enjoy reading ...
Ini kali pertama aku tidur sendirian di kamar tanpa Lois sejak dipaksa pindah ke rumahnya ini. Nyatanya segala kemewahan yang ada di rumah ini tidak bisa menggantikan kesenangan yang hatiku butuhkan. "Aku mau kamu pulang, Lois. Tapi ... kamu sekarang mulai sibuk dan selalu ditempeli Eliska," gumamku dengan menatap bantal yang biasa dipakai Lois terlelap. Lalu tanganku bergerak mengusap sisi kasur yang dipakai ia berbaring. Dingin dan kosong. Bahkan di angka dua belas tepat, aku masih saja terjaga dan memandangi tempatnya yang kosong. Sembari menguatkan hati untuk tidak menangisi apapun yang terjadi. Andai kata aku hanya ditakdirkan oleh Tuhan hanya berjodoh dengan Lois beberapa tahun saja, aku sudah menyiapkan diri untuk tetap tegar meski hidup tanpa dia lagi. Bukankah hidup hanya tentang dia yang datang kemudian harus berpisah. "Selamat tidur, Lois. Aku merindukanmu. Entah dirimu." Karena nyatanya, hingga aku mulai memejamkan mata, ponsel yang berada di dalam dekapan dengan
Senja di Jakarta hari ini ditutup dengan gerimis. Tanganku menengadah ke rerintik gerimis yang membasahi paving kantor. Sengaja aku tidak segera pulang bahkan ketika semua karyawan sudah kembali ke peraduannya masing-masing. Alasannya sederhana. "Kalau aku di rumah, aku pasti ingat kamu, Lois," gumamku dengan menatap telapak tangan yang basah akibat percikan gerimis yang berjatuhan. Kemudian ponselku berdering dan ternyata dari Pak Wawan. Aku segera mengangkat panggilannya dengan tetap membiarkan satu telapak tanganku terbasahi oleh rerintik gerimis. "Selamat sore, Mbak Lilyah. Kenapa Mbak belum pulang?" tanyanya sopan. Wajar Pak Wawan tahu aku sedang dimana. Karena aplikasi tracker yang ada di ponselku juga terhubung dengannya. "Males aja, Pak Wawan. Memangnya kenapa kalau aku belum pulang?" "Mbak sudah bekerja seharian, apa tidak lelah dan ingin segera istirahat?" "Tumben Pak Wawan nelfon dan menasehati aku kayak gini. Apa Lois yang nyuruh?" Pak Wawan menghela nafas pend
Lois tidak menghubungiku sama sekali ketika ia sudah disibukkan dengan acara rapat tahunan di Bali. Entah karena sibuk dengan rapat itu atau karena gengsinya atau ... ada Eliska yang sudah menemaninya. Ya, perlahan tapi pasti. Posisiku sebagai istri Lois yang belum ia cintai sepenuhnya itu akan tergantikan oleh Eliska yang nyaris sempurna itu. "Halo, Mbak Lilyah." "Halo, Pak Wawan. Lois sedang apa?" "Kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Mbak." Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam di Jakarta. Berarti sekarang pukul sembilan di Bali. "Apa kamar Lois dan Eliska jadi satu?" "Astaga, Tuhan. Tidak, Mbak. Den Mas di kamarnya sendiri," jawab Pak Wawan dengan nada tidak percaya. "Lalu dimana kamar Eliska? Apa kamar mereka berdekatan?" tebakku lagi. Entahlah firasat seorang istri itu tidak bisa diabaikan. Pak Wawan tidak menjawab pertanyaanku dan bukankah itu artinya jika kamar mereka benar-benar berdekatan? "Siapa yang ngatur biar kamar mereka berdekatan, Pak?" "Mbak E
Lois sedikit menjauhkan wajah dan tubuhnya lalu menarik daguku agar menatap kedua matanya yang sayu. Rupanya Lois hampir saja terlelap usai mendapat pelepasan dan kepuasan batinnya. “Kenapa kamu mendadak pengen buka kafe lagi?” tanyanya lirih. Tanganku bergerak sedikit menaikkan selimut agar menutupi tubuh polos kami. Suhu AC kamar cukup dingin. “Aku pengen punya kesibukan aja.” “Apa kerja di kantor masih kurang sibuk?” Kepalaku menggeleng, “Kadang aku nggak tahu di rumah harus ngapain kalau kamu belum pulang. Pikirku, kenapa aku nggak mencari kesibukan positif aja sambil nunggu kamu pulang.” Ya, biasanya Lois baru tiba di rumah minimal pukul delapan malam. Tapi jika ada satu atau dua hal maka dia bisa tiba di rumah pukul sepuluh malam. Waktunya untuk bertemu denganku hanya ketika malam dan pagi hari saja. Selebihnya, dia akan sibuk di pabrik Bandung. Ditemani asistennya dan … perempuan kesayangan keluarga Hartadi yang digadang-gadang akan menjadi maduku. Eliska. “Kamu mau car
Di sebuah resturant kelas elite, aku menjamu seorang lelaki yang baru kukenal. Sengaja aku menjamunya di tempat berkelas seperti ini karena ia bukan orang sembarangan. Dan sudah menjadi etika untuk memperlakukan tamu sebaik mungkin. "Selamat malam. Apa kamu Lilyah?" Aku langsung mendongak kemudian tersenyum padanya. "Kamu Qhiyas?" Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum ramah. "Silahkan duduk." Masih memakai kemeja kerja berwarna putih bergaris biru namun ujungnya sudah dikeluarkan dari dalam celana kain yang dikenakan. Bahkan lengan panjangnya sudah digulung hingga sesiku. Memperlihatkan jam tangan gaulnya yang pasti berharga selangit juga bulu tangan yang sedikit ... lebat. Rambutnya masih sangat rapi dengan kacamata bening membingkai kedua mata. Hidungnya lebih mancung dari Lois dengan bibir yang tipis. Qhiyas seperti bukan lelaki asli pribumi, melainkan seperti lelaki berdarah campuran. Ah ... mengapa aku jadi menilai lelaki lain? Bukankah aku masih punya suami? Iya
Lois is calling ... Aku masih mengenakan bathrobe dengan rambut digelung di dalam handuk. Lalu menatap ponsel yang berdering. Sebenarnya ada rasa tidak ingin mengangkat panggilan dari Lois. Alasannya sudah pasti karena aku sedang tidak ingin berinteraksi dengannya. Namun, mengingat keberlangsungan kafeku, akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilannya. "Ya, Lois?" "Lagi apa, Ly?" Wow ... untuk pertama kalinya dia bertanya aku sedang apa. Padahal dia biasanya acuh denganku. "Habis mandi." "Gimana hasil ketemuan sama Qhiyas?" "Semuanya berjalan lancar. Qhiyas adalah orang yang tepat. Dia ngajari aku banyak hal." "Syukurlah. Berarti aku nggak salah tunjuk orang buat ngajari kamu." "Makasih, Lois." "Tapi, kenapa kamu pulangnya malam banget?" Wajar jika Lois tahu pukul berapa aku baru tiba di rumah. Dia pasti melacak aktivitasku melalui aplikasi tracker yang ada di ponselku. "Qhiyas nggak janji kalau besok dan lusa bisa meluangkan waktunya. Karena ada tender pentin
"Capeknya," gumamku sambil mensejajarkan kedua kaki. Peluhku bercucuran lalu mengusapnya dengan tangan kanan. Baju ganti yang kukenakan pun terasa basah di punggung. "Minum, Ly." Qhiyas menawarkan segelas jus jeruk padaku lalu ikut duduk di sebelah. Sambil kami memandangi laut malam. "Yas, makasih ya? Sejak grand opening sampai hari ini, animo pengunjung benar-benar luar biasa." "Yang penting bagi hasilnya, Ly." Aku mendorong bahunya dengan tersenyum. Sudah dua minggu ini kafeku mulai beroperasi. Qhiyas dan aku sangat antusias membuka kembali kafe ini. Satu sisi Qhiyas merasa antusias karena itu seperti mengingatkan dia akan masa SMA-nya saat dipaksa orang tuanya menjalan bisnis franchise itu. Juga aku sepakat jika ide-ide cemerlang Qhiyas mengolah kafe ini akan kuupahi dengan keuntungan sebesar tiga puluh persen dari hasil bersih. "Kamu tuh udah kaya raya, masih aja minta bagi hasil." "Ide itu mahal, Ly. Lagian yang kaya raya tuh keluarga. Aku mah numpang." Usai menan
Eyang tiba di rumah. Dengan sisa kekuatan yang masih ada di tengah tidak adanya nafsu makan dan raga yang mendadak demam, aku melangkah pelan menghampiri Eyang yang sudah duduk di ruang tamu. Aku berjalan sopan lalu mencium tangan beliau. Kemudian mengambil duduk di hadapannya dan menceritakan apa yang kudengar dari Qhiyas tentang Lois. Saat bercerita, suaraku bergetar namun berusaha menguatkan hati. Tidak kutunjukkan ada air mata yang menetes meski hati hancur. "Lois punya apartemen di Bandung yang dihuni sama Eliska?" tanya Eyang memastikan. "Iya, Eyang. Saya nggak tahu lagi apakah itu artinya mereka udah tinggal seatap." Eyang menghela nafas panjang dengan raut tidak menyangka. "Ada banyak hal yang kulewatkan ternyata. Kupikir Lubis jarang ke rumah karena benar-benar sibuk sama pabriknya, tapi ternyata ... " Kepala Eyang menggeleng tidak habis pikir dan aku merasa lega bisa mengatakan segalanya pada Eyang. Kemudian telfon rumah berdering nyaring dan Bu Sri melangkah mend