1589 kata ... enjoy reading ...
"Aku kesal karena udah satu minggu ini Lubis nggak datang ke rumah. Bilangnya sibuk lah, apa lah. Ya udah, aku suruh orang mata-matai dimana Lubis tinggal. Dan ternyata di sini." "Ada rasa bangga waktu lihat rumahnya ini, Sri. Jiwa sederhananya tetap ada meski sama Romonya udah dikasih banyak hak istimewa." "Oh ya, tolong kamu siapin kamar buat aku ya? Masih ada tempat 'kan?" Kepala Bu Sri mengangguk pelan, "Masih ada kamar kosong, Eyang." Apakah Eyang akan menginap? Ya, Tuhan. Habislah aku! Masalahnya nanti aku akan tidur dimana jika Eyang tidur di rumah ini? Tidur di kamarku dan Lois? Yang ada bisa terjadi perang dunia empat! Lalu bagaimana dengan esok hari waktu aku akan berangkat bekerja? Eyang pasti tahu siapa aku di rumah ini. Dan aku berani jamin, yang ada aku akan kembali diusir dan mendapat hinaan. "Terus hari ini Lubis pamitnya kemana?" Bu Sri kemudian melirikku yang berada di sebelah kanannya. Ya Tuhan, apakah ia menyuruhku menjawab pertanyaan Eyang? "Kok kamu di
"Mbak Lilyah ini kalau nggak salah pernah menyelamatkan nyawa Eyang. Kejadiannya sudah lama sekali," ucap perawatnya Eyang. "Menyelamatkan yang gimana?" tanya Eyang dengan mengerutkan alisnya. "Mungkin Eyang lupa karena faktor usia, tapi saya masih ingat. Waktu itu kalau nggak salah kita ke rumah sakit untuk cek up kesehatan Eyang. Selang oksigen Eyang kebetulan belum saya lepas tapi kursi roda Eyang sudah turun dari mobil. Waktu mobil mau jalan untung Mbak Lilyah tahu lalu mobil Eyang diteriaki Mbak Lilyah biar berhenti.""Benarkah?!" Kepala perawat itu mengangguk tegas, "Kalau bukan karena Mbak Lilyah, mungkin Eyang bisa jatuh dari kursi roda atau terseret bersamaan dengan kursi roda." Eyang nampak mengingat-ingat kejadian lama itu. "Apa Eyang ingat?"Kepala Eyang menggeleng, "Eyang lupa, kebanyakan ke rumah sakit sampai lupa yang mana.""Tapi saya masih ingat banget, Eyang. Makanya dari tadi Mbak Lilyah saya perhatiin kayak pernah kenal. Dan ternyata emang pernah bertemu. Bahka
Hanya ada aku sendiri di dapur usai menguping pembicaraan Lois dan Eyangnya. Semua penghuni rumah sepertinya sudah kembali ke kamar masing-masing karena ini sudah hampir pukul sembilan malam. Niat hati ingin membuat minuman hangat dan kembali makan malam sendirian, tapi percakapan Lois dan Eyangnya tadi membuat banyak tanda tanya di otak. Sambil berdiri dan menumpukan kedua tangan di bibir wastafel dapur yang sudah bersih dan mengkilap seperti semula, tiba-tiba lamunanku dikejutkan dengan sebuah bisikan di telinga kanan. "Kenapa belum tidur?" Begitu aku menoleh, Lois tidak memundurkan wajahnya sama sekali hingga hidung dan bibirnya sedikit bergesekan dengan pipiku. Karena jarak wajah kami yang terlalu dekat seperti ini, akhirnya aku yang memundurkan wajah. Kakiku sudah tidak bisa mundur lagi karena terhalang oleh wastafel. "Eh ... aku ... aku mau bikin teh." "Oh ... " "Apa kamu mau?" Lalu Lois mengarahkan kedua tangannya di sisi kanan kiri tubuhku dengan bertumpu pada wastaf
Kepalaku menggeleng tegas sambil menatap tangan yang digenggam Lois.“Aku takut, Lois. Aku ini cuma perempuan biasa tanpa kekuasaan apapun. Melawan keluargamu itu sama kayak aku cari mati. Aku nggak sanggup dan nggak sekuat itu, Lois.”“Lalu gimana sama janjimu? Kesepakatan kita? Apa mau ingkari lagi?!”Aku terdiam dengan kepala tetap menunduk.Sungguh, aku ingin sekali memperjuangkan Lois yang mulai mau membuka hatinya untukku, namun menghadapi keluarga Hartadi itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh perempuan lemah sepertiku. "Lois, aku ... "Lalu Lois sedikit menarik tanganku dengan mencengkeramnya.“Aku nggak pernah sekalipun ingkar sama janjiku ke kamu, Ly. Tapi kamu malah mau ingkar untuk yang kedua kalinya. Apa kurang hukuman yang selama ini aku berikan sampai kamu mau ingkar untuk yang kedua kalinya?""Bukan begitu, Lois.""Aku benar-benar nggak terima, Ly. Dan kalau aku sakit hati, jangan salahin siapa-siapa kalau orang terdekatmu sekalipun bakal kena sasaranku!”Ancaman Lois
Sebenarnya di rumah Romonya Lois masih ada acara berkumpul bersama untuk membicarakan banyak hal. Tapi, aku merasa sangat tertekan berada di antara mereka usai makan malam. Akhirnya aku pura-pura ke kamar mandi untuk menunaikan hajat kecil. Padahal aku tengah memberanikan diri untuk menghubungi Lois. "Apa, Ly?" tanyanya dengan suara tenang. "Bisakah kita pulang sekarang, Lois?" tanyaku berbisik di dalam kamar mandi. Terdengar suara bincang-bincang antar keluarga besar Lois melalui sambungan telfon. "Setengah jam lagi, gimana?" "Aku nggak kuat, Lois." "Kenapa?" "Aku ... nggak nyaman sama anggota keluarga besarmu. Tolong, Lois, jangan tekan aku lebih dari ini. Aku nggak sanggup." Lois menghela nafas lalu kembali bersuara. "Yang namanya menghadapi tantangan tuh ya kayak gini, Ly." "Aku nggak kuat, Lois. Please!" Akhirnya kalimat terakhir penuh penekanan itu menjadi senjata terakhirku memohon pada Lois untuk memulangkanku. "Oke," ucapnya dengan berat hati. Hatiku melega
Baru kali itu Lois menciumku selembut dan selama itu. Serasa aku benar-benar diinginkan olehnya dan ... apakah Lois sudah mencintaiku? Ah ... aku malu sekali dan bukankah kalau terlalu besar rasa nanti justru bisa merubah keadaan yang sudah tertata rapi menjadi berantakan. Seakan mendahului takdir. Namun, ada yang berbeda dengan hari ini karena sudah pukul lima pagi tapi Lois masih bergelung nyaman di dalam selimut dengan posisi membelakangiku. Lampu kamar pun masih redup. "Lois, kamu nggak kerja?" tanyaku sambil menggoyang lengannya. "Hem? Apa, Ly?" tanyanya dengan suara serak. "Kamu nggak kerja?" "Izin sehari." Lalu Lois kembali bergelung di bawah selimut, melanjutkan tidurnya yang terputus karena pertanyaanku. Ingin bertanya apa alasannya, aku tidak tega membangunkan dia yang nampaknya sangat menikmati lelapnya. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi lalu membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan. Bertepatan dengan itu, Pak Wawan, asistennya Lois, juga berada d
"Lois ke China? Menyembuhkan diri? Apa maksudnya, Pak Wawan?" tanyaku dengan menatap Pak Wawan serius. Sepertinya aku melewatkan banyak hal yang tak pernah kuketahui tentang kabar Lois selama kami tidak berkomunikasi tiga tahun. Pak Wawan seperti menimbang-nimbang apa yang akan diucapkan. Apa dia tidak berniat mengatakan segalanya padaku? Masih ingin menyembunyikan fakta besar dariku tentang Lois? "Pak Wawan, aku mohon jangan sembunyiin apapun dariku. Cukup tiga tahun aku nggak tahu sama sekali kabar Lois. Dan sekarang, tolong jangan biarin aku terus nggak tahu apapun tentang kehidupannya kala itu," mohonku dengan mengatupkan kedua tangan. Keraguan dan ketidakyakinan untuk mengatakan segalanya padaku tergambar jelas di wajah Pak Wawan. "Kalau Pak Wawan takut dimarahi Lois, aku janji bakal simpan rahasia ini baik-baik. Kalau sampai Lois macam-macam biar aku yang maju di depan Pak Wawan." Sepertinya dengan menawarkan diriku sebagai benteng pertahanan agar Pak Wawan mau mengatakan
Akhirnya aku memaksakan diri segera meraih ponsel yang masih berada di dalam tas kerja usai buru-buru mengusap air mata. Juga berdehem berulang kali agar suaraku tidak terdengar kacau di telinga Lois. Malu jika ia mengerti aku sedang berurai air mata. “Halo, Lois,” ucapku pelan dengan suara kubuat senormal mungkin. “Kenapa baru angkat telfonku?” Aku mengambil nafas banyak lalu menghembuskannya perlahan. “Masih ke kamar mandi.” “Oh …” “Emangnya … ada apa kamu nelfon? Ada yang penting?” Sejenak dia tidak langsung menjawab pertanyaanku lalu terdengar obrolan samar-samar. Mungkin Lois sedang bersama teman-teman bandnya. “Kamu habis nangis?” Dia justru balik bertanya. Aku mengerjap mata cepat karena akhirnya Lois menyadari ada yang berbeda dengan suaraku. “Itu … aku flu. Kebanyakan minum es,” kilahku. “Aku pikir kamu nangis,” ucapnya tanpa tedeng aling-aling. “Enggak kok.” “Baguslah kalau gitu. Oh ya, Ly, kayaknya … malam ini aku pulang telat.” Kepalaku mengangguk meski dia t