enjoy reading ...
"Kita kayaknya perlu diskusi mesra, Ly." Aku tertawa lirih mendengar gombalan Lois di tengah galaunya hati akan kedekatannya dengan Eliska. "Gimana? Mau saya ajak rapat singkat untuk mendiskusikan sesuatu?" tanyanya lagi dengan bahasa yang formal. Astaga, Lois. Sekejap dia berubah manis tapi kadang sikapnya yang introvert itu membuatku sering salah paham. "Boleh, Pak Lois. Dimana saya bisa menemui Bapak?" ucapku tak kalah formalnya dengan gaya berbicara selayaknya dengan customer melalui sambungan telfon. "Baiklah, Lilyah. Menurut tracker yang terlacak dari ponsel saya, rupanya anda berada di lobby gedung utama pabrik saya." "Betul, Pak." "Kalau begitu anda bisa mulai mengambil jalan ke kanan." Aku mengikuti saran Lois lalu melangkah ke kanan. Di sepanjang lorong itu nampak legang karena semua karyawan sedang bersenang-senang di aula merayakan ulang tahun pabrik ini. "Silahkan naik tangga sampai ke lantai tiga." "Apa di kantor Bapak tidak ada liftnya?" tanyaku dengan mulai
Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta menggunakan bis, aku hanya duduk termenung dengan menatap keluar jendela. Apalagi jika bukan karena merasa galau akibat kedekatan Lois dan Eliska. Juga saran yang Ishak katakan. Bahkan aku tidak bersemangat menimpali obrolan Gia dan Nina yang sedari tadi sibuk membahas ketampanan anggota band yang menghibur acara ulang tahun di pabrik yang Lois pimpin. Mereka tidak tahu saja kalau anggota grup band itu semua adalah teman bermusik Lois semasa dia belum menjadi pebisnis seperti ini. "Ly, lo kok pucat banget sih? Bengong pula," tanya Gia ketika kami sudah tiba di Jakarta. Kami masih menunggu rekan-rekan yang lain turun lebih dulu dari bis agar tidak berjubel. "Kurang makan," jawabku asal. "Emang tadi di pabriknya Pak Lubis kamu nggak makan?!" Kepalaku menggeleng tegas dengan menatap Gia. "Lha? Menunya enak-enak kok malah nggak makan sih?" Aku berdiri dari duduk lalu menyampirkan tas kerja ke pundak. "Ada jelangkung di aula pabriknya Pak
Ini kali pertama aku tidur sendirian di kamar tanpa Lois sejak dipaksa pindah ke rumahnya ini. Nyatanya segala kemewahan yang ada di rumah ini tidak bisa menggantikan kesenangan yang hatiku butuhkan. "Aku mau kamu pulang, Lois. Tapi ... kamu sekarang mulai sibuk dan selalu ditempeli Eliska," gumamku dengan menatap bantal yang biasa dipakai Lois terlelap. Lalu tanganku bergerak mengusap sisi kasur yang dipakai ia berbaring. Dingin dan kosong. Bahkan di angka dua belas tepat, aku masih saja terjaga dan memandangi tempatnya yang kosong. Sembari menguatkan hati untuk tidak menangisi apapun yang terjadi. Andai kata aku hanya ditakdirkan oleh Tuhan hanya berjodoh dengan Lois beberapa tahun saja, aku sudah menyiapkan diri untuk tetap tegar meski hidup tanpa dia lagi. Bukankah hidup hanya tentang dia yang datang kemudian harus berpisah. "Selamat tidur, Lois. Aku merindukanmu. Entah dirimu." Karena nyatanya, hingga aku mulai memejamkan mata, ponsel yang berada di dalam dekapan dengan
Senja di Jakarta hari ini ditutup dengan gerimis. Tanganku menengadah ke rerintik gerimis yang membasahi paving kantor. Sengaja aku tidak segera pulang bahkan ketika semua karyawan sudah kembali ke peraduannya masing-masing. Alasannya sederhana. "Kalau aku di rumah, aku pasti ingat kamu, Lois," gumamku dengan menatap telapak tangan yang basah akibat percikan gerimis yang berjatuhan. Kemudian ponselku berdering dan ternyata dari Pak Wawan. Aku segera mengangkat panggilannya dengan tetap membiarkan satu telapak tanganku terbasahi oleh rerintik gerimis. "Selamat sore, Mbak Lilyah. Kenapa Mbak belum pulang?" tanyanya sopan. Wajar Pak Wawan tahu aku sedang dimana. Karena aplikasi tracker yang ada di ponselku juga terhubung dengannya. "Males aja, Pak Wawan. Memangnya kenapa kalau aku belum pulang?" "Mbak sudah bekerja seharian, apa tidak lelah dan ingin segera istirahat?" "Tumben Pak Wawan nelfon dan menasehati aku kayak gini. Apa Lois yang nyuruh?" Pak Wawan menghela nafas pend
Lois tidak menghubungiku sama sekali ketika ia sudah disibukkan dengan acara rapat tahunan di Bali. Entah karena sibuk dengan rapat itu atau karena gengsinya atau ... ada Eliska yang sudah menemaninya. Ya, perlahan tapi pasti. Posisiku sebagai istri Lois yang belum ia cintai sepenuhnya itu akan tergantikan oleh Eliska yang nyaris sempurna itu. "Halo, Mbak Lilyah." "Halo, Pak Wawan. Lois sedang apa?" "Kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Mbak." Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam di Jakarta. Berarti sekarang pukul sembilan di Bali. "Apa kamar Lois dan Eliska jadi satu?" "Astaga, Tuhan. Tidak, Mbak. Den Mas di kamarnya sendiri," jawab Pak Wawan dengan nada tidak percaya. "Lalu dimana kamar Eliska? Apa kamar mereka berdekatan?" tebakku lagi. Entahlah firasat seorang istri itu tidak bisa diabaikan. Pak Wawan tidak menjawab pertanyaanku dan bukankah itu artinya jika kamar mereka benar-benar berdekatan? "Siapa yang ngatur biar kamar mereka berdekatan, Pak?" "Mbak E
Lois sedikit menjauhkan wajah dan tubuhnya lalu menarik daguku agar menatap kedua matanya yang sayu. Rupanya Lois hampir saja terlelap usai mendapat pelepasan dan kepuasan batinnya. “Kenapa kamu mendadak pengen buka kafe lagi?” tanyanya lirih. Tanganku bergerak sedikit menaikkan selimut agar menutupi tubuh polos kami. Suhu AC kamar cukup dingin. “Aku pengen punya kesibukan aja.” “Apa kerja di kantor masih kurang sibuk?” Kepalaku menggeleng, “Kadang aku nggak tahu di rumah harus ngapain kalau kamu belum pulang. Pikirku, kenapa aku nggak mencari kesibukan positif aja sambil nunggu kamu pulang.” Ya, biasanya Lois baru tiba di rumah minimal pukul delapan malam. Tapi jika ada satu atau dua hal maka dia bisa tiba di rumah pukul sepuluh malam. Waktunya untuk bertemu denganku hanya ketika malam dan pagi hari saja. Selebihnya, dia akan sibuk di pabrik Bandung. Ditemani asistennya dan … perempuan kesayangan keluarga Hartadi yang digadang-gadang akan menjadi maduku. Eliska. “Kamu mau car
Di sebuah resturant kelas elite, aku menjamu seorang lelaki yang baru kukenal. Sengaja aku menjamunya di tempat berkelas seperti ini karena ia bukan orang sembarangan. Dan sudah menjadi etika untuk memperlakukan tamu sebaik mungkin. "Selamat malam. Apa kamu Lilyah?" Aku langsung mendongak kemudian tersenyum padanya. "Kamu Qhiyas?" Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum ramah. "Silahkan duduk." Masih memakai kemeja kerja berwarna putih bergaris biru namun ujungnya sudah dikeluarkan dari dalam celana kain yang dikenakan. Bahkan lengan panjangnya sudah digulung hingga sesiku. Memperlihatkan jam tangan gaulnya yang pasti berharga selangit juga bulu tangan yang sedikit ... lebat. Rambutnya masih sangat rapi dengan kacamata bening membingkai kedua mata. Hidungnya lebih mancung dari Lois dengan bibir yang tipis. Qhiyas seperti bukan lelaki asli pribumi, melainkan seperti lelaki berdarah campuran. Ah ... mengapa aku jadi menilai lelaki lain? Bukankah aku masih punya suami? Iya
Lois is calling ... Aku masih mengenakan bathrobe dengan rambut digelung di dalam handuk. Lalu menatap ponsel yang berdering. Sebenarnya ada rasa tidak ingin mengangkat panggilan dari Lois. Alasannya sudah pasti karena aku sedang tidak ingin berinteraksi dengannya. Namun, mengingat keberlangsungan kafeku, akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilannya. "Ya, Lois?" "Lagi apa, Ly?" Wow ... untuk pertama kalinya dia bertanya aku sedang apa. Padahal dia biasanya acuh denganku. "Habis mandi." "Gimana hasil ketemuan sama Qhiyas?" "Semuanya berjalan lancar. Qhiyas adalah orang yang tepat. Dia ngajari aku banyak hal." "Syukurlah. Berarti aku nggak salah tunjuk orang buat ngajari kamu." "Makasih, Lois." "Tapi, kenapa kamu pulangnya malam banget?" Wajar jika Lois tahu pukul berapa aku baru tiba di rumah. Dia pasti melacak aktivitasku melalui aplikasi tracker yang ada di ponselku. "Qhiyas nggak janji kalau besok dan lusa bisa meluangkan waktunya. Karena ada tender pentin