusap perutku. Tangannya bergerak menaikkan selimut hingga sebata
“Hai, Ly. Udah lama?” Kepalaku menggeleng pelan sambil duduk di kursi pengunjung yang berada di teras kafeku. Sambil menikmati sapuan angin sore pantai yang membelai rambut. Kemudian Qhiyas duduk di seberangku dengan memasang tatapan lembut, senyum tipis yang menawan, dan masih mengenakan kemeja kerja. Ouwh … so sweat. Qhiyas is handsome. Bahkan dia sebenarnya lebih tampan dan tinggi dari Lois. Maklum, darah timur tengah mengalir dalam tubuhnya. Dengan alis tebal yang menaungi mata tajamnya dan hidung yang mancung. Berbeda dengan Lois yang murni keturunan ningrat asli dari Jawa. Wajah dan perawakannya sama persis dengan orang-orang pribumi. Hanya saja, setampan apapun Qhiyas, hatiku tidak bisa berpaling dari seorang Lois. “Iya, Yas. Sengaja pengen di sini lama-lama.” “Tumben kesini? Apa Lois udah adem hatinya?” “Dia izinin kok. Makanya aku bisa kesini.” Kemudian minuman pesanan Qhiyas, secangkir kopi hitam tersaji di hadapannya. Pengunjung juga mulai berdatangan sembari menik
Tidak ada perlawanan yang kulakukan ketika Lois menguasai jiwa ragaku dalam kuasanya. Dia berhak meminta haknya padaku. Bukan bercinta seperti biasanya, melainkan Lois melakukan penyatuan di malam yang indah dengan begitu lembut. Dia tidak ingin membahayakan keselamatan si kembar. Dia memimpin permainan tapi tidak lupa memanjakanku melalui cumbuannya. Setiap ciumannya bagaikan racun yang membuat hatiku makin bertekuk lutut padanya. Usai mendapatkan pelepasan yang begitu nikmat, Lois berbaring di sampingku. Membawaku dalam dekapannya dengan tubuh berbalut selimut saja. "Aku mencintaimu, Ly." "Kalau aku sangat, sangat, dan sangat mencintaimu, Lois." "Jangan ingkar janji lagi. Kamu harus kuat dan bisa bertahan untuk terus ada di sisiku. Mendampingi aku saat susah, sedih, suka, dan bahagia." Kepalaku mengangguk dengan kedua mata kami saling mengunci. "Asal kamu nggak ngusir aku dari kehidupanmu. Meski nantinya kamu bakal tetap dipaksa poligami." "Kalau usaha terakhirku nolak pol
Menyembunyikan rasa ingin tahu tentang setelan pakaian kerja perempuan yang ada di lemari Lois itu seperti menahan meriam yang ingin meledak. Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja di depan Bu Sri yang kini menemaniku di dalam apartemen Lois. [Pesan dariku : Lois, nanti malam kita jadi keluar, kan? Aku pengen belanja bareng sama kamu.] Hanya sebaris pesan itu saja yang kukirimkan pada Lois namun harus menunggu hingga tiga jam lamanya untuk mendapat balasan. [Pesan dari Lois : Oke, Sayang. Aku pulang cepat.] Dan sepanjang sore itu pula, aku merasa jarum jam bergerak sangat lambat. Menunggu Lois seperti menunggu bantuan langsung tunai yang membutuhkan waktu lebih dari setengah abad. Ketika Lois mengabarkan akan tiba di apartemen lima belas menit menit lagi, aku segera membersihkan diri. Lalu memakai dres panjang selutut karena aku sudah tidak nyaman menggunakan celana lagi karena kehamilan kembar ini. Baru saja aku menyemprotkan parfum ke pakaian, pintu kamar terbuka lebar. Mena
Sebenarnya, apa yang dilakukan Lois bersama Eliska itu pernah kuketahui langsung dari ucapan Pak Wawan beberapa waktu lalu. Ketika aku memaksa ingin bercerai dari Lois dan Pak Wawan berusaha mendamaikan kami dengan membuka apa yang sebenarnya terjadi antara Lois dan Eliska. Apa yang kemarin Lois katakan tidak jauh berbeda dengan apa yang Pak Wawan katakan. "Dia yang maksa datang ke apartemen, Ly. Dia bersikap kayak aku ini bakal jadi suaminya. Lalu dapat kartu hijau dari Romo dan Ibu kalau dia diperbolehkan ikut mengurusi keperluanku selama di Bandung kemarin. Tapi sumpah demi Tuhan, kita nggak ngapa-ngapain!" tegas Lois. "Kenapa kamu nggak ngusir Eliska aja?" "Jangankan ngusir, sebelum dia sampai apartemen, aku udah kasih tahu dia untuk nggak datang! Terang-terangan aku bilang kalau nggak bisa nerima dia." "Lalu soal pertunangan kalian itu? Apa kamu bisa ceritain juga?" Lois mengusap wajahnya kasar lalu menunduk sejenak. "Asal kamu janji nggak akan marah." Kepalaku mengangg
“Lois, aku ini bukan wanita karir. Cuma istri yang lagi hamil dan nungguin kamu pulang kerja. Nggak bisa menghasilkan uang atau berjasa membantu kamu mempertahankan keberlangsungan pabrik kayak Eliska,” ucapku dengan merebahkan kepala di dadanya. Setelah bertemu Eliska tadi, aku membatalkan rencana keluar apartemen. Dan akhirnya aku dan Lois memilih makan malam di apartemen lalu bersantai di atas ranjang. Lalu tangan Lois mengusap lenganku lembut. “Ucapan Eliska jangan dimasukin hati. Nanti kamu yang stress. Dan aku nggak masalah kamu nggak kerja. Malah kalau bisa fokus aja ke kehamilanmu.” “Emang, hal besar apa yang Eliska lakukan untuk pabrik yang kamu pimpin?” “Dia dapat investor baru lalu pabrik dapat suntikan dana besar, Ly. Kamu tahu kan kalau pabrik baru itu butuh banyak dana dan sandaran.” “Emang kamu nggak dapat priority dari Romomu untuk membangun pabrik itu?” tanyaku dengan sedikit mengerutkan alis. Kepala Lois menggeleng, “Nggak penuh kayak dulu. Aku curiga, Romo dan
POV RADEN MAS / LOISEntah mengapa, sepanjang pertemuan dengan para pengusaha se-Bandung, perasaanku mendadak tidak enak. Rasanya ingin segera pulang, lalu bertemu Lilyah. Kemudian mengusap perut Lilyah yang mulai membuncit. Tempat kedua anak kembarku bertumbuh. Saat dimintai saran tentang besaran UMR yang tepat, aku memaksa diri dan otak untuk bekerja secara profesional. Karena ini menyangkut masa depan pabrik dan para karyawan. Meski hatiku sangat gundah sekali dan ingin rasanya menyudahi pertemuan ini.Begitu pertemuan usai pukul delapan malam, aku segera keluar dari aula rapat salah satu hotel berbintang lima. Mengabaikan para pengusaha lainnya yang masih berbincang-bincang dengan yang lain. "Pak Lubis, kami mau senang-senang sebentar. Ayo gabung," ucap salah satu pengusaha begitu langkah kakiku hampir mencapai pintu aula.Tapi kepalaku menggeleng tegas, "Maaf, aku balik dulu. Silahkan bersenang-senang."Pak Wawan yang sedari tadi bersamaku saat rapat segera mengekori lalu kami
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.