1624 kata ... enjoy reading ... maaf baru up.
"Siapa yang mengundangmu kemari?!" tanya Romonya Lois dengan suara begitu tegas meski tidak keras. Kemudian aku menghadap beliau dan memungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Meski bukan menantu idaman, tapi aku tidak mau bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua. "Saya datang ... atas undangan panggilan hati, Pak Presdir." Aku masih memanggilnya Pak Presdir, bukan Romo. Ah ... apalah daya, beliau masih belum mengizinkan aku menganggapnya sebagai seorang ayahku jua. "Omong kosong apa lagi yang akan kamu mainkan, heh?!" Kemudian beliau menatap Pak Wahyu, asisten pribadinya, dan Pak Wawan, asisten pribadi Lois. "Bawa keluar perempuan rendahan ini!" titahnya. Kedua asisten itu saling pandang ketika mendapat perintah seperti itu. "Apa yang kalian tunggu?!" tegas Ibunya Lois yang melihat kedua asisten itu tidak bergerak. Mungkin karena mereka sudah mengenalku, dan merasa tidak enak serta bingung mendapat perintah tersebut dari Pak Presdir. "Cepat bawa dia keluar!" Ibuny
Aku membelalakkan mata tidak percaya dengan ucapan Lois."Baik, Den Mas. Akan saya laksanakan perintah Den Mas," ucap Bu Sri patuh. Lalu Lois menatapku yang masih terpaku memandangnya. "Nggak ada alat komunikasi baru, nggak ada pergi kerja lagi, atau apapun itu. Kamu hanya boleh keluar kamar tapi tetap di dalam rumah ini, Lilyah. Ini udah keputusanku dan nggak bisa diganggu gugat!""Meski kamu menangis darah sekalipun, kalau kamu nggak bisa tepat janji sama kesepakatan kita jangan harap kamu bisa keluar dari sini!" Keputusan gila apa ini?! Aku menggeleng dengan emosi membuncah sambil menatap Lois."Kamu benar-benar mau nyiksa aku sampai mati, heh?!""Maaf, Ly. Aku nggak ada pilihan. Kamu juga udah keterlaluan berani nampar aku. Dimana etikamu sebagai seorang istri? Kesalahpahaman ini kamu telan mentah-mentah dan nggak mau ngertiin aku.""Itu karena kamu emang sialan, Lois!" bentakku dengan menunjuk wajahnya. Tidak lagi menyahuti caci makiku yang berapi-api, Lois kemudian merogoh p
Ranjang sebelahku sudah kosong. 'Apa Lois udah berangkat?' gumamku dalam hati. Lalu aku menurunkan kaki dari ranjang dan tanganku bergerak menarik selimut untuk menutupi tubuh polosku hingga sebatas dada. Dengan mata masih setengah mengantuk dan tubuh sedikit tidak nyaman akibat sisa percintaan paksa semalam, aku memaksa diri berjalan dengan rambut acak-acakan untuk menyibak gorden. "Udah pagi." Sinar mentari telah menerangi bumi dan aku baru terbangun. Semalam, setelah Lois mendapatkan kenikmatannya di atas tubuhku, dia langsung tertidur pulas dengan terus memelukku dari samping. Sedang aku tidak ubahnya seperti perempuan paling kasihan seperti habis diperkosa suami sendiri. Hingga entah pukul berapa aku baru memejamkan mata. Setelah lelah berperang dengan hati dan kenyataan. Aku berbalik badan dan hendak mengambil baju. Lalu ingatanku kembali ke saat baju-baju Lois yang kubuat berantakan di lantai ternyata sudah tidak ada lagi. Kupikir baju itu dimasukkan kembali ke dalam
Aku tidak sekuat itu melihat Lois bersama keluarganya sedang makan malam bersama Eliska. Lalu kepalaku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Eyang. "Saya mau pulang aja, Eyang." "Baiklah, kita keliling-keliling kota dulu baru pulang. Setuju?" Malam ini, entah Eliska datang sendiri seperti kemarin malam atau justru dengan kedua orang tuanya. Lagi-lagi, hatiku dipenuhi kemalangan membayangkan pertemuan mereka yang mungkin saja begitu membahagiakan untuk keluarga Hartadi. Dan apakah Lois terhanyut dalam pertemuan itu dan mulai menyukai sosok Eliska yang begitu menawan? Jauh dibanding aku? "Ly, boleh Eyang berpesan?" tanya Eyang begitu mobilnya sudah berhenti di depan rumah Lois. "Tentu, Eyang. Silahkan." Tangan tua Eyang mengambil satu tangan kiriku lalu digenggamnya. "Yang kuat, sabar, dan tetap semangat. Eyang yakin kamu bisa melewati semuanya." Kepalaku mengangguk pelan dengan wajah menunduk. "Jangan tahan kesedihanmu sendiri. Tapi kamu harus bicara sama Lubis tentan
Sejak kapan aku bisa menolak permintaan Lois saat menyadari jika telah jatuh cinta padanya? Dan pada akhirnya, semalam aku kembali menyerahkan jiwa ragaku secara sukarela untuk kembali dinikmati Lois. Tidak seperti dua malam lalu ketika dia meminta haknya dengan cara yang 'kasar' dalam arti sebenarnya. Semalam, Lois memperlakukanku penuh kasih dan ... cinta. Meski di tengah keremangan kamar, aku masih hafal betul bagaimana dia mencium bibirku penuh makna. Seolah-olah aku telah ada di hatinya hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Biasanya hanya sekali permainan, Lois akan mengajakku untuk terlelap, tapi tidak dengan tadi malam. Dia meminta haknya hingga dua kali pergulatan. Kemudian Lois benar-benar melebur dengan lelah raganya hingga dia bangun kesiangan pagi ini. Begitu aku sudah siap dengan setelan kerja sambil duduk di kursi rias, Lois baru saja membuka mata perlahan dengan posisi telungkup. Lengannya yang padat dan sedikit berotot itu nampak menggiurka
Lois menghentikan permainan pianonya lalu menatapku. “Aku uda beliin kamu ponsel baru. Mau lihat?” Bukannya menjawab pertanyaanku tentang pertemuannya dengan Eliska, justru Lois mengambil paper bag coklat kecil itu lalu mengeluarkan ponsel yang masih berada di dalam kotak. Dengan hati-hati Lois mengangsurkan ponsel yang ternyata sudah hidup itu padaku. “Keluaran terbaru dari merk paling bagus. Kamu suka?” Kemudian Lois membalik bagian belakang ponsel yang menunjukkan brand apel tidak bulat sepenuhnya. “Makasih, Lois. Ini lebih dari bagus.” Aku senang menerimanya karena ponsel lamaku tidak sebagus ini. Namun tetap saja di hatiku masih ada ganjalan tentang pertemuannya dengan Eliska. “Tahu kan?! Kalau aku nggak ingkar janji? Aku bolehin kamu kerja lagi dan dapat ponsel baru.” Kepalaku mengangguk dan mengakui jika Lois adalah lelaki dan suami yang tepat janji. Sesuai dengan apa yang ia ucapkan. Bukannya mengulir layar ponsel baru, aku justru meletakkannya di dekat tuts
Aku masih bingung, mengapa Lois masih ada di sini? Tadi pagi dia berpamitan padaku akan ke Bandung menggunakan helikopter. Tapi pagi ini dia justru mendadak akan menaiki bus yang sama denganku menuju Bandung. "Sudah lengkap semuanya?" tanya Lois sambil berdiri. Kepalanya menoleh ke kanan untuk melihat kami semua yang sudah duduk di bangku masing-masing. "Sudah, Pak Lubis," jawab kami serentak begitu juga denganku. Kemudian rombongan bis berangkat menuju Bandung. "Gi, kok ... Pak Lubis naik bis ini ya?" tanyaku berbisik pada Gia. "Ya suka-suka si bos, Ly. Dia anaknya yang punya perusahaan ini. Wajar mau naik bis kek, mobil pribadi kek, atau helikopter kantor sekalipun." Kepalaku hanya mengangguk dengan kepala menunduk agar tertutupi oleh kursi penumpang yang ada di depanku. "Lo nggak capek duduk posisinya kayak gitu, Ly?" tanya Gia ketika kami sudah sekitar setengah jam perjalanan. Aku tersenyum canggung sembari menggeleng. Sedang mereka yang duduk di bagian depan justru s
Dengan kepala pening dan kaki berusaha menopang tubuh yang bersandar di badan bis yang terayomi tumbuhan rindang, aku menatap seseorang yang kini berdiri di sampingku. Memegang kedua lenganku dari samping. "Kamu sakit, Ly?" Aku tidak mengenali wajahnya sama sekali. Tapi bagaimana dia bisa tahu namaku? Kemudian dia membantuku untuk berdiri lebih tegak. "Di sini panas, Ly. Ayo kita duduk di ruang tamu gedung utama aja," ajaknya. Perempuan dengan setelan kerja yang rapi dan wangi serta riasan wajah minimalis namun elegan itu sekilas membuat otakku dipenuhi tanya. Namun belum terlontar tanya itu dari bibir ini karena aku masih sibuk melangkah menuju gedung utama dengan kepala pening. Sedang kedua tangan perempuan itu terus mengamit kedua lenganku seperti khawatir aku benar-benar limbung lalu jatuh terduduk di lantai paving pabrik. Hingga kami tiba di ruang tamu gedung utama lalu aku duduk di sofa. "Aku ambilin minum. Kamu duduk di sini aja." Setelah kepergiannya, aku mengingat kemb