enjoy reading ...
Baru memasuki gerbang kawasan perumahan parlente ini, kami sudah dihadang oleh tiga orang satpam yang meminta kartu identitas pemilik rumah. Asisten Lois, Pak Wawan, segera mengangsurkan sebuah kartu lalu satpam itu mencocokkannya dengan mesin pengecek otomatis. Bahwa tidak boleh ada orang tanpa kartu identitas yang boleh masuk ke kawasan perumahan ini bila tidak memiliki kartu pengenal khusus. Ketika mobil MPV premium ini kembali dilajukan oleh sopir, Lois masih memejamkan mata dengan erat. Selelah itukah dirinya? "Permisi, Pak Wawan, kita mau kemana ya?" tanyaku dengan suara pelan. Pak Wawan hanya tersenyum tipis. "Nanti Mbak Lilyah akan tahu sendiri." "Tapi, Lois masih tidur." "Tidak apa-apa, Mbak. Den Mas mungkin kelelahan dengan aktivitas di pabrik dan sudah ketentuan dokter jika beliau sudah lepas dari pekerjaan harus segera tidur." Alisku sedikit berkerut mendengar penuturan Pak Wawan. "Ehm ... apa Lois memiliki gangguan kesehatan?" "Ceritanya panjang, Mbak. Kita
Di rumah Lois yang tidak megah namun segala fasilitas ada, aku mendadak seperti putri mahkota yang mendapat banyak kenyamanan. Baru bangun tidur saja, sudah ada susu yang disiapkan Lois. Sudah ada pelayan yang membersihkan dan merapikan kamarku. Bahkan jika mau, aku tinggal menunjuk mana pakaian yang akan kukenakan lalu mereka akan mengambilkannya. “Saya bisa ambil baju sendiri, Bu Sri.” “Apa Mbak Lilyah sudah sehat sungguhan? Kalau belum sehat, pelayan bisa mengambilkannya.” “Saya udah lebih baik, Bu Sri,” ucapku sambil duduk di tepi ranjang. “Kalau belum sehat lebih baik Mbak Lilyah bilang. Kalau ada apa-apa nanti saya takut Den Mas Lubis marah besar,” jelasnya dengan wajah khawatir. “Saya benar-benar udah jauh lebih baik, Bu Sri.” Akan mandi saja, pelayan rumah ini sudah menyiapkan air hangat di dalam bath up beserta aromaterapi dan bunga di dalamnya. “Bu Sri tidak perlu repot-repot. Saya bisa menyiapkan airnya sendiri.” “Sudah kewajiban pelayan, Mbak. Jangan merasa tidak
“Aku pernah janji ke Lois. Kalau dia bantuin aku nyari tahu kebenaran siapa pemfitnah foto dan video syurku, aku janji nggak akan balik ke Ishak. Tapi, begitu kenyataan terungkap, aku malah ingkar janji karena masih cinta Ishak.” Bu Sri menatapku penuh keterkejutan. “Aku ninggalin Lois demi Ishak didepan mata Lois langsung, Bu Sri. Itu kesalahan terbodohku.” “Astaga, Mbak Lilyah. Lalu, kenapa kalian masih bisa bersama setelah pengkhianatan itu?” “Karena Lois nggak pernah menjatuhkan talaknya meski aku berkhianat.” “Baru kali ini Bu Sri tahu Den Mas Lubis sesabar ini, Mbak." Kepalaku mengangguk, "Dia sangat sabar menghadapiku dan sangat sabar meremukkan hatiku dengan cara yang dia mau." "Mbak Lilyah nggak boleh bilang gitu." Kepalaku kembali mengangguk saja karena sadar akan kesalahan diri sendiri. "Kalau boleh tahu, apa alasan Den Mas berbuat gitu, Mbak?” “Dia pengen lihat aku nggak bisa sama lelaki manapun. Dia pengen lihat aku tersiksa nggak bisa bersama lelaki yang kucinta
21.45 WIB "Udah malam banget ternyata. Tapi kenapa Lois belum pulang juga?" gumamku sambil menatap keluar jendela. Aku tengah bersantai di sofa ruang kerja Lois sambil menikmati home theatre yang ada di sini. Lengkap dan terhubung dengan segala macam siaran. Sejak tadi siang aku sudah berdiam di sini sambil menghabiskan waktu. Cukup membosankan karena biasanya mulai pagi hingga siang aku sibuk bekerja, bukan sibuk menonton drama atau film action hingga sebosan ini rasanya. "Enaknya dichat duluan atau nunggu Lois ngechat duluan ya?" Gengsi rasanya jika aku harus mulai menghubunginya lebih dulu apalagi hanya sekedar bertanya pukul berapa dia pulang. "Kayak aku tuh bucin banget. Belum lagi kalau nanti dia ngolok-ngolok aku karena ketahuan peduli banget. Ah ... nggak jadi aja lah." Aku kembali meletakkan ponsel di meja kemudian tepat pukul sepuluh malam, ketukan di pintu ruang kerja membuatku menoleh. Bu Sri pelakunya. "Kenapa, Bu Sri?" Ia berjalan sopan ke arahku. "Maaf, Mbak L
"Buka pintu lemarinya dulu," ucap Lois pelan sambil menuntun tangan kananku melakukannya. Usai terbuka, dia kembali menuntun tanganku masuk ke dalam lemari. Tepatnya di belakang baju yang terlipat ada sebuah kotak kecil berwarna coklat dengan uliran angka stainless di depannya. Mirip brankas mini. "Sekarang tekan sandinya seperti instruksiku," ucapnya lagi persis di depan telingaku. Tapi kini, tangan kanan dan kiri Lois justru bertengger di pinggangku. Sesekali ibu jarinya bergerak pelan seperti memberi usapan lembut. Badanku mendadak panas dingin, geli, dan jantungku seperti bekerja diluar kewajaran. "Delapan enam tujuh satu tiga empat dua enam," ucap Lois lirih. Dengan posisi punggungku menempel sempurna di dadanya dan wajahnya yang berada tepat di sebelah kanan wajahku, mana mungkin aku bisa berkonsentrasi. Tit! Tit! Tit! "Ke ... kenapa nggak mau lanjut, Lois?" tanyaku dengan hanya melirik wajahnya saja. "Kamu salah nekan angka, Ly." "Oh ... " "Kenapa bisa salah padahal u
Pak Wahyu menatap Pak Presdir dengan sorot sedikit bingung dan ponsel masih menempel di telinga. Entah Lois berkata apa pada asisten Romonya itu. "Baik, Den Mas. Baik." Kemudian Pak Wahyu mendekat ke sebelah kanan Pak Presdir dengan membawa ponselnya. "Maaf, Pak Presdir. Den Mas ingin berbicara. Penting sekali katanya." Alis Pak Presdir sedikit berkerut lalu mengambil ponsel Pak Wahyu yang diulurkan dengan begitu sopan. "Halo, Lubis?" " ... " Aku hanya bisa memandang Pak Presdir dengan tatapan harap-harap cemas. Ya Tuhan, apa yang Lois katakan sekarang? Lalu kedua mata Pak Presdir menatapku dengan sorot tajam hingga aku memutuskan menundukkan pandangan dan menelan saliva bulat-bulat. "Apa istimewa perempuan kotor yang ada di hadapanku ini sampai kamu bela mati-matian, Lubis?" tanya Pak Presdir dengan nada ketus. Kepalaku masih menunduk sedang Pak Presdir terus menatapku dengan ponsel yang masih terhubung dengan Lois yang sudah berada jauh di sana. " ... " "Kamu benar-benar
“Oke. Take your time, Ly.” Usai Lois berucap dengan nada pasrah, aku segera menuju kamar lalu menutup pintu sesegera mungkin. Kusandarkan tubuh di pintu kamar hingga raga ini merosot lalu terduduk di lantai. Dengan tangan menyentuh dada yang terasa begitu sesak menjalani takdir hidup seperti roller coaster, air mataku kembali berurai mengingat ancaman Pak Presdir dan istrinya. Jika mereka memaksaku agar meminta cerai dari Lois, lalu apa yang harus kulakukan jika Lois sendiri memberiku ancaman yang sama tidak main-mainnya jika berani meminta cerai? Pak Presdir memaksa kami bercerai sedang Lois memaksaku untuk bertahan dengan pernikahan ini. Lalu apa yang harus kulakukan? *** Kesedihan yang menggulung hati rupanya membuatku kelelahan hingga tidak sadar tertidur di lantai kamar. Lalu aku terjaga begitu merasakan tubuh ini melayang pelan begitu saja. Begitu aku membuka mata pelan dan menoleh untuk mencari tahu ada apa, wajahku sudah berada di depan pundak Lois. "Jangan tidur di la
Sesuai perjanjian dengan Lois semalam, aku menurut kala ia memutuskan agar aku tetap berada di rumahnya. Tidak kembali bekerja dengan alasan aku sakit.Hanya menghabiskan waktu dengan menonton film melalui siaran berbayar unlimited sambil menghubungi Gia. "Lo nggak masuk lagi, Ly?" "Gue masih kurang enak badan, Gi." Padahal aku sedang merebahkan diri di sofa ruang kerja Lois yang empuk sambil menghidupkan layar televisi yang menampilkan film action baru rilis. "Entar gue jengukin sama Nina habis pulang kerja." Aku langsung terbangun dengan wajah terkejut. "Jangan! Eh ... maksud gue jangan sekarang, Gi." "Ya iyalah nggak sekarang tapi nanti sore." "Bu ... bukan itu. Maksud gue ... eh ... nanti sore kayaknya gue ... mau periksa. Iya, gue mau periksa." Bagaimana mungkin aku mengatakan dimana tempat tinggalku pada Gia dan Nina. Yang ada jika mereka tahu aku tinggal di cluster perumahan menengah ke atas dan tahu ini adalah rumah putra Pak Presdir, mungkin mereka bisa pingsan berdir
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.