enjoy reading ...
Tidak ada perlawanan yang kulakukan ketika Lois menguasai jiwa ragaku dalam kuasanya. Dia berhak meminta haknya padaku. Bukan bercinta seperti biasanya, melainkan Lois melakukan penyatuan di malam yang indah dengan begitu lembut. Dia tidak ingin membahayakan keselamatan si kembar. Dia memimpin permainan tapi tidak lupa memanjakanku melalui cumbuannya. Setiap ciumannya bagaikan racun yang membuat hatiku makin bertekuk lutut padanya. Usai mendapatkan pelepasan yang begitu nikmat, Lois berbaring di sampingku. Membawaku dalam dekapannya dengan tubuh berbalut selimut saja. "Aku mencintaimu, Ly." "Kalau aku sangat, sangat, dan sangat mencintaimu, Lois." "Jangan ingkar janji lagi. Kamu harus kuat dan bisa bertahan untuk terus ada di sisiku. Mendampingi aku saat susah, sedih, suka, dan bahagia." Kepalaku mengangguk dengan kedua mata kami saling mengunci. "Asal kamu nggak ngusir aku dari kehidupanmu. Meski nantinya kamu bakal tetap dipaksa poligami." "Kalau usaha terakhirku nolak pol
Menyembunyikan rasa ingin tahu tentang setelan pakaian kerja perempuan yang ada di lemari Lois itu seperti menahan meriam yang ingin meledak. Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja di depan Bu Sri yang kini menemaniku di dalam apartemen Lois. [Pesan dariku : Lois, nanti malam kita jadi keluar, kan? Aku pengen belanja bareng sama kamu.] Hanya sebaris pesan itu saja yang kukirimkan pada Lois namun harus menunggu hingga tiga jam lamanya untuk mendapat balasan. [Pesan dari Lois : Oke, Sayang. Aku pulang cepat.] Dan sepanjang sore itu pula, aku merasa jarum jam bergerak sangat lambat. Menunggu Lois seperti menunggu bantuan langsung tunai yang membutuhkan waktu lebih dari setengah abad. Ketika Lois mengabarkan akan tiba di apartemen lima belas menit menit lagi, aku segera membersihkan diri. Lalu memakai dres panjang selutut karena aku sudah tidak nyaman menggunakan celana lagi karena kehamilan kembar ini. Baru saja aku menyemprotkan parfum ke pakaian, pintu kamar terbuka lebar. Mena
Sebenarnya, apa yang dilakukan Lois bersama Eliska itu pernah kuketahui langsung dari ucapan Pak Wawan beberapa waktu lalu. Ketika aku memaksa ingin bercerai dari Lois dan Pak Wawan berusaha mendamaikan kami dengan membuka apa yang sebenarnya terjadi antara Lois dan Eliska. Apa yang kemarin Lois katakan tidak jauh berbeda dengan apa yang Pak Wawan katakan. "Dia yang maksa datang ke apartemen, Ly. Dia bersikap kayak aku ini bakal jadi suaminya. Lalu dapat kartu hijau dari Romo dan Ibu kalau dia diperbolehkan ikut mengurusi keperluanku selama di Bandung kemarin. Tapi sumpah demi Tuhan, kita nggak ngapa-ngapain!" tegas Lois. "Kenapa kamu nggak ngusir Eliska aja?" "Jangankan ngusir, sebelum dia sampai apartemen, aku udah kasih tahu dia untuk nggak datang! Terang-terangan aku bilang kalau nggak bisa nerima dia." "Lalu soal pertunangan kalian itu? Apa kamu bisa ceritain juga?" Lois mengusap wajahnya kasar lalu menunduk sejenak. "Asal kamu janji nggak akan marah." Kepalaku mengangg
“Lois, aku ini bukan wanita karir. Cuma istri yang lagi hamil dan nungguin kamu pulang kerja. Nggak bisa menghasilkan uang atau berjasa membantu kamu mempertahankan keberlangsungan pabrik kayak Eliska,” ucapku dengan merebahkan kepala di dadanya. Setelah bertemu Eliska tadi, aku membatalkan rencana keluar apartemen. Dan akhirnya aku dan Lois memilih makan malam di apartemen lalu bersantai di atas ranjang. Lalu tangan Lois mengusap lenganku lembut. “Ucapan Eliska jangan dimasukin hati. Nanti kamu yang stress. Dan aku nggak masalah kamu nggak kerja. Malah kalau bisa fokus aja ke kehamilanmu.” “Emang, hal besar apa yang Eliska lakukan untuk pabrik yang kamu pimpin?” “Dia dapat investor baru lalu pabrik dapat suntikan dana besar, Ly. Kamu tahu kan kalau pabrik baru itu butuh banyak dana dan sandaran.” “Emang kamu nggak dapat priority dari Romomu untuk membangun pabrik itu?” tanyaku dengan sedikit mengerutkan alis. Kepala Lois menggeleng, “Nggak penuh kayak dulu. Aku curiga, Romo dan
POV RADEN MAS / LOISEntah mengapa, sepanjang pertemuan dengan para pengusaha se-Bandung, perasaanku mendadak tidak enak. Rasanya ingin segera pulang, lalu bertemu Lilyah. Kemudian mengusap perut Lilyah yang mulai membuncit. Tempat kedua anak kembarku bertumbuh. Saat dimintai saran tentang besaran UMR yang tepat, aku memaksa diri dan otak untuk bekerja secara profesional. Karena ini menyangkut masa depan pabrik dan para karyawan. Meski hatiku sangat gundah sekali dan ingin rasanya menyudahi pertemuan ini.Begitu pertemuan usai pukul delapan malam, aku segera keluar dari aula rapat salah satu hotel berbintang lima. Mengabaikan para pengusaha lainnya yang masih berbincang-bincang dengan yang lain. "Pak Lubis, kami mau senang-senang sebentar. Ayo gabung," ucap salah satu pengusaha begitu langkah kakiku hampir mencapai pintu aula.Tapi kepalaku menggeleng tegas, "Maaf, aku balik dulu. Silahkan bersenang-senang."Pak Wawan yang sedari tadi bersamaku saat rapat segera mengekori lalu kami
POV RADEN MAS / LOIS "Jangan pernah nyangkut pautin aku sama Lilyah! Kalau kamu mau hancur, silahkan lakukan itu sendiri, El. Karena dari awal, aku udah bilang sama kamu kalau nggak bisa lanjutin hubungan ini ke jenjang pernikahan! Aku ngelakuin ini demi melindungi Lilyah dan kedua anak kami. Bukan untuk apa-apa!" ucapku tegas. Eliska tersenyum miris sambil bersedekap dengan mata menatapku lekat. "Kamu pikir, batalnya rencana pernikahan kita apa itu nggak bikin harga diriku turun? Apa kamu nggak mikir gimana martabat keluarga besarku, Lubis!?" "Orang pasti mikir! Seorang Raden Mas Renjana Lubis Hartadi membatalkan rencana pernikahannya, orang lain pasti mikirnya karena aku yang nggak beres! Mereka ngiranya aku yang selingkuh atau berperilaku nggak benar sampai keluarga konglomerat Hartadi membatalkan rencana pernikahan pewarisnya!" "Kesana kemari aku pasti bakal diberi pertanyaan seputar kenapa batal nikah sama kamu! Apa kamu melakukan salah Eliska? Kesalahan apa yang kamu lakuk
POV RADEN MAS / LOIS Delapan bulan kemudian … Perseteruanku dengan Eliska dan kedua keluarga kami selama Lilyah hamil hingga memasuki bulan ke delapan, sebenarnya sangat melelahkan sekali. Namun aku harus bertahan dan kuat menghadapi setiap ancaman dan hinaan dari mereka. Jangan sampai Lilyah tahu jika selama delapan bulan ini, nyawanya selalu menjadi incaran keluargaku dan keluarga Eliska. Tidak akan kubiarkan mereka menyentuh Lilyah atau mencelakainya.Di rumahku yang baru, keamanan menjadi prioritas. Aku menempatkan bodyguard dan penjaga rumah yang bertugas menjaga keamanan Lilyah dan kehamilannya. Tidak boleh ada yang menyentuh mereka bertiga. Dan segala kesibukan di pabrik dan bisnis-bisnis pribadi, kuatur sedemikian tepatnya agar tidak mengurangi waktu bersama Lilyah dan memantau kehamilan kembarnya. Kata dokter, kedua anak kembarku berkembang sangat baik dan kemungkinan akan lahir dalam minggu ini. “Apa pengajuan cutiku udah diterima HRD, Pak Wawan?” tanyaku dengan menandat
POV RADEN MAS / LOIS Pekerjaan masih belum selesai dan aku meninggalkannya begitu saja di kantor. Ada wakil yang akan mengambil alih karena aku ingin segera pulang. Lilyah bilang jika perutnya mulai terasa mulas. Sebab, dokter yang memeriksa Lilyah mengatakan jika sudah ada tanda kontraksi, sebaiknya segera ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Karena kehamilan kembar tidak sesederhana kehamilan tunggal. Ada benarnya ucapan Pak Wawan kemarin yang menyarankan agar aku membeli rumah yang jaraknya berdekatan dengan pabrik. Dan kurang dari setengah jam, aku sudah tiba di rumah lalu segera membuka pintu rumah. Lilyah tengah duduk di ruang tamu dengan ekspresi wajah menahan sakit. Sedang Bu Sri memberi penenangan dengan mengusap pinggangnya lembut. Tas berisi persiapan melahirkan yang kami tata sendiri minggu lalu dengan penuh suka cita dan penuh rangkaian mimpi sudah siap di dekatnya. "Sayang, sakit?" tanyaku setelah duduk di dekatnya. Lalu Bu Sri beralih dan berdiri di s