enjoy reading ...
Karena mencium aroma parfum Lois, akhirnya kesadaranku tergugah. Perlahan aku membuka mata diikuti tubuh terasa segar sekali. Lampu kamar dibuat Lois masih setengah redup. Mungkin dia tidak ingin membangunkan aku sambil berdandan untuk bersiap ke pabrik. Bahkan mengurangi gerakan yang berpotensi menggugah tidurku. Padahal biasanya dia suka membuat lampu kamar terang benderang padahal pagi masih buta lalu menarik selimutku hingga teronggok di lantai. Tapi itu tidak ia lakukan pagi ini. “Lois,” sapaku dengan suara serak. Dia yang tengah memasang dasi begitu terkejut karena aku memanggil namanya. Kemudian ia mempercepat memasang dasi lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap keningku. Menyingkirkan anak rambutku ke samping kepala. “Mual? Apa si kembar bikin kamu nggak nyenyak?” Kepalaku menggeleng pelan karena si kembar nyatanya tidak merepotkanku sama sekali. “Kenapa nggak bangunin aku?” tanyaku. “Biar si kembar berkembang optimal. Jadi aku nggak mau ganggu kamu. Mau ke kamar ma
Kemudian Bu Sri datang dengan seorang pelayan rumah untuk menyajikan dua gelas minuman hangat. Secangkir teh beraroma camomile untuk Bu Dirut, sedang untukku segelas susu. Susu? Kenapa memberiku susu? Usai menyuguhkan minuman itu, Bu Sri lantas tidak segera pergi. Melainkan tetap berdiri di sebelah kananku agak ke belakang dengan sikap patuh. Kedua tangannya saling bertaut di depan tubuh. "Bisa tinggalin kami berdua, Bu Sri?" tanya Bu Dirut dengan nada menyuruh. Bu Sri seperti enggan meninggalkanku namun tidak menjawab. "Kenapa cuma diem aja? Aku mau bicara empat mata sama perempuan ini!" ucapnya sedikit ketus."Maaf, Den Ajeng. Saya diperintahkan Den Mas untuk mengawasi Mbak Lilyah." "Apa Bu Sri pikir aku ini penjahat?" tanya dengan menaikkan sebelah alis, "Aku ini putri pertama majikan besarmu, Bu Sri! Jadi cepat tinggalin kami!" ucapnya kembali dengan nada tegas. Kemudian Bu Sri mengangguk patuh setelah aku menganggukkan kepala tidak masalah. Setelah Bu Sri tidak berada di r
"Dasar nggak tahu diri!" Maki Bu Dirut dengan wajah emosi. "Silahkan keluar, Den Ajeng!" ucap Bu Sri tanpa mengindahkan bajunya yang kotor. "Berani ngelawan aku, heh?!" "Den Mas dan Mbak Lilyah adalah majikan utama saya. Dan saya minta Den Ajeng untuk segera pergi jika di rumah Den Mas hanya berniat mencelakai Mbak Lilyah!" Bi Dirut segera mengambil cek itu dengan kasar lalu mengembalikannya ke tempat semula di dalam tas mahalnya dengan wajah bersungut marah dan dagu terangkat. "Yang satu pel**ur! Satunya lagi pelayan go**ok!" Tanpa mengucapkan salam apapun kemudian Bu Dirut meninggalkan rumah. Membanting pintu dengan kasar. "Bu Sri, apa terasa panas?" "Nggak sama sekali, Mbak Lilyah." Kemudian tanganku bergerak mengusap pakaian Bu Sri yang basah karena teh itu namun ditahan olehnya. "Bu Sri seharusnya nggak usah begini." "Saya kasihan sama Mbak Lilyah kalau makin stress. Nanti bisa berefek buruk ke kehamilan. Saya khawatir Mbak Lilyah nanti nekat seperti yang Den Mas kataka
"Nin, pulang yuk?!" ajak Gia."Lha? Kok buru-buru sih, Gi? Nanggung nih makanannya."Gia segera menarik tangan Nina begitu akan meraih terang bulan manis pembelian Lois tadi."Lo tuh mikir dikit kek. Den Mas itu udah pulang. Artinya ini tuh waktunya dia kumpul sama Lilyah. Kita buruan cabut!" "Dih, kita kan tamunya Lilyah, Gi.""Siapa tahu Den Mas capek lalu minta pijit Lilyah kek!" Aku membelalakkan mata lalu melempar kotak tisyu itu ke arah Gia. Malu lebih tepatnya."Mulut lo, Gi!""Kenapa? Suka bener ya?"Lalu aku menggeleng tidak habis pikir dengan ucapannya itu. "Ayo, Nin! Udah mau setengah sembilan malam nih!" "Lo tuh emang nggak bisa diajak asyik deh, Gi!" Setelah kedua temanku pulang dengan taksi online, aku segera membereskan gelas minuman dan ceceran camilan mereka. Namun tidak sepenuhnya selesai karena pelayan rumah melarangku melakukannya. "Mbak Lilyah istirahat saja. Biar kami yang membereskan." "Nggak apa-apa." Usai membantu kedua pelayan menata kembali ruang tamu
"Eyang, ini jahe hangatnya." Aku datang dari dapur dengan membawa secangkir jahe hangat untuk Eyang. Kemudian beliau menyuruhku duduk di sebelahnya. "Gimana kandunganmu?" "Baik, Eyang." "Apa Lubis memperhatikan kesehatanmu?" Kepalaku mengangguk pelan dengan seulas senyum, "Eyang sendiri bagaimana keadaannya sekarang?" "Baik-baik aja, Ly." "Eyang, maaf kalau saya lancang. Apa ... hubungan Eyang sama Romonya Den Mas baik-baik saja?" Eyang menghela nafas lalu menatap ke arah yang lain. "Kadang ibu dan anak juga ada permasalahan, Ly. Wajar." "Eyang, boleh kah saya bicara?" "Apa?" "Eyang cukup jaga kesehatan. Tidak perlu memikirkan saya dan Den Mas terlalu berlebihan. Kami pasti bisa melewati ini semua, Eyang." Eyang tersenyum lalu menepuk pahaku pelan. "Tolong kamu bersabar sama sikap Romonya Lubis ya, Ly? Kadang orang tua itu butuh waktu untuk menerima seorang menantu yang tidak diharapkan. Apalagi Romonya Lubis tahu soal video dan foto nggak senonohmu itu." "Sekalipun k
"Ngapain mendadak pengen ikut ke Bandung?" Tidak mungkin kan aku berterus terang pada Lois jika ingin menjaganya agar tidak didekati Eliska. Demi si kembar, aku tidak akan membiarkan perempuan manapun mendapatkan hati ayahnya. "Aku ... bosan di rumah, Lois." Alasan apa itu? Ah masa bodoh! Yang penting Lois tidak tahu jika aku ingin menjaganya dari Eliska. "Bosan?" tanyanya dengan menautkan kedua alis. Tangannya kembali mengusap lembut perutku dan itu nyaman sekali. Aku merasa begitu diinginkan dan dicintai Lois sepenuh hati. Kepalaku mengangguk saja namun sejurus kemudian Lois tampak berpikir. "Kenapa bosan? Di rumah semua fasilitas ada, Ly." "Ehm ... pengen suasana baru aja, Lois." Lois tersenyum sambil menggeleng pelan. Apa dia mengetahui isi pikiranku yang ingin terus berada di belakangnya? "Lalu kamu mau tinggal dimana? Aku belum dapat rumah yang pas buat kamu dan si kembar," ucapnya lalu tidak lagi mengusap perutku. Tangannya bergerak menaikkan selimut hingga sebata
“Hai, Ly. Udah lama?” Kepalaku menggeleng pelan sambil duduk di kursi pengunjung yang berada di teras kafeku. Sambil menikmati sapuan angin sore pantai yang membelai rambut. Kemudian Qhiyas duduk di seberangku dengan memasang tatapan lembut, senyum tipis yang menawan, dan masih mengenakan kemeja kerja. Ouwh … so sweat. Qhiyas is handsome. Bahkan dia sebenarnya lebih tampan dan tinggi dari Lois. Maklum, darah timur tengah mengalir dalam tubuhnya. Dengan alis tebal yang menaungi mata tajamnya dan hidung yang mancung. Berbeda dengan Lois yang murni keturunan ningrat asli dari Jawa. Wajah dan perawakannya sama persis dengan orang-orang pribumi. Hanya saja, setampan apapun Qhiyas, hatiku tidak bisa berpaling dari seorang Lois. “Iya, Yas. Sengaja pengen di sini lama-lama.” “Tumben kesini? Apa Lois udah adem hatinya?” “Dia izinin kok. Makanya aku bisa kesini.” Kemudian minuman pesanan Qhiyas, secangkir kopi hitam tersaji di hadapannya. Pengunjung juga mulai berdatangan sembari menik
Tidak ada perlawanan yang kulakukan ketika Lois menguasai jiwa ragaku dalam kuasanya. Dia berhak meminta haknya padaku. Bukan bercinta seperti biasanya, melainkan Lois melakukan penyatuan di malam yang indah dengan begitu lembut. Dia tidak ingin membahayakan keselamatan si kembar. Dia memimpin permainan tapi tidak lupa memanjakanku melalui cumbuannya. Setiap ciumannya bagaikan racun yang membuat hatiku makin bertekuk lutut padanya. Usai mendapatkan pelepasan yang begitu nikmat, Lois berbaring di sampingku. Membawaku dalam dekapannya dengan tubuh berbalut selimut saja. "Aku mencintaimu, Ly." "Kalau aku sangat, sangat, dan sangat mencintaimu, Lois." "Jangan ingkar janji lagi. Kamu harus kuat dan bisa bertahan untuk terus ada di sisiku. Mendampingi aku saat susah, sedih, suka, dan bahagia." Kepalaku mengangguk dengan kedua mata kami saling mengunci. "Asal kamu nggak ngusir aku dari kehidupanmu. Meski nantinya kamu bakal tetap dipaksa poligami." "Kalau usaha terakhirku nolak pol