enjoy reading ...
Aku masih bingung, mengapa Lois masih ada di sini? Tadi pagi dia berpamitan padaku akan ke Bandung menggunakan helikopter. Tapi pagi ini dia justru mendadak akan menaiki bus yang sama denganku menuju Bandung. "Sudah lengkap semuanya?" tanya Lois sambil berdiri. Kepalanya menoleh ke kanan untuk melihat kami semua yang sudah duduk di bangku masing-masing. "Sudah, Pak Lubis," jawab kami serentak begitu juga denganku. Kemudian rombongan bis berangkat menuju Bandung. "Gi, kok ... Pak Lubis naik bis ini ya?" tanyaku berbisik pada Gia. "Ya suka-suka si bos, Ly. Dia anaknya yang punya perusahaan ini. Wajar mau naik bis kek, mobil pribadi kek, atau helikopter kantor sekalipun." Kepalaku hanya mengangguk dengan kepala menunduk agar tertutupi oleh kursi penumpang yang ada di depanku. "Lo nggak capek duduk posisinya kayak gitu, Ly?" tanya Gia ketika kami sudah sekitar setengah jam perjalanan. Aku tersenyum canggung sembari menggeleng. Sedang mereka yang duduk di bagian depan justru s
Dengan kepala pening dan kaki berusaha menopang tubuh yang bersandar di badan bis yang terayomi tumbuhan rindang, aku menatap seseorang yang kini berdiri di sampingku. Memegang kedua lenganku dari samping. "Kamu sakit, Ly?" Aku tidak mengenali wajahnya sama sekali. Tapi bagaimana dia bisa tahu namaku? Kemudian dia membantuku untuk berdiri lebih tegak. "Di sini panas, Ly. Ayo kita duduk di ruang tamu gedung utama aja," ajaknya. Perempuan dengan setelan kerja yang rapi dan wangi serta riasan wajah minimalis namun elegan itu sekilas membuat otakku dipenuhi tanya. Namun belum terlontar tanya itu dari bibir ini karena aku masih sibuk melangkah menuju gedung utama dengan kepala pening. Sedang kedua tangan perempuan itu terus mengamit kedua lenganku seperti khawatir aku benar-benar limbung lalu jatuh terduduk di lantai paving pabrik. Hingga kami tiba di ruang tamu gedung utama lalu aku duduk di sofa. "Aku ambilin minum. Kamu duduk di sini aja." Setelah kepergiannya, aku mengingat kemb
"Kita kayaknya perlu diskusi mesra, Ly." Aku tertawa lirih mendengar gombalan Lois di tengah galaunya hati akan kedekatannya dengan Eliska. "Gimana? Mau saya ajak rapat singkat untuk mendiskusikan sesuatu?" tanyanya lagi dengan bahasa yang formal. Astaga, Lois. Sekejap dia berubah manis tapi kadang sikapnya yang introvert itu membuatku sering salah paham. "Boleh, Pak Lois. Dimana saya bisa menemui Bapak?" ucapku tak kalah formalnya dengan gaya berbicara selayaknya dengan customer melalui sambungan telfon. "Baiklah, Lilyah. Menurut tracker yang terlacak dari ponsel saya, rupanya anda berada di lobby gedung utama pabrik saya." "Betul, Pak." "Kalau begitu anda bisa mulai mengambil jalan ke kanan." Aku mengikuti saran Lois lalu melangkah ke kanan. Di sepanjang lorong itu nampak legang karena semua karyawan sedang bersenang-senang di aula merayakan ulang tahun pabrik ini. "Silahkan naik tangga sampai ke lantai tiga." "Apa di kantor Bapak tidak ada liftnya?" tanyaku dengan mulai
Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta menggunakan bis, aku hanya duduk termenung dengan menatap keluar jendela. Apalagi jika bukan karena merasa galau akibat kedekatan Lois dan Eliska. Juga saran yang Ishak katakan. Bahkan aku tidak bersemangat menimpali obrolan Gia dan Nina yang sedari tadi sibuk membahas ketampanan anggota band yang menghibur acara ulang tahun di pabrik yang Lois pimpin. Mereka tidak tahu saja kalau anggota grup band itu semua adalah teman bermusik Lois semasa dia belum menjadi pebisnis seperti ini. "Ly, lo kok pucat banget sih? Bengong pula," tanya Gia ketika kami sudah tiba di Jakarta. Kami masih menunggu rekan-rekan yang lain turun lebih dulu dari bis agar tidak berjubel. "Kurang makan," jawabku asal. "Emang tadi di pabriknya Pak Lubis kamu nggak makan?!" Kepalaku menggeleng tegas dengan menatap Gia. "Lha? Menunya enak-enak kok malah nggak makan sih?" Aku berdiri dari duduk lalu menyampirkan tas kerja ke pundak. "Ada jelangkung di aula pabriknya Pak
Ini kali pertama aku tidur sendirian di kamar tanpa Lois sejak dipaksa pindah ke rumahnya ini. Nyatanya segala kemewahan yang ada di rumah ini tidak bisa menggantikan kesenangan yang hatiku butuhkan. "Aku mau kamu pulang, Lois. Tapi ... kamu sekarang mulai sibuk dan selalu ditempeli Eliska," gumamku dengan menatap bantal yang biasa dipakai Lois terlelap. Lalu tanganku bergerak mengusap sisi kasur yang dipakai ia berbaring. Dingin dan kosong. Bahkan di angka dua belas tepat, aku masih saja terjaga dan memandangi tempatnya yang kosong. Sembari menguatkan hati untuk tidak menangisi apapun yang terjadi. Andai kata aku hanya ditakdirkan oleh Tuhan hanya berjodoh dengan Lois beberapa tahun saja, aku sudah menyiapkan diri untuk tetap tegar meski hidup tanpa dia lagi. Bukankah hidup hanya tentang dia yang datang kemudian harus berpisah. "Selamat tidur, Lois. Aku merindukanmu. Entah dirimu." Karena nyatanya, hingga aku mulai memejamkan mata, ponsel yang berada di dalam dekapan dengan
Senja di Jakarta hari ini ditutup dengan gerimis. Tanganku menengadah ke rerintik gerimis yang membasahi paving kantor. Sengaja aku tidak segera pulang bahkan ketika semua karyawan sudah kembali ke peraduannya masing-masing. Alasannya sederhana. "Kalau aku di rumah, aku pasti ingat kamu, Lois," gumamku dengan menatap telapak tangan yang basah akibat percikan gerimis yang berjatuhan. Kemudian ponselku berdering dan ternyata dari Pak Wawan. Aku segera mengangkat panggilannya dengan tetap membiarkan satu telapak tanganku terbasahi oleh rerintik gerimis. "Selamat sore, Mbak Lilyah. Kenapa Mbak belum pulang?" tanyanya sopan. Wajar Pak Wawan tahu aku sedang dimana. Karena aplikasi tracker yang ada di ponselku juga terhubung dengannya. "Males aja, Pak Wawan. Memangnya kenapa kalau aku belum pulang?" "Mbak sudah bekerja seharian, apa tidak lelah dan ingin segera istirahat?" "Tumben Pak Wawan nelfon dan menasehati aku kayak gini. Apa Lois yang nyuruh?" Pak Wawan menghela nafas pend
Lois tidak menghubungiku sama sekali ketika ia sudah disibukkan dengan acara rapat tahunan di Bali. Entah karena sibuk dengan rapat itu atau karena gengsinya atau ... ada Eliska yang sudah menemaninya. Ya, perlahan tapi pasti. Posisiku sebagai istri Lois yang belum ia cintai sepenuhnya itu akan tergantikan oleh Eliska yang nyaris sempurna itu. "Halo, Mbak Lilyah." "Halo, Pak Wawan. Lois sedang apa?" "Kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Mbak." Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam di Jakarta. Berarti sekarang pukul sembilan di Bali. "Apa kamar Lois dan Eliska jadi satu?" "Astaga, Tuhan. Tidak, Mbak. Den Mas di kamarnya sendiri," jawab Pak Wawan dengan nada tidak percaya. "Lalu dimana kamar Eliska? Apa kamar mereka berdekatan?" tebakku lagi. Entahlah firasat seorang istri itu tidak bisa diabaikan. Pak Wawan tidak menjawab pertanyaanku dan bukankah itu artinya jika kamar mereka benar-benar berdekatan? "Siapa yang ngatur biar kamar mereka berdekatan, Pak?" "Mbak E
Lois sedikit menjauhkan wajah dan tubuhnya lalu menarik daguku agar menatap kedua matanya yang sayu. Rupanya Lois hampir saja terlelap usai mendapat pelepasan dan kepuasan batinnya. “Kenapa kamu mendadak pengen buka kafe lagi?” tanyanya lirih. Tanganku bergerak sedikit menaikkan selimut agar menutupi tubuh polos kami. Suhu AC kamar cukup dingin. “Aku pengen punya kesibukan aja.” “Apa kerja di kantor masih kurang sibuk?” Kepalaku menggeleng, “Kadang aku nggak tahu di rumah harus ngapain kalau kamu belum pulang. Pikirku, kenapa aku nggak mencari kesibukan positif aja sambil nunggu kamu pulang.” Ya, biasanya Lois baru tiba di rumah minimal pukul delapan malam. Tapi jika ada satu atau dua hal maka dia bisa tiba di rumah pukul sepuluh malam. Waktunya untuk bertemu denganku hanya ketika malam dan pagi hari saja. Selebihnya, dia akan sibuk di pabrik Bandung. Ditemani asistennya dan … perempuan kesayangan keluarga Hartadi yang digadang-gadang akan menjadi maduku. Eliska. “Kamu mau car