enjoy reading ...
"Jangan nekat kalau butuh apa-apa, kamu cukup tekan tombol hijau itu lalu bilang sama perawat."Lois berucap dengan wajah sedekat ini dengan wajahku. Belum lagi kedua tangannya masih bertumpu di kanan kiri tubuhku di ranjang pesakitan yang kududuki. Tubuhku seperti dipenjara Lois dengan cara yang elegan dan manis. Aku merasa diterbangkan ke langit namun tidak siap andai kembali dijatuhkan ke bumi. "Aku berangkat ke Bandung dulu. Kalau boring di kamar sendirian, kamu bisa telfon Gia dan Nina, biar mereka jengukin kamu kesini." Kedua alisku berkerut mendengar ucpannya, "Gimana caranya kamu bisa tahu kalau Gia dan Nina itu sahabatku?" "Rahasia umum." "Kamu mengintai gerak-gerikku?" "Pekerjaanku terlalu padat untuk ngawasin kamu. Jadi, jangan besar rasa." Aku menghela nafas panjang lalu kemudian membuang muka. Memangnya, aku ini sespesial apa sampai berharap Lois mengintai gerak gerikku? Benar katanya, aku terlalu besar rasa dengan menganggapnya mencintaiku. Bodohnya aku ini."Kal
Baru memasuki gerbang kawasan perumahan parlente ini, kami sudah dihadang oleh tiga orang satpam yang meminta kartu identitas pemilik rumah. Asisten Lois, Pak Wawan, segera mengangsurkan sebuah kartu lalu satpam itu mencocokkannya dengan mesin pengecek otomatis. Bahwa tidak boleh ada orang tanpa kartu identitas yang boleh masuk ke kawasan perumahan ini bila tidak memiliki kartu pengenal khusus. Ketika mobil MPV premium ini kembali dilajukan oleh sopir, Lois masih memejamkan mata dengan erat. Selelah itukah dirinya? "Permisi, Pak Wawan, kita mau kemana ya?" tanyaku dengan suara pelan. Pak Wawan hanya tersenyum tipis. "Nanti Mbak Lilyah akan tahu sendiri." "Tapi, Lois masih tidur." "Tidak apa-apa, Mbak. Den Mas mungkin kelelahan dengan aktivitas di pabrik dan sudah ketentuan dokter jika beliau sudah lepas dari pekerjaan harus segera tidur." Alisku sedikit berkerut mendengar penuturan Pak Wawan. "Ehm ... apa Lois memiliki gangguan kesehatan?" "Ceritanya panjang, Mbak. Kita
Di rumah Lois yang tidak megah namun segala fasilitas ada, aku mendadak seperti putri mahkota yang mendapat banyak kenyamanan. Baru bangun tidur saja, sudah ada susu yang disiapkan Lois. Sudah ada pelayan yang membersihkan dan merapikan kamarku. Bahkan jika mau, aku tinggal menunjuk mana pakaian yang akan kukenakan lalu mereka akan mengambilkannya. “Saya bisa ambil baju sendiri, Bu Sri.” “Apa Mbak Lilyah sudah sehat sungguhan? Kalau belum sehat, pelayan bisa mengambilkannya.” “Saya udah lebih baik, Bu Sri,” ucapku sambil duduk di tepi ranjang. “Kalau belum sehat lebih baik Mbak Lilyah bilang. Kalau ada apa-apa nanti saya takut Den Mas Lubis marah besar,” jelasnya dengan wajah khawatir. “Saya benar-benar udah jauh lebih baik, Bu Sri.” Akan mandi saja, pelayan rumah ini sudah menyiapkan air hangat di dalam bath up beserta aromaterapi dan bunga di dalamnya. “Bu Sri tidak perlu repot-repot. Saya bisa menyiapkan airnya sendiri.” “Sudah kewajiban pelayan, Mbak. Jangan merasa tidak
“Aku pernah janji ke Lois. Kalau dia bantuin aku nyari tahu kebenaran siapa pemfitnah foto dan video syurku, aku janji nggak akan balik ke Ishak. Tapi, begitu kenyataan terungkap, aku malah ingkar janji karena masih cinta Ishak.” Bu Sri menatapku penuh keterkejutan. “Aku ninggalin Lois demi Ishak didepan mata Lois langsung, Bu Sri. Itu kesalahan terbodohku.” “Astaga, Mbak Lilyah. Lalu, kenapa kalian masih bisa bersama setelah pengkhianatan itu?” “Karena Lois nggak pernah menjatuhkan talaknya meski aku berkhianat.” “Baru kali ini Bu Sri tahu Den Mas Lubis sesabar ini, Mbak." Kepalaku mengangguk, "Dia sangat sabar menghadapiku dan sangat sabar meremukkan hatiku dengan cara yang dia mau." "Mbak Lilyah nggak boleh bilang gitu." Kepalaku kembali mengangguk saja karena sadar akan kesalahan diri sendiri. "Kalau boleh tahu, apa alasan Den Mas berbuat gitu, Mbak?” “Dia pengen lihat aku nggak bisa sama lelaki manapun. Dia pengen lihat aku tersiksa nggak bisa bersama lelaki yang kucinta
21.45 WIB "Udah malam banget ternyata. Tapi kenapa Lois belum pulang juga?" gumamku sambil menatap keluar jendela. Aku tengah bersantai di sofa ruang kerja Lois sambil menikmati home theatre yang ada di sini. Lengkap dan terhubung dengan segala macam siaran. Sejak tadi siang aku sudah berdiam di sini sambil menghabiskan waktu. Cukup membosankan karena biasanya mulai pagi hingga siang aku sibuk bekerja, bukan sibuk menonton drama atau film action hingga sebosan ini rasanya. "Enaknya dichat duluan atau nunggu Lois ngechat duluan ya?" Gengsi rasanya jika aku harus mulai menghubunginya lebih dulu apalagi hanya sekedar bertanya pukul berapa dia pulang. "Kayak aku tuh bucin banget. Belum lagi kalau nanti dia ngolok-ngolok aku karena ketahuan peduli banget. Ah ... nggak jadi aja lah." Aku kembali meletakkan ponsel di meja kemudian tepat pukul sepuluh malam, ketukan di pintu ruang kerja membuatku menoleh. Bu Sri pelakunya. "Kenapa, Bu Sri?" Ia berjalan sopan ke arahku. "Maaf, Mbak L
"Buka pintu lemarinya dulu," ucap Lois pelan sambil menuntun tangan kananku melakukannya. Usai terbuka, dia kembali menuntun tanganku masuk ke dalam lemari. Tepatnya di belakang baju yang terlipat ada sebuah kotak kecil berwarna coklat dengan uliran angka stainless di depannya. Mirip brankas mini. "Sekarang tekan sandinya seperti instruksiku," ucapnya lagi persis di depan telingaku. Tapi kini, tangan kanan dan kiri Lois justru bertengger di pinggangku. Sesekali ibu jarinya bergerak pelan seperti memberi usapan lembut. Badanku mendadak panas dingin, geli, dan jantungku seperti bekerja diluar kewajaran. "Delapan enam tujuh satu tiga empat dua enam," ucap Lois lirih. Dengan posisi punggungku menempel sempurna di dadanya dan wajahnya yang berada tepat di sebelah kanan wajahku, mana mungkin aku bisa berkonsentrasi. Tit! Tit! Tit! "Ke ... kenapa nggak mau lanjut, Lois?" tanyaku dengan hanya melirik wajahnya saja. "Kamu salah nekan angka, Ly." "Oh ... " "Kenapa bisa salah padahal u
Pak Wahyu menatap Pak Presdir dengan sorot sedikit bingung dan ponsel masih menempel di telinga. Entah Lois berkata apa pada asisten Romonya itu. "Baik, Den Mas. Baik." Kemudian Pak Wahyu mendekat ke sebelah kanan Pak Presdir dengan membawa ponselnya. "Maaf, Pak Presdir. Den Mas ingin berbicara. Penting sekali katanya." Alis Pak Presdir sedikit berkerut lalu mengambil ponsel Pak Wahyu yang diulurkan dengan begitu sopan. "Halo, Lubis?" " ... " Aku hanya bisa memandang Pak Presdir dengan tatapan harap-harap cemas. Ya Tuhan, apa yang Lois katakan sekarang? Lalu kedua mata Pak Presdir menatapku dengan sorot tajam hingga aku memutuskan menundukkan pandangan dan menelan saliva bulat-bulat. "Apa istimewa perempuan kotor yang ada di hadapanku ini sampai kamu bela mati-matian, Lubis?" tanya Pak Presdir dengan nada ketus. Kepalaku masih menunduk sedang Pak Presdir terus menatapku dengan ponsel yang masih terhubung dengan Lois yang sudah berada jauh di sana. " ... " "Kamu benar-benar
“Oke. Take your time, Ly.” Usai Lois berucap dengan nada pasrah, aku segera menuju kamar lalu menutup pintu sesegera mungkin. Kusandarkan tubuh di pintu kamar hingga raga ini merosot lalu terduduk di lantai. Dengan tangan menyentuh dada yang terasa begitu sesak menjalani takdir hidup seperti roller coaster, air mataku kembali berurai mengingat ancaman Pak Presdir dan istrinya. Jika mereka memaksaku agar meminta cerai dari Lois, lalu apa yang harus kulakukan jika Lois sendiri memberiku ancaman yang sama tidak main-mainnya jika berani meminta cerai? Pak Presdir memaksa kami bercerai sedang Lois memaksaku untuk bertahan dengan pernikahan ini. Lalu apa yang harus kulakukan? *** Kesedihan yang menggulung hati rupanya membuatku kelelahan hingga tidak sadar tertidur di lantai kamar. Lalu aku terjaga begitu merasakan tubuh ini melayang pelan begitu saja. Begitu aku membuka mata pelan dan menoleh untuk mencari tahu ada apa, wajahku sudah berada di depan pundak Lois. "Jangan tidur di la