enjoy reading ;;;;
"Gi, Nin, gue pamit dulu ya?" Lebih baik berpamitan pada kedua temanku ini jika tidak bisa kembali satu bis dengan mereka. Dari pada nanti mereka kembali memarahiku karena menghilang tanpa pesan. "Kemana, Ly?" tanyanya dengan nada heran. Kami sedang di toko oleh-oleh Malioboro bersama rombongan kantor. Aku membasahi bibir dengan mata mengerjap cepat berulang kali. "Ehm ... itu ... suami gue ... ternyata dia belum balik. Barusan ngirim pesan kalau dia pengen ngobrol bentar katanya," kilahku."Lama nggak? Soalnya satu jam lagi kata panitia kita harus balik ke hotel, Ly.""Ehm ... sebelum nanti malam, gue pastiin udah balik ke hotel biar bisa satu bis sama kalian." "Lo diantar suami ke hotel?" Kepalaku mengangguk sekenanya agar Gia dan Nina tidak curiga dengan kebohonganku. Bisa menjadi gossip menggelegar jika mereka tahu bila aku akan bertemu dengan Pak Presdir.Lalu kepala Gia dan Nina melongok ke keluar toko untuk mencari sosok suamiku yang sebenarnya tidak ada. Itu hanya keboho
"Permisi, Pak Presdir. Saya undur diri." Usai mengucap salam dan membungkuk hormat pada beliau, aku melangkah keluar lounge dengan sesak di dada. Persetan dengan cek setengah milyar yang kukembalikan pada beliau. Di tengah langkah kaki, mana yang harus kupilih? Tetap bertahan dengan pernikahan ini seperti keinginan Lois atau mengakhirinya sesuai permintaan Pak Presdir? *** Tepat pukul dua siang, aku sudah berada di hotel menggunakan ojek online. Lalu segera menuju kamar Lois karena di sanalah tasku berada. Aku segera mengemasi semua pakaian ke dalam tas lalu meninggalkan kamar itu. Rencananya pukul tiga sore kami harus meninggalkan hotel dan langsung bertolak ke Ibu Kota. Sembari menunggu Gia dan Nina yang mungkin sedang mengemasi pakaiannya, aku menunggu kedatangan mereka di lobby hotel. Tidak berapa lama kemudian, satu demi satu rombongan keluar dari kamar menuju bis masing-masing. "Gimana, Ly? Suami lo ngomong apaan?" tanya Nina. Aku tersenyum tipis, "Antara cerai atau
Sejak tadi aku pura-pura terlelap padahal telingaku bisa mendengar apa yang Lois bicarakan dengan asistennya. Kadang suara mereka terdengar jelas kadang terdengar samar hingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. "Baik, Den Mas. Saya akan pastikan ketika Mbak Lilyah sudah keluar dari rumah sakit, semuanya sudah siap sesuai keinginan Den Mas. Jangan khawatir." "Mungkin dua hari lagi Lilyah bisa pulang. Jangan lupa ambil Bu Sri. Terserah Pak Wawan mau pakai alasan apa kalau kepala pelayan tanya." Kepala pelayan? Maksudnya apa? "Baik, Den Mas. Malam ini juga saya akan menyusun rencananya." "Bagus. Oke, sementara itu aja. Pak Wawan bisa kembali pulang. Terima kasih untuk semuanya. Aku bangga punya asisten kayak Pak Wawan." Pak Wawan membungkuk hormat di hadapan Lois. "Sama-sama, Den Mas. Saya juga senang bisa melayani Den Mas. Suatu kehormatan bisa mengabdi pada keluarga Hartadi yang berjasa banyak pada keluarga saya." Pernah kah kalian melihat seorang kasim yang setia pada p
"Jangan nekat kalau butuh apa-apa, kamu cukup tekan tombol hijau itu lalu bilang sama perawat."Lois berucap dengan wajah sedekat ini dengan wajahku. Belum lagi kedua tangannya masih bertumpu di kanan kiri tubuhku di ranjang pesakitan yang kududuki. Tubuhku seperti dipenjara Lois dengan cara yang elegan dan manis. Aku merasa diterbangkan ke langit namun tidak siap andai kembali dijatuhkan ke bumi. "Aku berangkat ke Bandung dulu. Kalau boring di kamar sendirian, kamu bisa telfon Gia dan Nina, biar mereka jengukin kamu kesini." Kedua alisku berkerut mendengar ucpannya, "Gimana caranya kamu bisa tahu kalau Gia dan Nina itu sahabatku?" "Rahasia umum." "Kamu mengintai gerak-gerikku?" "Pekerjaanku terlalu padat untuk ngawasin kamu. Jadi, jangan besar rasa." Aku menghela nafas panjang lalu kemudian membuang muka. Memangnya, aku ini sespesial apa sampai berharap Lois mengintai gerak gerikku? Benar katanya, aku terlalu besar rasa dengan menganggapnya mencintaiku. Bodohnya aku ini."Kal
Baru memasuki gerbang kawasan perumahan parlente ini, kami sudah dihadang oleh tiga orang satpam yang meminta kartu identitas pemilik rumah. Asisten Lois, Pak Wawan, segera mengangsurkan sebuah kartu lalu satpam itu mencocokkannya dengan mesin pengecek otomatis. Bahwa tidak boleh ada orang tanpa kartu identitas yang boleh masuk ke kawasan perumahan ini bila tidak memiliki kartu pengenal khusus. Ketika mobil MPV premium ini kembali dilajukan oleh sopir, Lois masih memejamkan mata dengan erat. Selelah itukah dirinya? "Permisi, Pak Wawan, kita mau kemana ya?" tanyaku dengan suara pelan. Pak Wawan hanya tersenyum tipis. "Nanti Mbak Lilyah akan tahu sendiri." "Tapi, Lois masih tidur." "Tidak apa-apa, Mbak. Den Mas mungkin kelelahan dengan aktivitas di pabrik dan sudah ketentuan dokter jika beliau sudah lepas dari pekerjaan harus segera tidur." Alisku sedikit berkerut mendengar penuturan Pak Wawan. "Ehm ... apa Lois memiliki gangguan kesehatan?" "Ceritanya panjang, Mbak. Kita
Di rumah Lois yang tidak megah namun segala fasilitas ada, aku mendadak seperti putri mahkota yang mendapat banyak kenyamanan. Baru bangun tidur saja, sudah ada susu yang disiapkan Lois. Sudah ada pelayan yang membersihkan dan merapikan kamarku. Bahkan jika mau, aku tinggal menunjuk mana pakaian yang akan kukenakan lalu mereka akan mengambilkannya. “Saya bisa ambil baju sendiri, Bu Sri.” “Apa Mbak Lilyah sudah sehat sungguhan? Kalau belum sehat, pelayan bisa mengambilkannya.” “Saya udah lebih baik, Bu Sri,” ucapku sambil duduk di tepi ranjang. “Kalau belum sehat lebih baik Mbak Lilyah bilang. Kalau ada apa-apa nanti saya takut Den Mas Lubis marah besar,” jelasnya dengan wajah khawatir. “Saya benar-benar udah jauh lebih baik, Bu Sri.” Akan mandi saja, pelayan rumah ini sudah menyiapkan air hangat di dalam bath up beserta aromaterapi dan bunga di dalamnya. “Bu Sri tidak perlu repot-repot. Saya bisa menyiapkan airnya sendiri.” “Sudah kewajiban pelayan, Mbak. Jangan merasa tidak
“Aku pernah janji ke Lois. Kalau dia bantuin aku nyari tahu kebenaran siapa pemfitnah foto dan video syurku, aku janji nggak akan balik ke Ishak. Tapi, begitu kenyataan terungkap, aku malah ingkar janji karena masih cinta Ishak.” Bu Sri menatapku penuh keterkejutan. “Aku ninggalin Lois demi Ishak didepan mata Lois langsung, Bu Sri. Itu kesalahan terbodohku.” “Astaga, Mbak Lilyah. Lalu, kenapa kalian masih bisa bersama setelah pengkhianatan itu?” “Karena Lois nggak pernah menjatuhkan talaknya meski aku berkhianat.” “Baru kali ini Bu Sri tahu Den Mas Lubis sesabar ini, Mbak." Kepalaku mengangguk, "Dia sangat sabar menghadapiku dan sangat sabar meremukkan hatiku dengan cara yang dia mau." "Mbak Lilyah nggak boleh bilang gitu." Kepalaku kembali mengangguk saja karena sadar akan kesalahan diri sendiri. "Kalau boleh tahu, apa alasan Den Mas berbuat gitu, Mbak?” “Dia pengen lihat aku nggak bisa sama lelaki manapun. Dia pengen lihat aku tersiksa nggak bisa bersama lelaki yang kucinta
21.45 WIB "Udah malam banget ternyata. Tapi kenapa Lois belum pulang juga?" gumamku sambil menatap keluar jendela. Aku tengah bersantai di sofa ruang kerja Lois sambil menikmati home theatre yang ada di sini. Lengkap dan terhubung dengan segala macam siaran. Sejak tadi siang aku sudah berdiam di sini sambil menghabiskan waktu. Cukup membosankan karena biasanya mulai pagi hingga siang aku sibuk bekerja, bukan sibuk menonton drama atau film action hingga sebosan ini rasanya. "Enaknya dichat duluan atau nunggu Lois ngechat duluan ya?" Gengsi rasanya jika aku harus mulai menghubunginya lebih dulu apalagi hanya sekedar bertanya pukul berapa dia pulang. "Kayak aku tuh bucin banget. Belum lagi kalau nanti dia ngolok-ngolok aku karena ketahuan peduli banget. Ah ... nggak jadi aja lah." Aku kembali meletakkan ponsel di meja kemudian tepat pukul sepuluh malam, ketukan di pintu ruang kerja membuatku menoleh. Bu Sri pelakunya. "Kenapa, Bu Sri?" Ia berjalan sopan ke arahku. "Maaf, Mbak L