enjoy reading ...
POV RADEN MAS / LOIS "Jangan pernah nyangkut pautin aku sama Lilyah! Kalau kamu mau hancur, silahkan lakukan itu sendiri, El. Karena dari awal, aku udah bilang sama kamu kalau nggak bisa lanjutin hubungan ini ke jenjang pernikahan! Aku ngelakuin ini demi melindungi Lilyah dan kedua anak kami. Bukan untuk apa-apa!" ucapku tegas. Eliska tersenyum miris sambil bersedekap dengan mata menatapku lekat. "Kamu pikir, batalnya rencana pernikahan kita apa itu nggak bikin harga diriku turun? Apa kamu nggak mikir gimana martabat keluarga besarku, Lubis!?" "Orang pasti mikir! Seorang Raden Mas Renjana Lubis Hartadi membatalkan rencana pernikahannya, orang lain pasti mikirnya karena aku yang nggak beres! Mereka ngiranya aku yang selingkuh atau berperilaku nggak benar sampai keluarga konglomerat Hartadi membatalkan rencana pernikahan pewarisnya!" "Kesana kemari aku pasti bakal diberi pertanyaan seputar kenapa batal nikah sama kamu! Apa kamu melakukan salah Eliska? Kesalahan apa yang kamu lakuk
POV RADEN MAS / LOIS Delapan bulan kemudian … Perseteruanku dengan Eliska dan kedua keluarga kami selama Lilyah hamil hingga memasuki bulan ke delapan, sebenarnya sangat melelahkan sekali. Namun aku harus bertahan dan kuat menghadapi setiap ancaman dan hinaan dari mereka. Jangan sampai Lilyah tahu jika selama delapan bulan ini, nyawanya selalu menjadi incaran keluargaku dan keluarga Eliska. Tidak akan kubiarkan mereka menyentuh Lilyah atau mencelakainya.Di rumahku yang baru, keamanan menjadi prioritas. Aku menempatkan bodyguard dan penjaga rumah yang bertugas menjaga keamanan Lilyah dan kehamilannya. Tidak boleh ada yang menyentuh mereka bertiga. Dan segala kesibukan di pabrik dan bisnis-bisnis pribadi, kuatur sedemikian tepatnya agar tidak mengurangi waktu bersama Lilyah dan memantau kehamilan kembarnya. Kata dokter, kedua anak kembarku berkembang sangat baik dan kemungkinan akan lahir dalam minggu ini. “Apa pengajuan cutiku udah diterima HRD, Pak Wawan?” tanyaku dengan menandat
POV RADEN MAS / LOIS Pekerjaan masih belum selesai dan aku meninggalkannya begitu saja di kantor. Ada wakil yang akan mengambil alih karena aku ingin segera pulang. Lilyah bilang jika perutnya mulai terasa mulas. Sebab, dokter yang memeriksa Lilyah mengatakan jika sudah ada tanda kontraksi, sebaiknya segera ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Karena kehamilan kembar tidak sesederhana kehamilan tunggal. Ada benarnya ucapan Pak Wawan kemarin yang menyarankan agar aku membeli rumah yang jaraknya berdekatan dengan pabrik. Dan kurang dari setengah jam, aku sudah tiba di rumah lalu segera membuka pintu rumah. Lilyah tengah duduk di ruang tamu dengan ekspresi wajah menahan sakit. Sedang Bu Sri memberi penenangan dengan mengusap pinggangnya lembut. Tas berisi persiapan melahirkan yang kami tata sendiri minggu lalu dengan penuh suka cita dan penuh rangkaian mimpi sudah siap di dekatnya. "Sayang, sakit?" tanyaku setelah duduk di dekatnya. Lalu Bu Sri beralih dan berdiri di s
POV RADEN MAS / LOIS Berada di rumah Eliska yang berada di Sentraduta, Bandung. Kedua orang tuaku dan orang tua Eliska telah berada di sana. Masih dengan kemeja kerja, aku segera meluncur ke sana usai menemani Lilyah operasi sesar. Sepanjang perjalanan, otak dan lamunanku dihiasi dengan momen-momen indah saat kedua putra kembarku telah lahir ke dunia dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Hal yang sangat kusyukuri dan terus berucap terima kasih pada Tuhan melalui hati sebanyak yang kubisa. Begitu mobil MPV Premiumku tiba di depan rumah Eliska, pintu mobil segera dibuka oleh Pak Wawan. Dengan pasti, aku melangkah menuju rumah Eliska tanpa rasa takut atau ragu. Kebahagiaanku adalah keluarga kecilku. Bukan ditentukan oleh Romo dan Ibuku dengan menikahi Eliska sekaligus. Begitu pintu rumah terbuka, kelima orang itu tampaknya sedang berbicara santai di ruang tamu. Aku mencium tangan keempat orang tua itu dan mengabaikan Eliska. "Ada perlu apa semua berkumpul di sini?" tanya
POV RADEN MAS / LOIS Satu minggu lamanya satu putraku dirawat di rumah sakit. Sedang satu putraku yang lain sudah diperbolehkan pulang dua hari pasca operasi sesar karena ia sehat-sehat saja. Aku dan Lilyah saling menyemangati agar ASI yang diproduksi tidak sampai macet. Dan kegiatanku selama cuti adalah mengantarkan ASI ke rumah sakit, menunggui satu putraku disana, dan mendoakan kesembuhannya sepanjang waktu. Baru saja aku menutup pintu ruangan khusus bayi atau NICU, sudah ada Pak Wawan yang menungguku. Ia membungkuk hormat lalu aku mengajaknya untuk duduk di kursi panjang stainless yang berada di depan ruangan itu. "Ada apa Pak Wawan kemari?" "Saya diutus Pak Presdir untuk kembali pada anda, Den Mas. Dan semua fasilitas serta jabatan yang Den Mas kembalikan pada Pak Presdir telah dikembalikan lagi pada Den Mas." "Aku nggak mau mimpin pabrik lagi, Pak Wawan. Cukup menggeluti bisnis pribadiku." Kemudian Pak Wawan mendongak dan menatapku. "Saya sudah menceritakan segalanya p
POV RADEN MAS / LOIS Selama satu tahun ini, setelah kelahiran Luis dan Lewis, aku dan Lilyah memutuskan mengganti ranjang kami tanpa kaki dan headboard. Lilyah tidak mau tertidur dengan kamar yang terpisah dari Luis dan Lewis. Dia juga enggan menyerahkan semua urusan kedua putra kembar kami pada baby sitter selama dia bisa mengurusnya. Dan ibu mertuaku, setiap bulan selalu datang ke Bandung untuk menginap minimal satu minggu lamanya. Bukan tanpa alasan, beliau merasa tidak nyaman tinggal bersama suaminya sendiri yang tidak lain adalah ayah kandung Lilyah. Perbedaan prinsip membuat ketidaknyamanan itu terjadi. "Mas, kamu nggak kerja?" Mataku mengerjap pelan ketika lenganku ditepuk Lilyah. "Mas, ini udah jam tujuh loh." "Aku ambil libur sehari, Yang," ucapku dengan suara mengantuk. Lalu mataku yang masih setegah mengantuk mencari keberadaan si kembar yang tidak ada di ranjang luas ini. "Mana Luis dan Lewis?" tanyaku dengan mengerutkan alis. "Lagi mandi sama Mama." Kemudian Li
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.