"Ibu, apa kita akan ke rumah Nenek?" tanya Zahra.
"Iya sayang," jawabku dengan tersenyum. Sebelah tanganku membawa sebuah rantang yang berisi makanan yang sudah aku siapkan untuk mertuaku. Selama ini, walaupun kondisi keuanganku tidak baik-baik saja, tetapi aku selalu rutin mengantarkan makanan ke rumah ibu mertuaku. Ibu mertua yang hanya hidup seorang diri, membuatku selalu memberikan perhatian-perhatian kecil. Aku mengerutkan kening saat melihat mobil yang sangat tidak asing di mataku. Mobil milik suamiku, yang beberapa jam lalu berpamitan hendak pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Namun, kini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, jika mobil suamiku terparkir dengan rapi di halaman rumah mertuaku. '𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘔𝘢𝘴 𝘌𝘥𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪?' Tidak ingin menebak-nebak, aku akhirnya memilih mengetuk pintu rumah mertuaku yang terlihat sepi dengan pintu tertutup. "Ni-Nia!" Ibu mertuaku terlihat begitu terkejut saat membuka pintu dan melihatku berdiri di hadapannya. Nia yang melihat mertuanya, seketika menyalami tangan tua yang terlihat keriput. Nia sudah menganggap Ratmini sebagai ibunya sendiri, walaupun tak jarang, Ratmin selalu melontarkan kata-kata menyakitkan untuk dirinya. "Apa ada Mas Edi di dalam, Bu?" tanya Nia. "A-ada," jawab Ratmini dengan suara gugup. Nia bahkan dapat melihat wajah pucat mertuanya, entah apa yang saat ini tengah di tutupi oleh mertuanya. Nia tidak ingin berpikir terlalu jauh dan Nia tidak ingin berpikir yang tidak-tidak kepada mertuanya. Nia mengelus kepada putrinya yang saat ini berada di dalam gendongannya. "Bukankah Mas Edi akan ke luar kota untuk beberapa hari? Lalu kenapa sekarang ada di rumah Ibu?" tanya Nia kembali. "Memang kenapa jika putraku mengunjungi orang tuanya sendiri? Kamu jangan pernah melarang Edi untuk datang ke sini, Nia!" seru Ratmini. Nia dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Bukan Bu. Bukan maksud Nia seperti itu, tetapi Mas Edi saat pagi tadi mengatakan akan pergi keluar kota, dan ini sudah siang, tetapi Mas Edi ternyata ada di rumah Ibu," jelas Nia. "Aku yang menyuruhnya untuk datang ke sini!" Ratmini berkacak pinggang menatap Nia dengan tatapan tidak suka. "Maaf, Bu. Maaf jika ucapan Nia membuat Ibu salah paham." Ya, seperti itulah seorang Nia. Dia akan lebih memilih untuk mengalah dari pada berdebat dengan mertuanya. Nia tidak suka dengan pertengkaran, sehingga selama ini ia selalu meminta maaf atas kesalahan atau pun bukan kesalahan dirinya. "Edi! Edi!" panggil Ratmini dengan suara yang cukup lantang. "Ada apa sih, Bu ...." Edi menghentikan ucapannya, bola matanya seketika melotot menatap Nia, istrinya yang saat ini berdiri di hadapan ibunya. "Nia!" lirih Edi. "Mas ... tadi bukankah kamu mengatakan akan keluar kota? Kenapa jam segini kamu masih di rumah Ibu? Apa kamu tidak akan terkena masalah?" tanya Nia. "A-anu ...." Edi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia benar-benar tidak menyangka dengan kedatangan istrinya hari ini. Keringat sebesar biji jagung memenuhi dahi Edi. Dia tak tau saat ini harus memberikan alasan apa kepada sang istri. Di dalam hatinya, Edi tak henti-hentinya merutuki kedatangan Nia yang secara mendadak. "Tidak sayang. Mas sudah meminta izin kepada atasan Mas untuk datang terlambat. Tadi saat di jalan, Ibu menelpon dan meminta Mas untuk menemaninya sebentar. Ibu saat ini sedang merasa sedih karna teringat degan almarhum Ayah, " jelas Edi dengan suara yang terdengar masih gugup. Nia bahkan dapat melihat gerakan tubuh suaminya yang terlihat begitu gelisah. Entah apa yang membuat laki-laki tersebut seperti ini dan Nia lagi-lagi mencoba untuk berpikir positif. "Aku mengantarkan makanan untuk Ibu. Apa Ibu dan Mas sudah makan siang?" tanya Nia dengan menatap kedua orang yang berada di hadapannya secara bergantian. "Biasanya kamu suka mengantarkan makanan untuk Ibu saat hari minggu," sahut Ratmini. Saat ini wajah yang masih terlihat muda tersebut menatap Nia dengan tatapan tidak suka. "Kebetulan Nia masak banyak, Bu ... jadi Nia ingat untuk mengantarkan makanan ke sini," jelas Nia kembali. Ratmin dengan cepat meraih rantang yang ada di tangan Nia secara kasar. Nia hanya bisa menggelengkan kepalanya menatap sikap mertuanya. Bukan lagi hal aneh yang Nia dapatkan, dia kerap kali mendapatkan perlakuan ketus dan ucapan pedas yang terlontar dari bibir wanita yang berumur tak lagi muda tersebut. "Ini Ibu terima dan sana kamu, cepat pulang. Kasihan Zahra panas-panasan seperti ini kamu bawa ke sini," usir Ratmini kepada Nia. Nia menatap putrinya yang saat ini ternyata sudah terlelap dalam gendongannya. Benar, saat ini cuaca begitu terik dan Nia nekat membawa Zahra berjalan cukup jauh ke rumah mertuanya. Nia mengelus rambut Zahra dengan begitu sayang. "Zahra ternyata tidur, Bu. Lebih baik Nia tidurkan Zahra terlebih dahulu dan nanti saat Zahra sudah terbangun, Nia akan pulang," ucap Nia. Ratmini seketika panik mendengar ucapan menantunya. Tak berbeda jauh dengan Ratmini, saat ini Edi tengah berpikir dengan keras bagaimana caranya membuat istrinya pergi dari rumah sang ibu. Otak pintar yang biasanya selalu menemukan alasan, kini entah kenapa mendadak Edi tak bisa berpikir. "Nia akan tidurkan Zahra di sofa kok, Bu," ucap Nia kembali saat ia tak kunjung mendapatkan jawaban dari mertuanya. "Ibu pingin istirahat dan Edi akan pergi bekerja. Ibu tidak mau jika istirahat Ibu akan terganggu dengan suara tangis Zahra," sahut Ratmini dengan cepat. Nia mendengar hembusan napas dari suaminya. Nia cukup bingung dengan situasi saat ini, hanya saja Nia mencoba untuk tetap diam dan berpikir macam-macam, walaupun sikap kedua orang di hadapannya begitu sangat mencurigakan. "Lebih baik kamu pulang saja. Kasihan Zahra jika harus tidur di sofa dan itu tidak akan membuat Zahra nyaman," timpal Edi.DEGTubuh Nia mematung saat melihat seorang wanita yang tengah bergelayut di lengan suaminya. Ingin menanyakan siapa sosok perempuan tersebut, tetapi suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Nia hanya bisa memandangi sang suami dan wanita tersebut secara bergantian. Ingin sekali Nia menepis semua fikiran-fikiran buruk yang sudah memenuhi isi kepalanya, tetapi lagi-lagi bukti nyata yang ia lihat saat ini semakin memperkuat tudahan tersebut. Air mata semakin mengalir deras di sudut matanya menyaksikan perempuan lain sedang bergelayut manjan di lengan suaminya."Wanita itu siapa, sayang?" tanya perempuan tersebut kepada Edi."Emm ... Emm ... Anu." Edi terlihat tampak bingung untuk menjawab. Berulang kali Edi melirik ke arah sang ibu, berharap Ratmini membantu dirinya di saat keadaan terjepit seperti ini.Sedangkan perempuan tersebut semakin di buat penasaran karna ia tak kunjung mendapatkan jawaban dari Ratmini maupun Edi. Perempuan tersebut akhirnya memilih bertanya langsung kepada N
"Semua sudah terjadi, Nia. Mau bagaimana pun Riri saat ini sudah menjadi Isriku dan saat ini Riri tengah mengandung anakku," jelas Edi.DEGKedua kaki Nia terasa lemas, ia tak mampu menopang beban berat tubuhnya. Nia menatap nanar ke arah suaminya, suami yang selama ini sangat di cintai oleh Nia dan suami yang selama ini selalu Nia banggakan di depan keluarganya tetapi nyatanya kini suaminya sendiri lah yang sudah menorehkan luka terdalam di hatinya. Nia segera menghapus buliran bening yang menetes di pipinya, Nia akan memberikan dua pilihan untuk suaminya dan setelah itu Nia akan mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan putrinya Gea."Kamu pilih aku atau dia?" tunjuk Nia ke arah Riri dan hal tersebut membuat Ratmini yang sebelumnya berwajah pucat kini tergantikan oleh wajah me-merah karna emosi."Apa maksudnya kamu menyuruh anakku memilih! Se-cantik apa dirimu sehingga harus membua Edi memilih kamu!" Ratimini memandang penampilan Nia dari ujung kaki hingga kepala dengan tat
Tak terasa angkot yang di tumpangi oleh Nia telah berhenti tepat di depan rumahnya. Nia lantas turun dan membayar angkot tersebut. Nia harus mengambil Gea yang ia titipkan di tetangga samping rumahnya. TOK! TOK! TOK! "Kamu sudah pulang ternyata, saya kira siapa pake acara ketuk pintu segala," ucap bu Rani. "Sudah Bu, terima kasih sudah menjaga Gea," ujar Nia. "Sama-sama. Lagian Ibu itu seneng di titipin Gea, dia anaknya nggak rewel juga." "Mata kamu bengkak seperti orang habis menangis, kenapa?" tanya bu Rani. "Tidak apa-apa Bu, tadi hanya kelilipan debu saja," kilah Nia. "Saya ambil Gea ya Bu, sekali lagi terima kasih sudah mau di titipkan Gea." Nia lantas berjalan meninggalkan rumah bu Rani dan menuju ke rumahnya. Rasa sesak di dadanya hingga saat ini masih terasa. Rasanya semua ini seperti mimpi di siang bolong, mimpi yang terasa sangat nyata dan membuatnya ingin segera terbangun. Nia merogoh tas selempangnya untuk mengambil kunci, setelah itu ia membuka pintu tersebut. I
Gea yang melihat Edi seketika turun dari pangkuan Nia, Gea merentangkan tangannya berharap untuk di peluk oleh sang Papa, tetapi kenyataannya Edi hanya mengelus kepala Gea lalu beranjak mendekat ke arah Nia. Nia yang melihat hal tersebut hatinya seketika berdenyut nyeri, Edi-suaminya kini telah berubah. Bukan hanya dirinya saja yang di sakiti oleh laki-laki tersebut, tetapi Gea putrinya yang tak memiliki dosa apapun ikut tersakiti oleh sikap Edi. Nia tersenyum getir ke arah suaminya, pandangannya mengisyaratkan luka mendalam bagi dirinya. "Nia, ada yang mau Mas bicarakan," ucap Edi mendudukan tubuhnya di kursi sebelah istrinya. "Ada apa?" tanya Nia. "Karna saat ini kamu sudah mengetahui semuanya, hari ini Riri akan tinggal bersama kita di sini," jelas Edi. Nia membulatkan matanya, Nia tak menyangka jika suaminya akan secepat ini membawa madunya ke dalam rumah yang di tempati dirinya bahkan Nia harus tinggal serumah dengan madunya tersebut. Nia menggelengkan kepalanya berulang kal
Pagi yang cerah tak secerah hati dan wajahNia saat ini. Sebab, baru saja keluar kamar, Nia melihat dengan kedua matanyasecara langsung bagaiaman suaminya berlaku sangat lembut kepada madunya. Bukanitu saja, berbagai makanan mewah tersaji di meja ruang tamu. Selama empattahun pernikahan dengan Edi, Nia bahkan tidak pernah sama sekali mencicipimakanan-makanan mewah seperti itu.‘Sabar, sabar….’ Lagi-lagi Nia hanya bisamengelus dadanya.Hari ini Nia tidak ingin melakukan apapun, selain sudahtidak mempunyai simpanan uang untuk memasak, Nia pun memang sengaja inginmenghidar dari kedua pasangan sejoli tersebut. Nia melirik ke arah jam dindingyang menunjukan pukul delapan lewat, Nia segera membawa Gea ke kamar mandiuntuk memandikan putrinya sekaligus Nia ingin mendinginkan pikirannya yangkembali memanas.Setelah selesai dengan ritual mandi bagi dirinya dan Gea,Nia memutuskan untuk mengajak Gea bermain di rumah tetangga sebelahnya.Sayangnya, daripada mengawasi anaknya bermain, N
"Berjualan?" Nia tampak berfikir dengan ide yang di berikan oleh wanita setengah baya yang ada di sampingnya, setelah itu Nia menggeleng dengan cepat. "Nia tidak bisa berjualan Bu, berjualan itu harus membutuhkan modal dan tempat yang stategis," jelas Nia. "Kalo masalah tempat, kamu bisa gunakan tempat yang Ibu punya di pasar," sahut bu Rani. "Lalu Nia harus berjualan apa Bu?" tanya Nia. Bu Rni terdiam, ia berfikir dengan bola mata bergerak ke kanan ke kiri hingga pandangannya tertuju ke atas meja. "Kamu jualan bubur saja, lagi pula kalo nggak salah di pasar itu belum ada yang berjualan bubur." "Kira-kira modal untuk jualan bubur berapa Bu?" tanya Nia. "Kurang lebih satu juta. Untuk peralatannya mungkin kamu punya panci di rumah dan mangkok-mangkok." Nia menganggukan kepalanya, senyum mengembang di wajahnya. Kini Nia hanya harus memikirkan bagaiamana caranya Nia mendapatkan uang satu juta untuk modalnya berjualan. Meminta kepada suaminya sepertinya sangat mustahil bagi Nia, m
Nia membalikan tubuhnya, setelah itu ia mulai melangkah kembali menuju kamar untuk menelpon sang adik dan membicarakan niatnya saat ini. Nia berharap jika adiknya tersebut akan memberikan dirinya pinjaman, jika tidak Nia tak tau lagi harus meminjam kepada siapa. Riri yang merasa di abaikan oleh Nia seketika menjadi emosi, ia mengepalkan tangannya ingin sekali rasanya Riri memberikan pelajaran kepada kakak madunya tersebut agar tak berlaku kurang ajar kepada dirinya. Menurut Riri jika saat ini dirinya lah yang lebih pantas bersanding dengan Edi dari pada Nia yanng hanya perempuan kampungan dengan penampilan yang memalukan. Riri yang melihat Edi di ambang pintu seketika memegangi perutnya dan memasang mimik muka kesakitan, ia berniat akan memberikan pelajaran kepada Nia sebab sudah mengabaikan kehadiran dirinya. Edi yang melihat Riri tengah meringis memegangi perutnya seketika berlari mendekat, wajah Edi terlihat sangat cemas saat melihat Riri istri keduanya tengah memegangi perut.
"Sudahlah Nia, tidak usah membela diri sendiri. Sejak awal memang kamu tidak menyukai Riri sehingga kamu dengan tega menyakiti dia," bentak Edi."Aku memang tidak menyukai dia. Tapi aku masih memiliki hati untuk tidak menyakiti janin yang tidak berdosa itu," jawab Nia."Kamu memang tidak menyakiti calon anakku, tapi kamu menyakiti Ibunya sehingga itu akan berdampak kepada calon anakku!" seru Edi. "Sudahlah Nia berbicara denganmu memang akan menguras emosiku saja. Kamu wanita tidak berpendidikan sehingga percuma aku berbicara sama kamu, yang sudah pasti kamu tidak akan mengerti." Edi lantas keluar dari dalam kamar dan menuju ke ruang tengah yang dimana Riri berada. Edi masih merasa cemas, ia takut terjadi sesuatu kepada calon buah hati dirinya bersama Riri. Edi sudah di butakan oleh rasa cintanya kepada Riri sehingga Edi tidak bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar. Gea yang melihat pertengkaran di antara kedua orang tuanya lantas berjalan mundur dan duduk di pojok kamar de