enjoy reading ...
Eyang tiba di rumah. Dengan sisa kekuatan yang masih ada di tengah tidak adanya nafsu makan dan raga yang mendadak demam, aku melangkah pelan menghampiri Eyang yang sudah duduk di ruang tamu. Aku berjalan sopan lalu mencium tangan beliau. Kemudian mengambil duduk di hadapannya dan menceritakan apa yang kudengar dari Qhiyas tentang Lois. Saat bercerita, suaraku bergetar namun berusaha menguatkan hati. Tidak kutunjukkan ada air mata yang menetes meski hati hancur. "Lois punya apartemen di Bandung yang dihuni sama Eliska?" tanya Eyang memastikan. "Iya, Eyang. Saya nggak tahu lagi apakah itu artinya mereka udah tinggal seatap." Eyang menghela nafas panjang dengan raut tidak menyangka. "Ada banyak hal yang kulewatkan ternyata. Kupikir Lubis jarang ke rumah karena benar-benar sibuk sama pabriknya, tapi ternyata ... " Kepala Eyang menggeleng tidak habis pikir dan aku merasa lega bisa mengatakan segalanya pada Eyang. Kemudian telfon rumah berdering nyaring dan Bu Sri melangkah mend
"Apa, Yas? Aku?" tanyaku dengan menunjuk diri sendiri. Qhiyas menatapku lekat sambil mengangguk pelan. Astaga Tuhan ... bagaimana bisa Qhiyas jatuh cinta padaku padahal kami baru berkenalan? Dan apa yang membuat dia mencintaiku? Bukankah selama ini aku hanya memperlakukan dia bak teman biasa? Tidak ada perlakuan istimewa yang kuberikan. Tapi bagaimana bisa dia menjatuhkan hatinya padaku? "Yas, bercandamu nggak lucu deh," ucapku lalu tertawa hambar. Karena Qhiyas tidak menanggapi dan hanya melihatku saja, akhirnya kuputuskan untuk meneguk teh tanpa gula yang tidak lagi hangat. Untuk menutupi kegugupan yang menguasai diri ini. "Yas, jangan lihatin aku kayak gitu." "Kenapa? Kan ceritanya untuk saat ini aku hanya bisa memandang kamu tanpa bisa menyentuh." "Hah?!" "Nanti kalau udah sah, baru aku boleh apa-apain kamu kan, Ly." Kepalaku menggeleng lalu tersenyum bingung. Sungguh, Qhiyas adalah lelaki yang bertolak belakang dari sifat seorang Lois. Dia jauh lebih ekspresif, tida
Begitu membuka pintu rumah, hal pertama yang kulihat adalah kesunyian. Namun lampu rumah masih menyala dengan terang. Sedang Bu Sri yang sedang duduk di sofa ruang tamu langsung berdiri menghampiriku seperti biasanya. "Baru pulang, Mbak?" tanyanya dengan senyum. Jika Bu Sri tersenyum bukankah itu artinya tidak ada masalah di rumah? "Iya, Bu Sri. Maaf agak kemalaman. Aku ke kamar dulu." "Silahkan, Mbak." Begitulah Bu Sri setiap hari. Dia tidak akan tidur sebelum aku pulang atau Lois memberi kabar akan pulang. Lois? Pulangkah dia? Kemudian langkahku terhenti dan menoleh pada Bu Sri yang menekan kode kunci elektronik pintu ruang tamu. "Bu Sri, apa ... Lois pulang?" Kepala Bu Sri menggeleng, "Hanya asisten pribadi Den Mas saja yang pulang, Mbak." "Kenapa cuma asistennya aja yang pulang?" tanyaku lebih jauh. "Saya juga tidak tahu, Mbak. Tidak berani tanya banyak-banyak." Kepalaku mengangguk lalu kembali melangkah ke kamar. Setelah membuka pintu kamar, lagi-lagi yang kulihat h
"Aku nggak mau bahas statusmu, Ly. Tapi aku mau bahas kafe. Makanya aku ajak kamu satu mobil." "Memangnya kafe kenapa?" tanyaku sedikit khawatir. "Makanya ayo naik mobilku lalu kita bahas bersama." Akhirnya aku terbujuk oleh ucapan Qhiyas lalu mengambil tas dari taksi. Memberikan uang lebih pada sopir taksi yang harus kukecewakan karena tiba-tiba selesai di tengah perjalanan. Usai menutup pintu otomatis dan sopir Qhiyas menjalankan mobil, lelaki itu menoleh padaku dengan ekspresi biasa saja. Seperti tidak ada masalah diantara kami. "Jadi gini, kemarin aku lihat lampu kafe yang bagian luar kayaknya perlu peremajaan, Ly. Secara apa yang tampak dari luar itu adalah daya pikat pertama yang nggak boleh mengecewakan. Karena itu seperti bungkus." "Perasaan lampunya masih oke dan terang, Yas." "Kabelnya udah mulai retak pembungkusnya. Bahaya kalau ada aliran listrik dan mengenai sesuatu." "Lalu harus gimana, Yas?" "Rencananya pagi ini aku mau hubungi orang yang kemarin renovasi kafe
Bukannya setelah mendudukkanku di seberang Qhiyas lalu Lois akan duduk di sebelahnya. Melainkan Lois ikut duduk di sebelahku dengan aura yang tidak mengenakkan. Kedua mata Lois menatap Qhiyas intens dengan menautkan kedua tangannya di atas meja. Memperlihatkan jam tangannya yang tidak murah. Kini, ada dua eksekutif muda saling berhadapan dan masing-masing masih mengenakan kemeja kerja. Lalu Qhiyas menatap Lois bingung karena menarikku begitu saja dari sampingnya. "Udah lama di sini, Yas?" tanya Lois dengan sikap tenang. Tapi wajah datarnya itu menunjukkan jika sedang menahan emosi agar tak kentara. "Lumayan. Dari jam tujuh kalau nggak salah." Kepala Lois mengangguk pelan, "Lo biasa nongkrong di sini?" "Hampir tiap malam kalau nggak sibuk aja." "Wow ... apa yang bikin lo betah di sini?" "Karena gue ikut tanam saham di kafe ini, Bro. Jadi, gue sama Lilyah tuh kayak kerja sama pakai modal kita berdua buat mendirikan kafe ini lagi." "Kerja sama ya? Kenapa kalian nggak ngaja
"Aku nggak mau pulang ke rumahmu!" teriakku lantang. Tapi Lois hanya menggunakan telunjuknya untuk memberi isyarat agar aku tutup mulut. Lalu tiba-tiba saja bodyguard Lois sudah berada di belakangku. "Bawa istriku ke mobil. Jangan izinin dia keluar!" "Maaf, Mbak Lilyah." Kedua tangan bodyguard itu langsung mencengkeram kedua pundakku dan menggiringku paksa menuju mobil. Sedang aku hanya bisa berjalan dan terus menoleh melihat Lois yang mulai mematikan seluruh lampu kafe dan mengunci pintunya. Di sebelah mobil MPV Premium Lois, sudah ada Pak Wawan yang langsung bersiap membukakan pintu untukku. Usai aku duduk di bangku penumpang, pintu ditutup otomatis dengan bodyguard berdiri di sebelah pintu. Aku mirip seorang tahanan. Tidak berapa lama, Lois datang lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelahku. Lalu kami berempat pulang ke rumah Lois dengan aku hanya diam dan memejamkan mata. Bukan mengantuk melainkan aku tidak mau diajak berbicara dengan Lois. Setibanya di rumah, aku segera
Ketika mataku terbuka, yang pertama kali kulihat adalah ... Lois, suamiku. Ada rasa tidak percaya, sedih, dan terluka. Itu karena sudah satu bulan dia tidak pernah satu ranjang denganku. Dia menginap di Bandung dengan Eliska yang selalu menempel kemanapun. Tanganku berada dalam genggamannya yang tidak erat. Matanya masih terpejam sempurna dengan wajah yang damai. Tapi, mengapa Lois tidak kunjung bangun? Bukankah biasanya dia akan bangun pagi buta karena harus ke Bandung? Ah ... untuk apa peduli dengannya lagi? Bukankah aku sedang membatasi diri darinya? Perlahan aku menarik tangan yang berada di dalam genggamannya lalu menuruni ranjang. Kemudian berjalan pelan membuka lemari untuk mengambil sepasang setelan kerja untuk hari ini. Dengan langkah pelan aku keluar dari kamar lalu memakai kamar mandi yang berada di kamar tamu. Dari pantulan cermin, terlihat betapa sembab mataku. Karena terlalu banyak menangis. Usai mandi dan berganti setelan kerja, aku terkejut ketika membuka pint
"Halo selamat siang, dengan customer service Lilyah di sini. Ada yang bisa kami bantu?" Tidak ada jawaban kemudian aku kembali memanggil customer yang menghubungi melalui call center perusahaan. "Halo?" "Ini gue ... Eliska." Kini giliran aku yang terdiam dengan gagang telfon tetap menempel di telinga. "Bisa kita ketemu sebentar, Lilyah?" tanyanya dengan suara sopan sekali. "Mau apa lo ngajak gue ketemuan?" "Nanti sore gue tunggu di restaurant Hotel Whiz Bellin, Lilyah. Maaf mengganggu waktumu. Selamat siang." Eliska, untuk pertama kalinya aku mendengar suara perempuan itu. Sikapnya tetap saja sopan dan lembut meski berhadapan dengan lawan. Atau memang seperti itu kelebihannya? Usai menutup gagang telfon, kepalaku mendadak pening sekali. Tadi pagi aku sudah cukup makan hati karena sikap Lois. Dan siang ini, aku kembali dipaksa makan hati karena calon tunangan suamiku itu ingin mengajak bertemu. Haruskah aku memenuhi undangannya? "Ly, lo kenapa? Sakit?" tanya Gia. Kepalak