enjoy reading ...
Satu minggu ini, sikap Lois berubah seratus persen. Dia yang biasanya tidak terlalu banyak mengirim pesan, mendadak sering bertanya aku sedang ada. Mengingatkan untuk tidak telat makan. Pulang dari Bandung tidak pernah berada di atas pukul delapan malam. Dan selalu bertanya aku ingin dibawakan makanan apa. Namun karena rasa takut akan terluka lagi jika kembali bersamanya, aku memutuskan untuk satu langkah lebih berani dengan tidak terlalu menanggapi perasaannya. Bahkan ... "Aku nggak peduli andai dijauhin dari Lois, Yas. Aku nggak peduli sekalipun hidupku harus berakhir di tangan Pak Presdir." Lalu hembusan angin pantai sore itu menerbangkan anak rambutku yang keluar dari ikatan. Aku dan Qhiyas sengaja duduk di tepi pantai ketika mentari beranjak tenggelam dari langit. Sengaja aku memintanya untuk datang ke kafe lebih awal karena ingin mengutarakan semua unek-unek yang ada di hati. "Astaga, Lilyah. Jangan ngomong gitu!" "Hidupku itu ibarat kapal kecil yang di sana itu, Yas." t
Tanganku bergerak menggenggam erat tangan Lois sambil menatapnya selekat ini di tepi kolam renang. “Sebelum nikah sama kamu, apa aku ini anak seorang konglomerat dengan harta bergelimang?” Kemudian kepalaku menggeleng pelan tanpa memutus pandangan kami. “Aku cuma seorang perempuan biasa yang hidup sederhana, Lois.” “Aku tahu. Tapi … setelah kenyamanan yang kuberikan beberapa bulan di rumah, apa kamu nggak masalah kalau nantinya kita hanya hidup sederhana, Ly?” Lalu aku memeluk tubuh Lois. Merasakan tubuhnya yang sedikit dingin selepas kami berenang bersama. “Aku mencintaimu. Kamu, Lois. Bukan hartamu. Kita bisa cari uang bareng-bareng. Aku yakin, Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kita kalau mau berusaha.” “Mau kamu Lois si seniman recehan, mau kamu Lubis si pewaris keluarga Hartadi, intinya sama, aku nggak minta hartamu dari keluargamu. Cukup kamu cuma jadiin aku satu-satunya istrimu dan kita hadapi kerasnya dunia ini bersama-sama.” Kurasakan kedua telapak tangan Lois memelukku
Senyum dan rasa bahagia selepas dari Bali tidak lekang meski sudah satu minggu yang lalu. Alasannya sederhana, Lois tidak lagi menutupi perasaan dan perhatiannya untukku. Dia bebas menunjukkan rasa cintanya dan aku membalas semua itu dengan penuh suka cita. Bahkan aku tidak segan memberikan pelayanan terbaik di atas ranjang. Lois selalu meminta haknya setiap malam dan berakhir dengan mencium perut rataku. "Sayang? Udah pagi," bisik Lois di telingaku. Kemudian aku menggumam saja karena masih sangat mengantuk. Melayani Lois hampir setiap malam membuatku enggan bangun pagi. "Nggak kerja, heh?" tanyanya lagi sambil mengusap pahaku dari balik selimut. "Masih ngantuk." "Ya udah, aku mandi dulu." Bahkan ketika Lois selesai memakai setelan kerja pun, aku masih bergelung di bawah selimut. Rasanya ingin melelapkan mata saja. "Sayang, ini udah hampir setengah lima," ucapnya lagi. Lalu aku membuka mata sedikit dan melihat ia tengah menyisir rambut hitamnya hingga begitu rapi. "Kamu gan
"Eyang, saya keluar sebentar sama teman. Katanya ini ada kaitannya sama mengembangkan bisnis kafe saya," ucapku melalui sambungan telfon. "Apa lama, Ly?" "Katanya hanya sebentar, Eyang. Satu jam saja. Mau cek lokasi tempat yang cocok untuk membuka cabang kafe baru." "Oh, ya sudah kalau gitu. Meski lebih dari satu jam nggak apa-apa. Karena kalau udah masalah bisnis itu nggak boleh terburu-buru." "Makasih banyak, Eyang." "Kabari Eyang kalau kamu udah selesai. Nanti Eyang jemput." Usai meminta izin pada Eyang, aku segera keluar kamar dengan rambut masih setengah basah. Perbuatan siapa lagi jika bukan Lois yang selalu rajin meminta haknya tiap malam. Sengaja aku menghubungi Eyang ketika Lois sudah keluar dari kamar. Karena pesan Qhiyas kemarin, aku tidak diperbolehkan mengatakan pada Lois tentang bisnis baru ini. Surprise katanya. Ketika aku tiba di ruang makan, dia sudah duduk di kursi dengan melahap sarapan sehatnya. Lalu aku bergegas membuatkan teh hijau hangat yang harus rajin
Kedua mataku terpaku dengan tulisan itu lalu menatap sepasang lelaki dan perempuan yang tengah berdiri di mini panggung dengan dekorasi penuh bunga itu. Si lelaki memakai setelan jas warna hitam yang begitu pas melekat dengan tubuhnya. Sedang si perempuan memakai gaun putih panjang yang elegan sambil tersenyum penuh bahagia. Aku melebarkan mata menatap wajah lelaki yang tengah berdiri di sana untuk memastikan jika yang berdiri adalah Lois, suamiku. Bukan lelaki lain. "Silahkan Den Mas," ucap si pembawa acara memalui pengeras suara. Dia mengangsurkan mikrofon dengan menyebut gelar kebangsawanan Lois. Tidak salah lagi. Dia adalah Lois, suamiku! Ini adalah ballroom tempat pertunangan Lois dan Eliska digelar. Hari ini. Lalu ingatanku berlari ke percakapan kami tadi pagi. Bahwa dia akan pergi ke Bandung untuk melakukan olahraga golf dengan para eksekutif muda lalu dilanjutkan dengan nongkrong bersama. Dan ternyata, itu semua .... BOHONG! Lalu aku menoleh ke arah Qhiyas yang menatapk
Lois menatapku tidak habis pikir tanpa menyentuh pipinya yang baru saja kutampar untuk pertama kalinya. "Ceraikan aku detik ini juga, Raden Mas Renjana Lubis Hartadi!" teriakku dengan nafas memburu sambil menyebut nama lengkapnya. Bahkan air mata yang awalnya tidak ada di pelupuk mata tetiba saja menggenang dengan bibir sedikit bergetar. Lalu aku berdiri dari duduk di tepi ranjang. "Ly, tolong dengerin aku," ucapnya lembut dengan mata menatapku lekat. "Aku nggak butuh penjelasan palsu darimu lagi! Aku muak!" Namun aku tetap bersuara dengan nada tinggi seraya menunjuk dada Lois. Ketika dia akan meraih kedua tanganku, kembali aku menepisnya. "Jangan sentuh aku! Aku bukan istrimu lagi!" "Ly, kamu udah janji bakal percaya sama aku kalau pertunanganku sama Eliska hanya drama. Tapi kenapa kamu jadi begini?" Tidak ada nada tinggi yang Lois sematkan disetiap ucapannya. Dan itu membuatku berpikir jika ia sudah bahagia karena mendapatkan perempuan yang mencuri hatinya sejak awal. Sepe
“Sayang, mana yang sakit?” tanya Lois begitu perhatian. Ia duduk di tepi ranjang masih menggunakan kemeja putih pertunangannya tadi. Lalu tangannya bergerak mengusap keningku namun tanganku bergerak lemah menyingkirkannya. Tapi Lois tetap mengusap kembali keningku dengan mata memerah. Untuk apa? Untuk menunjukkan perhatian palsunya yang membuatku muak kah? “Ly, demi Tuhan, kamu kenapa? Aku benar-benar khawatir kamu kenapa-kenapa.” Lalu tangannya bergerak mengambil tanganku dan menciumnya penuh kesungguhan. Namun hanya helaan nafas yang bisa kutunjukkan betapa sakit kepalaku saat ini. Bahkan perutku ikut terasa mual sekali. “Den Mas, dokternya sudah datang.” Itu suara Pak Wawan. Kemudian dari sisa kesadaranku yang masih ada, dokter yang tidak memakai jas sneli itu langsung memakai sarung tangan dan mengambil stetoskop. Di sebelahnya juga ada seorang perawat laki-laki. “Permisi, Den Mas,” ucapnya sopan lalu Lois berpindah tempat. Dia berdiri di dekat ranjangku lalu memperhat
"Sudah bangun, Mbak?" Bu Sri datang dengan membawa baki berisi sarapan untukku. Kepalaku mengangguk dengan badan benar-benar terasa segar sekali. Semalam setelah mendapat suntikan obat, aku benar-benar mengantuk sekali. "Mas perawatnya mau cek kondisi Mbak Lilyah, sekalian mau cabut infusnya." Setelah dicek, ternyata keadaanku sudah membaik. "Nanti sekitar pukul sembilan pagi, harap Mbak Lilyah ke International Hospital untuk cek kesehatan lanjutan. Saya sudah merekomendasikan dan Mbak Lilyah mendapat jalur priority. Nanti di sana Mbak akan ditangani oleh dokter-dokter terbaik." Usai infus itu dilepas, aku beranjak ke kamar mandi dengan bantuan Bu Sri. Padahal aku bisa berjalan sendiri. Setelah membersihkan diri dengan air hangat, aku melahap sarapan yang dibawakan Bu Sri lalu baru menyadari jika tidak mendapati Lois sama sekali mulai dari bangun hingga sekarang. "Kemana Lois?" gumamku sendiri. Kemudian aku mencari ponselku yang ternyata berada di atas meja rias. Niat hati ing