1696 kata ... enjoy reading ...
Pak Wahyu menatap Pak Presdir dengan sorot sedikit bingung dan ponsel masih menempel di telinga. Entah Lois berkata apa pada asisten Romonya itu. "Baik, Den Mas. Baik." Kemudian Pak Wahyu mendekat ke sebelah kanan Pak Presdir dengan membawa ponselnya. "Maaf, Pak Presdir. Den Mas ingin berbicara. Penting sekali katanya." Alis Pak Presdir sedikit berkerut lalu mengambil ponsel Pak Wahyu yang diulurkan dengan begitu sopan. "Halo, Lubis?" " ... " Aku hanya bisa memandang Pak Presdir dengan tatapan harap-harap cemas. Ya Tuhan, apa yang Lois katakan sekarang? Lalu kedua mata Pak Presdir menatapku dengan sorot tajam hingga aku memutuskan menundukkan pandangan dan menelan saliva bulat-bulat. "Apa istimewa perempuan kotor yang ada di hadapanku ini sampai kamu bela mati-matian, Lubis?" tanya Pak Presdir dengan nada ketus. Kepalaku masih menunduk sedang Pak Presdir terus menatapku dengan ponsel yang masih terhubung dengan Lois yang sudah berada jauh di sana. " ... " "Kamu benar-benar
“Oke. Take your time, Ly.” Usai Lois berucap dengan nada pasrah, aku segera menuju kamar lalu menutup pintu sesegera mungkin. Kusandarkan tubuh di pintu kamar hingga raga ini merosot lalu terduduk di lantai. Dengan tangan menyentuh dada yang terasa begitu sesak menjalani takdir hidup seperti roller coaster, air mataku kembali berurai mengingat ancaman Pak Presdir dan istrinya. Jika mereka memaksaku agar meminta cerai dari Lois, lalu apa yang harus kulakukan jika Lois sendiri memberiku ancaman yang sama tidak main-mainnya jika berani meminta cerai? Pak Presdir memaksa kami bercerai sedang Lois memaksaku untuk bertahan dengan pernikahan ini. Lalu apa yang harus kulakukan? *** Kesedihan yang menggulung hati rupanya membuatku kelelahan hingga tidak sadar tertidur di lantai kamar. Lalu aku terjaga begitu merasakan tubuh ini melayang pelan begitu saja. Begitu aku membuka mata pelan dan menoleh untuk mencari tahu ada apa, wajahku sudah berada di depan pundak Lois. "Jangan tidur di la
Sesuai perjanjian dengan Lois semalam, aku menurut kala ia memutuskan agar aku tetap berada di rumahnya. Tidak kembali bekerja dengan alasan aku sakit.Hanya menghabiskan waktu dengan menonton film melalui siaran berbayar unlimited sambil menghubungi Gia. "Lo nggak masuk lagi, Ly?" "Gue masih kurang enak badan, Gi." Padahal aku sedang merebahkan diri di sofa ruang kerja Lois yang empuk sambil menghidupkan layar televisi yang menampilkan film action baru rilis. "Entar gue jengukin sama Nina habis pulang kerja." Aku langsung terbangun dengan wajah terkejut. "Jangan! Eh ... maksud gue jangan sekarang, Gi." "Ya iyalah nggak sekarang tapi nanti sore." "Bu ... bukan itu. Maksud gue ... eh ... nanti sore kayaknya gue ... mau periksa. Iya, gue mau periksa." Bagaimana mungkin aku mengatakan dimana tempat tinggalku pada Gia dan Nina. Yang ada jika mereka tahu aku tinggal di cluster perumahan menengah ke atas dan tahu ini adalah rumah putra Pak Presdir, mungkin mereka bisa pingsan berdir
Lois itu ... santun. Kalau tidur. Sudah beberapa malam ini ketika aku terbangun, dia hanya tidur di sisiku tanpa tangan yang melingkari perutku. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala dan tangan kirinya diletakkan di atas perut. Bulu matanya saat terpejam sangat lentik. Belum lagi wajahnya yang kini berubah lebih terawat dan bersih karena mobilitasnya selalu menggunakan mobil yang nyaman. Ketika Lois merasa aku sudah terlelap, dia akan memberiku ciuman di pipi lalu memeluk dari belakang. Padahal ketika dia melakukan itu, sebenarnya aku masih terjaga. Memangnya perempuan mana yang bisa tidur cepat dengan lelaki yang dicintai tidur di sampingnya. Meski lelaki itu masih belum memiliki rasa cinta sekalipun. Tetap saja jantungku berdebar tidak karuan. Lalu entah pukul berapa Lois melepas pelukannya karena ketika pagi hari saat aku membuka mata hanya mendapati dia sudah begitu rapi. Seperti pagi ini contohnya. "Kamu udah rapi, Lois?" tanyaku dengan suara serak.Mataku mengerjap le
"Apa maksud Romo?" "Lihat aja nanti. Karena yang pasti, penerus keluarga bangsawan Hartadi harus dari keluarga yang berkualitas." "Apa Romo bakal jodohin aku?" "Apa kamu nggak lihat, kedua Mbakmu juga nyatanya bahagia sama laki-laki pilihan Romo dan Ibumu. Mereka hidup bahagia, mapan, dan satu visi dengan keluarga kita. Karena orang yang berasal dari keluarga terdidik akan melahirkan generasi yang terdidik pula." "Lagi-lagi masalah harta dan status sosial." "Apa kamu lupa kalau Romo dan Ibumu punya yayasan anak yatim piatu? Apa kamu pikir Romo dan Ibumu ini selalu melihat segala sesuatu dari uang? Bukan, Lubis. Tapi dari bibit, bebet, bobot yang berkualitas. Itu adalah tradisi yang keluarga besar kita sejak dulu." "Tapi nyatanya Romo salah menilai Lilyah." "Perempuan itu mau sampai kapanpun rekam digitalnya akan selalu ada. Apa yang orang lain katakan kalau tahu keluarga kita memiliki menantu ko-tor? Kamu terlalu awam untuk ngerti masalah rumah tangga. Kamu masih berapi-api samp
Bu Sri menatapku dengan raut bingung harus menjawab apa. Sedang aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Ya Tuhan, Lois, betapa teganya kamu tidak memberitahuku lebih dulu jika Eyangmu akan bertamu kemari!Apa Lois sengaja ingin membuat hariku makin suram saja?!"Kok kompak diam? Atau ada yang kalian sembunyikan?" Bu Sri dan aku bersamaan menatap Eyangnya Lois dengan ekspresi terkejut dan gugup luar biasa. Dengan sikap tetap membungkuk hormat, Bu Sri membuka suara."Ti ... tidak ada, Eyang. Memang ... ee ...," Bu Sri melirikku seakan meminta bantuan untuk menjawabnya. "S ... saya ... itu Eyang, e ... pembantu baru."Setelah melalui pemikiran kilat, akhirnya otak dan hatiku sepakat untuk memilih status sebagai pembantu baru saja. Eyang adalah keluarga besar Lois dan sudah barang pasti beliau mengerti dengan pakem aturan pemilihan menantu dari segi bibit, bebet, dan bobot. Lagipula, aku dan Lois sebelumnya sudah sepakat untuk menyembunyikan pernikahan kami dari siapapun. Jik
"Aku kesal karena udah satu minggu ini Lubis nggak datang ke rumah. Bilangnya sibuk lah, apa lah. Ya udah, aku suruh orang mata-matai dimana Lubis tinggal. Dan ternyata di sini." "Ada rasa bangga waktu lihat rumahnya ini, Sri. Jiwa sederhananya tetap ada meski sama Romonya udah dikasih banyak hak istimewa." "Oh ya, tolong kamu siapin kamar buat aku ya? Masih ada tempat 'kan?" Kepala Bu Sri mengangguk pelan, "Masih ada kamar kosong, Eyang." Apakah Eyang akan menginap? Ya, Tuhan. Habislah aku! Masalahnya nanti aku akan tidur dimana jika Eyang tidur di rumah ini? Tidur di kamarku dan Lois? Yang ada bisa terjadi perang dunia empat! Lalu bagaimana dengan esok hari waktu aku akan berangkat bekerja? Eyang pasti tahu siapa aku di rumah ini. Dan aku berani jamin, yang ada aku akan kembali diusir dan mendapat hinaan. "Terus hari ini Lubis pamitnya kemana?" Bu Sri kemudian melirikku yang berada di sebelah kanannya. Ya Tuhan, apakah ia menyuruhku menjawab pertanyaan Eyang? "Kok kamu di
"Mbak Lilyah ini kalau nggak salah pernah menyelamatkan nyawa Eyang. Kejadiannya sudah lama sekali," ucap perawatnya Eyang. "Menyelamatkan yang gimana?" tanya Eyang dengan mengerutkan alisnya. "Mungkin Eyang lupa karena faktor usia, tapi saya masih ingat. Waktu itu kalau nggak salah kita ke rumah sakit untuk cek up kesehatan Eyang. Selang oksigen Eyang kebetulan belum saya lepas tapi kursi roda Eyang sudah turun dari mobil. Waktu mobil mau jalan untung Mbak Lilyah tahu lalu mobil Eyang diteriaki Mbak Lilyah biar berhenti.""Benarkah?!" Kepala perawat itu mengangguk tegas, "Kalau bukan karena Mbak Lilyah, mungkin Eyang bisa jatuh dari kursi roda atau terseret bersamaan dengan kursi roda." Eyang nampak mengingat-ingat kejadian lama itu. "Apa Eyang ingat?"Kepala Eyang menggeleng, "Eyang lupa, kebanyakan ke rumah sakit sampai lupa yang mana.""Tapi saya masih ingat banget, Eyang. Makanya dari tadi Mbak Lilyah saya perhatiin kayak pernah kenal. Dan ternyata emang pernah bertemu. Bahka