"Berjualan?" Nia tampak berfikir dengan ide yang di berikan oleh wanita setengah baya yang ada di sampingnya, setelah itu Nia menggeleng dengan cepat.
"Nia tidak bisa berjualan Bu, berjualan itu harus membutuhkan modal dan tempat yang stategis," jelas Nia.
"Kalo masalah tempat, kamu bisa gunakan tempat yang Ibu punya di pasar," sahut bu Rani.
"Lalu Nia harus berjualan apa Bu?" tanya Nia.
Bu Rni terdiam, ia berfikir dengan bola mata bergerak ke kanan ke kiri hingga pandangannya tertuju ke atas meja.
"Kamu jualan bubur saja, lagi pula kalo nggak salah di pasar itu belum ada yang berjualan bubur."
"Kira-kira modal untuk jualan bubur berapa Bu?" tanya Nia.
"Kurang lebih satu juta. Untuk peralatannya mungkin kamu punya panci di rumah dan mangkok-mangkok." Nia menganggukan kepalanya, senyum mengembang di wajahnya. Kini Nia hanya harus memikirkan bagaiamana caranya Nia mendapatkan uang satu juta untuk modalnya berjualan.
Meminta kepada suaminya sepertinya sangat mustahil bagi Nia, mengingat selama ini Edi hanya memberikan nafkah kurang dari lima ratus ribu. Entah bagaimana reaksinya jika tiba-tiba saja Nia meminta uang dengan nominal cukup besar seperti itu. Setidaknya saat ini Nia sudah bisa bernafas lega sebab kini ia sudah mendapatkan jalan keluarnya. Nia yakin jika apa yang dirinya saat ini alami, semua sudah kehendak Tuhan memberikan cobaan kepada dirinya.
"Bu terima kassih karna sudah begitu baik kepada Nia. Suatu saat Nia janji akan membalas semua kebaikan Ibu," ucap Nia.
"Ibu senang membantu kamu Nia, kamu anak yang baik dan cantik, hanya saja Suami kamu yang sudah sangat keterlaluan."
"Tidak apa-apa Bu, Nia saat ini sudah bisa menerima semua ini. Nia yakin jika akan ada pelangi setelah hujan."
Setelah puas berbincang dengan bu Rani, kini Nia memutuskan untuk pulang bersama Gea. Nia menginjakan kakinya di teras rumah, ia tak melihat satu orang pun di dalam rumah tersebut padahal mobil suaminya masih terparkir di depan rumah.
Nia melangkah mendekati kamar miliknya, ia ingin mengambil ponsel miliknya tetapi suara l*kn*t menelusup ke gendang telinganya. Nia mencari asal suara tersebut dan netranya menangkap pintu kamar miliknya yang awal saat Nia pergi masih terbuka dan kini tertutup dengan rapat. Tubuh Nia luruh ke lantai saat suara-suara tersebut kembali terdengar semakin jelas, walaupun Nia telah menerima semua ini tetapi tetap saja nyatanya Nia tetap merasa sakit saat mendengar suara d*s*h*n dari balik kamarnya.
Nia merutuki perbuatan dua sejoli yang tengah di mabuk asmara tersebut. Mereka seakan tak memikirkan bagaimana perasaan Nia saat mendengar suara horor tersebut. Nia memilih bangkit dan duduk di teras rumahnya menunggu dua pasang sejoli tersebut selesai dengan aktivitasnya.
Nia teringat dengan uang milik adiknya yang di titipkan kepada dirinya, Nia akan mencoba meminjam uang kepada adiknya untuk modal berjualan dirinya. Semua rasa sakit hati yang Nia rasakan nyatanya membuat Nia menemukan jalan keluar dari semua ini.
Dua jam sudah Nia menunggu hingga akhirnya kini Nia melihat suaminya keluar dari dalam rumah dan menuju ke warung yang terletak di sebelah rumahnya. Bahkan tanpa menyapa dirinya dan Gea, Edi berlalu begitu saja melewati dirinya. Suaminya tersebut bahkan tak menanyakan apa dirinya dan Gea sudah makan atau belum. Nia hanya bisa mengusap dadanya dan berdo'a agar dirinya di berikan kesabaran yang lebih besar lagi.
Nia melangkah memasuki rumah, ia melihat Riri tengah duduk di sofa. Ia mengabaikan madunya tersebut yang tengah menatapnya dengan sinis. Nia tak mengiraukan dan menganggapnya hanya angin lalu saja.
"Ck, pantas saja Mas Edi memilih menikahiku dari pada kamu, nyatanya pekerjaan kamu hanya tau keluyuran saat pagi."
Nia membalikan tubuhnya, setelah itu ia mulai melangkah kembali menuju kamar untuk menelpon sang adik dan membicarakan niatnya saat ini. Nia berharap jika adiknya tersebut akan memberikan dirinya pinjaman, jika tidak Nia tak tau lagi harus meminjam kepada siapa. Riri yang merasa di abaikan oleh Nia seketika menjadi emosi, ia mengepalkan tangannya ingin sekali rasanya Riri memberikan pelajaran kepada kakak madunya tersebut agar tak berlaku kurang ajar kepada dirinya. Menurut Riri jika saat ini dirinya lah yang lebih pantas bersanding dengan Edi dari pada Nia yanng hanya perempuan kampungan dengan penampilan yang memalukan. Riri yang melihat Edi di ambang pintu seketika memegangi perutnya dan memasang mimik muka kesakitan, ia berniat akan memberikan pelajaran kepada Nia sebab sudah mengabaikan kehadiran dirinya. Edi yang melihat Riri tengah meringis memegangi perutnya seketika berlari mendekat, wajah Edi terlihat sangat cemas saat melihat Riri istri keduanya tengah memegangi perut.
"Sudahlah Nia, tidak usah membela diri sendiri. Sejak awal memang kamu tidak menyukai Riri sehingga kamu dengan tega menyakiti dia," bentak Edi."Aku memang tidak menyukai dia. Tapi aku masih memiliki hati untuk tidak menyakiti janin yang tidak berdosa itu," jawab Nia."Kamu memang tidak menyakiti calon anakku, tapi kamu menyakiti Ibunya sehingga itu akan berdampak kepada calon anakku!" seru Edi. "Sudahlah Nia berbicara denganmu memang akan menguras emosiku saja. Kamu wanita tidak berpendidikan sehingga percuma aku berbicara sama kamu, yang sudah pasti kamu tidak akan mengerti." Edi lantas keluar dari dalam kamar dan menuju ke ruang tengah yang dimana Riri berada. Edi masih merasa cemas, ia takut terjadi sesuatu kepada calon buah hati dirinya bersama Riri. Edi sudah di butakan oleh rasa cintanya kepada Riri sehingga Edi tidak bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar. Gea yang melihat pertengkaran di antara kedua orang tuanya lantas berjalan mundur dan duduk di pojok kamar de
DEG"Tidak Za, rumah tangga Mbak dan Mas Edi sampai saat ini baik-baik saja dan tak ada masalah apapun," jawab Nia."Kenapa Mbak selalu menutupi sifat buruk Mas Edi sih, Mbak!" "Mbak tidak menutupi apapun Za.""Sudahlah Mbak, jangan berbohong lagi. Aku sudah mendengar pertengkaran kalian."Nia menghela nafas panjang, kini mau tak mau ia harus berterus terang kepada adiknya. Nia akhirnya menceritakan semua yang dirinya alami selama berumah tangga dengan Edi, tak ada satupun yang Nia sembunyikan lagi.Cukup lama Nia dan Zae berbincang melalui sambungan telpon, hingga mereka mengakhiri sambungan telpon tersebut.Nia cukup bernafas lega, kini ia merasa bebannya sedikit berkurang saat sudah menceritakan semuanya kepada sang adik. Nia juga mengatakan niatnya kepada Zae untuk berjualan dan ingin meminjam sedikit uang milik adiknya yang berada di dalam rekeningnya. Zae lantas menyetujui ide tersebut dan dia dengan suk rela memberikan uang tersebut tanpa meminta gantinya.Nia melirik jarum ja
"Jadi Istri bukannya masak, tapi malah keluyuran nggak jelas!" "Apa yang harus aku masak? Batu?" tanya Nia dengan entengnya. "Apa kamu nggak mikir jika di rumah beras habis dan semua serba habis. Lalu apa yang harus aku masak dan aku hidangkan untuk kalian?""Kenapa kamu tidak memintanya kepada Riri? Semua uang yang aku miliki termasuk uang jatah kamu pun ada di Riri," ujar Edi.Nia menyunggingkan senyum sinis, sudah bisa ia tebak jika suaminya akan memberikan semua uang yang ia miliki. Sangat berbeda dengan saat berumah tangga dengan Nia, Edi hanya memberikan nafkah yang jauh dari kata layak."Kenapa Mas harus menungguku pulang? Bukankah Mas mempunyai dua Istri saat ini?""Riri tidak bisa memasak. Lagi pula Riri sedang mengandung dan dia tidak bisa bekerja berat."Nia menggelengkan kepalanya, ia baru tau jika memasak adalah pekerjaan berat yang tidak boleh di lakukan saat hamil. Padahal saat Nia mengandung Gea, Nia masih bisa melakukan semua pekerjaan
Kedua mata Nia membelak, Nia terkejut saat melihat Riri sedang menjewer telinga putrinya. Nia bergegas mematikan kompor dan menghampiri putrinya yang sudah terisak."Lepasin!" Nia menepis tangan Riri yang berada di telinga Gea. Ibu mana yang tak akan marah jika melihat putrinya di perlakukan seperti itu oleh orang asing."Kamu selain nggak becus jadi Istri, tenyata nggak becus juga jadi seorang Ibu!" cibir Riri dengan tangan bersedekap dada. "Lihat apa yang di lakukan oleh anak kamu. Ini bedak yang baru saja aku beli bahkan harganya sangat mahal dan aku yakin kamu tidak akan bisa menggantinya," lanjut Riri."Apa kamu becus menjadi seorang Istri? Bahkan untuk memasak saja kamu tidak bisa," ledek Nia.Kedua tangan Riri mengepal, ia lantas melayangkan tamparan ke wajah Nia tetapi dengan sigap Nia menahan tangan tersebut dan menghempaskannya dengan kuat. PLAK"Itu kan yang mau kamu lakukan kepadaku?" tanya Nia. "Itu balasan untuk kamu yang sudah berlaku kas
Nia tak menghiraukan ucapan Riri, Nia kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Malas sekali rasanya Nia memasakan makanan untuk wanita lain, hanya saja Nia tak mau membuat keributan di dalam rumah tersebut.Setelah selesai memasak, Nia langsung menghidangkan makanan tersebut di atas meja makan. Aroma wangi yang berasal dari makanan yang di masak oleh Nia membuat perut Edi menjadi keroncongan."Sudah lama rasanya aku tidak makan masakan kamu," ucap Edi dengan menarik kursi dan mendudukan dirinya.Nia hanya tersenyum manis menanggapi ucapan suaminya. "Bagaimana bisa makan masakanku, jika selama ini di luaran sana ada makanan yang lebih menggoda iman," batin Nia.Nia mendudukan dirinya di hadapan Edi, ia melayani Edi mengambilkan nasi lengkap dengan lauk pauknya."Kenapa kamu memasak ikan? Aku tidak mau makan, makanan ini!" protes Riri."Jika kamu tidak mau memakannya, ya sudah, aku saja masih mau kok," jawab Nia dengan enteng."Kamu kena
"Lain kali jangan seperti itu. Wajar saja Nia marah seperti itu karna kamu menghina Gea," ujar Edi."Iya Mas, aku minta maaf." Riri menundukan kepalanya dengan tersenyum tipis, tak ada rasa sesal sebab sudah menghina dan membuat keributan di meja makan malam ini. Riri memang tidak menyukai Gea sebab Riri berfikir jika kehadiran Gea pasti akan membuat Edi membagi kasih sayangnya dengan calon anak yang saat ini dirinya kandung.**Jam alarm berbunyi dengan nyaring, Nia yang masih memejamkan matanya seketika terbangun saat mendengar alarm yang dirinya pasang. Nia melirik ke arah jam yang sudah menunjukan pukul enam pagi, saat ini tak ada yang harus Nia kerjakan jadi Nia memilih untuk kembali memejamkan matanya.Saat baru saja memejamkan matanya, ketukan pintu yang sangat keras membuatnya terpaksa bangun."Sudah jam segini kenapa masih di dalam kamar? Dasar menantu malas!" baru saja membuka pintu Nia sudah di suguhi oleh omelan mertuanya dengan suara yang sangat
Nia menghela nafas panjang saat melihat ibu mertuanya melemparkan uang ke wajahnya, "Sabar Nia... Sabar." Nia mengambil selembar uang berwarna merah yang tergeletak di lantai, sungguh hatinya terasa sakit akan perlakuan yang di lakukan oleh mertuanya.Nia segera menghapus cairan bening yang hendak menetes di sudut matanya, entah kesalahan apa yang di lakukan oleh dirinya hingga perlakuan yang Ratmini berikan kepada Riri dan dirinya sangat berbeda."Nggak usah cengeng! Masak ayam dan sayur-sayuran yang segar," titah Ratmini.Nia memandang uang yang berada di tangannya, hanya uang seratus ribu rupiah Nia di tuntut untuk masak enak sedangkan semua bahan-bahan di dapur telah habis termasuk beras dan minyak.Tanpa berbicara banyak, Nia lantas menggandeng Gea untuk di ajak ke warung sayur. Nia sudah terlalu malas untuk berdebat dengan siapapun, sejak kemarin dirinya tak hentinya membuang tenaga untuk berdebat dengan madunya.**Setelah selesai makan, Nia berniat memandikan Gea terlebih dahu