Pagi yang cerah tak secerah hati dan wajah Nia saat ini. Sebab, baru saja keluar kamar, Nia melihat dengan kedua matanya secara langsung bagaiaman suaminya berlaku sangat lembut kepada madunya. Bukan itu saja, berbagai makanan mewah tersaji di meja ruang tamu. Selama empat tahun pernikahan dengan Edi, Nia bahkan tidak pernah sama sekali mencicipi makanan-makanan mewah seperti itu.
‘Sabar, sabar….’ Lagi-lagi Nia hanya bisa mengelus dadanya.
Hari ini Nia tidak ingin melakukan apapun, selain sudah tidak mempunyai simpanan uang untuk memasak, Nia pun memang sengaja ingin menghidar dari kedua pasangan sejoli tersebut. Nia melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul delapan lewat, Nia segera membawa Gea ke kamar mandi untuk memandikan putrinya sekaligus Nia ingin mendinginkan pikirannya yang kembali memanas.
Setelah selesai dengan ritual mandi bagi dirinya dan Gea, Nia memutuskan untuk mengajak Gea bermain di rumah tetangga sebelahnya. Sayangnya, daripada mengawasi anaknya bermain, Nia justru asik dengan pikirannya sendiri. Tetangganya itu sampai memutus lamunan Nia dengan memanggil namanya.
"Nia!" bu Rani memenggang tangan Nia dengan lembut, Nia mendongakkan kepalanya untuk menatap wanita di hadapannya.
"Apa Ibu boleh bertanya?" Nia lantas mengangguk, ia cukup heran sebab tak seperti biasanya bu Rani akan meminta izin terlebih dahulu jika akan bertanya.
"Apa wanita yang bersama suami kamu tadi pagi itu madu kamu?" tanya bu Rani dengan sangat hati-hati.
"Ibu-Ibu yang berbelanja di warung depan," jawab bu Rani.
Seperti dugaan Nia sejak awal jika ibu-ibu yang sejak tadi berkumpul tengah membicarakannya. Tetapi yang menjadi fokus Nia saat ini dari mana mereka mengetahui jika wanita yang bersama suaminya adalah madunya.
"Ibu-Ibu di sana tau dari mana?" tanya Nia kembali.
"Katanya sih dari wanita yang bernama Riri, tadi dia datang ke warung buat belanja sayuran dan dia bilang jika dia Istri Edi yang kedua dan dia bilang akan tinggal di rumah itu," jelas bu Rani.
Nia menggelengkan kepalanya, belum genap satu hari wanita yang menjadi madunya datang ke rumahnya tetapi kini wanita tersebut telah berbuat ulah dengan menyebarkan semua aib yang berusaha Nia tutup-tutupi. Kini tak ada lagi yang harus Nia tutupi lagi, nyatanya istri kesayangan suaminya tersebutlah yang sudah membongkar semuanya. Bukan tanpa sebab Nia menutup semua berita ini, tetapi Nia tak mau menjadi bahan gosipan ibu-ibu di sekitar rumahnya.
"Iya Bu, dia Istri kedua Mas Edi," jawab Nia dengan bulir bening menetes di kedua sudut matanya.
"Apa kamu tau saat mereka menikah?" tanya bu Rani kembali.
Nia menggelengkan kepalanya, ia dengan cepat menghapus air mata sebab ia takut jika terlihat oleh ibu-ibu sekitar. Bu Rani yang mengerti lantas mengajak Nia masuk ke dalam rumahnya dan tak lupa pula bu Rani menutup pintu tersebut.
"Sekarang kamu jelaskan, tidak akan ada yang mendengar dan melihat saat kamu menangis," ucap bu Rani dengan mengelus punggung Nia. Air mata yang sudah Nia tahan sejak tadi akhirnya luruh, ia sudah tak mampu menyembunyikan semua rasa sakit hati dan kecewa yang hinggap di dadanya. Dadanya terasa sakit seperti di tusuk oleh puluhan ribu belati. Ya, kini Nia mengerti rasanya sakit tapi tidak berdarah, nyatanya lebih menyakitkan dari luka fisik.
Setelah di rasa lebih lega, kini Nia menceritakan semuanya sejak awal ia mengetahui tentang pernikahan suaminya. Nia juga menceritakan tentang kebimbangannya yang akan memilih keputusan untuk masa depan dirinya dan Gea. Bu Rani mendengarkan semua keluh kesah Nia, ia cukup prihatin dengan nasib yang menimpa Nia saat ini.
"Kamu harus sabar ya, kamu masih punya Gea yang harus kamu besarkan dan butuh kasih sayang kamu. Kamu tidak boleh larut dalam kesedihan kamu dan akan berdampak kepada Gea yang masih sangat kecil," ujar bu Rani.
Nia menatap wajah Gea, ia sungguh merasa bersalah sebab ia sudah larut dalam kesedihan dan mengabaikan putrinya. Nia lantas mendekap dengan erat tubuh Gea dan menciumi seluruh wajah putrinya tersebut dengan derai air mata.
"Maafkan Ibu, Ibu janji tidak akan larut seperti ini dan Ibu akan bangkit demi Gea," ucap Nia.
"Sekarang apa rencana kamu untuk kedepannya?" tanya bu Rani.
"Nia tidak tau Bu, yang pasti Nia harus memiliki penghasilan sendiri tanpa mengandalkan Mas Edi lagi," sahut Nia.
"Kamu tidak mungkin bekerja dengan Gea yang masih sangat kecil dan masih membutuhkan asi." Nia mengangguk, maka dari itu Nia tak mencari pekerjaan sebab Nia juga harus memikirkan nasib putrinya.
Bu Rani dan Nia masing-masing diam dan larut dalam pemikirannya masing-masing. Bu Rani pula ikut memikirkan hal apa yang sangat bagus untuk menghasilkan uang dan yang pasti Gea masih dalam pengawasan Nia.
Bu Rani tersenyum saat tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam fikirannya. "Bagaimana jika kamu berjualan saja Nia," celetuk bu Rani.
"Berjualan?" Nia tampak berfikir dengan ide yang di berikan oleh wanita setengah baya yang ada di sampingnya, setelah itu Nia menggeleng dengan cepat. "Nia tidak bisa berjualan Bu, berjualan itu harus membutuhkan modal dan tempat yang stategis," jelas Nia. "Kalo masalah tempat, kamu bisa gunakan tempat yang Ibu punya di pasar," sahut bu Rani. "Lalu Nia harus berjualan apa Bu?" tanya Nia. Bu Rni terdiam, ia berfikir dengan bola mata bergerak ke kanan ke kiri hingga pandangannya tertuju ke atas meja. "Kamu jualan bubur saja, lagi pula kalo nggak salah di pasar itu belum ada yang berjualan bubur." "Kira-kira modal untuk jualan bubur berapa Bu?" tanya Nia. "Kurang lebih satu juta. Untuk peralatannya mungkin kamu punya panci di rumah dan mangkok-mangkok." Nia menganggukan kepalanya, senyum mengembang di wajahnya. Kini Nia hanya harus memikirkan bagaiamana caranya Nia mendapatkan uang satu juta untuk modalnya berjualan. Meminta kepada suaminya sepertinya sangat mustahil bagi Nia, m
Nia membalikan tubuhnya, setelah itu ia mulai melangkah kembali menuju kamar untuk menelpon sang adik dan membicarakan niatnya saat ini. Nia berharap jika adiknya tersebut akan memberikan dirinya pinjaman, jika tidak Nia tak tau lagi harus meminjam kepada siapa. Riri yang merasa di abaikan oleh Nia seketika menjadi emosi, ia mengepalkan tangannya ingin sekali rasanya Riri memberikan pelajaran kepada kakak madunya tersebut agar tak berlaku kurang ajar kepada dirinya. Menurut Riri jika saat ini dirinya lah yang lebih pantas bersanding dengan Edi dari pada Nia yanng hanya perempuan kampungan dengan penampilan yang memalukan. Riri yang melihat Edi di ambang pintu seketika memegangi perutnya dan memasang mimik muka kesakitan, ia berniat akan memberikan pelajaran kepada Nia sebab sudah mengabaikan kehadiran dirinya. Edi yang melihat Riri tengah meringis memegangi perutnya seketika berlari mendekat, wajah Edi terlihat sangat cemas saat melihat Riri istri keduanya tengah memegangi perut.
"Sudahlah Nia, tidak usah membela diri sendiri. Sejak awal memang kamu tidak menyukai Riri sehingga kamu dengan tega menyakiti dia," bentak Edi."Aku memang tidak menyukai dia. Tapi aku masih memiliki hati untuk tidak menyakiti janin yang tidak berdosa itu," jawab Nia."Kamu memang tidak menyakiti calon anakku, tapi kamu menyakiti Ibunya sehingga itu akan berdampak kepada calon anakku!" seru Edi. "Sudahlah Nia berbicara denganmu memang akan menguras emosiku saja. Kamu wanita tidak berpendidikan sehingga percuma aku berbicara sama kamu, yang sudah pasti kamu tidak akan mengerti." Edi lantas keluar dari dalam kamar dan menuju ke ruang tengah yang dimana Riri berada. Edi masih merasa cemas, ia takut terjadi sesuatu kepada calon buah hati dirinya bersama Riri. Edi sudah di butakan oleh rasa cintanya kepada Riri sehingga Edi tidak bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar. Gea yang melihat pertengkaran di antara kedua orang tuanya lantas berjalan mundur dan duduk di pojok kamar de
DEG"Tidak Za, rumah tangga Mbak dan Mas Edi sampai saat ini baik-baik saja dan tak ada masalah apapun," jawab Nia."Kenapa Mbak selalu menutupi sifat buruk Mas Edi sih, Mbak!" "Mbak tidak menutupi apapun Za.""Sudahlah Mbak, jangan berbohong lagi. Aku sudah mendengar pertengkaran kalian."Nia menghela nafas panjang, kini mau tak mau ia harus berterus terang kepada adiknya. Nia akhirnya menceritakan semua yang dirinya alami selama berumah tangga dengan Edi, tak ada satupun yang Nia sembunyikan lagi.Cukup lama Nia dan Zae berbincang melalui sambungan telpon, hingga mereka mengakhiri sambungan telpon tersebut.Nia cukup bernafas lega, kini ia merasa bebannya sedikit berkurang saat sudah menceritakan semuanya kepada sang adik. Nia juga mengatakan niatnya kepada Zae untuk berjualan dan ingin meminjam sedikit uang milik adiknya yang berada di dalam rekeningnya. Zae lantas menyetujui ide tersebut dan dia dengan suk rela memberikan uang tersebut tanpa meminta gantinya.Nia melirik jarum ja
"Jadi Istri bukannya masak, tapi malah keluyuran nggak jelas!" "Apa yang harus aku masak? Batu?" tanya Nia dengan entengnya. "Apa kamu nggak mikir jika di rumah beras habis dan semua serba habis. Lalu apa yang harus aku masak dan aku hidangkan untuk kalian?""Kenapa kamu tidak memintanya kepada Riri? Semua uang yang aku miliki termasuk uang jatah kamu pun ada di Riri," ujar Edi.Nia menyunggingkan senyum sinis, sudah bisa ia tebak jika suaminya akan memberikan semua uang yang ia miliki. Sangat berbeda dengan saat berumah tangga dengan Nia, Edi hanya memberikan nafkah yang jauh dari kata layak."Kenapa Mas harus menungguku pulang? Bukankah Mas mempunyai dua Istri saat ini?""Riri tidak bisa memasak. Lagi pula Riri sedang mengandung dan dia tidak bisa bekerja berat."Nia menggelengkan kepalanya, ia baru tau jika memasak adalah pekerjaan berat yang tidak boleh di lakukan saat hamil. Padahal saat Nia mengandung Gea, Nia masih bisa melakukan semua pekerjaan
Kedua mata Nia membelak, Nia terkejut saat melihat Riri sedang menjewer telinga putrinya. Nia bergegas mematikan kompor dan menghampiri putrinya yang sudah terisak."Lepasin!" Nia menepis tangan Riri yang berada di telinga Gea. Ibu mana yang tak akan marah jika melihat putrinya di perlakukan seperti itu oleh orang asing."Kamu selain nggak becus jadi Istri, tenyata nggak becus juga jadi seorang Ibu!" cibir Riri dengan tangan bersedekap dada. "Lihat apa yang di lakukan oleh anak kamu. Ini bedak yang baru saja aku beli bahkan harganya sangat mahal dan aku yakin kamu tidak akan bisa menggantinya," lanjut Riri."Apa kamu becus menjadi seorang Istri? Bahkan untuk memasak saja kamu tidak bisa," ledek Nia.Kedua tangan Riri mengepal, ia lantas melayangkan tamparan ke wajah Nia tetapi dengan sigap Nia menahan tangan tersebut dan menghempaskannya dengan kuat. PLAK"Itu kan yang mau kamu lakukan kepadaku?" tanya Nia. "Itu balasan untuk kamu yang sudah berlaku kas
Nia tak menghiraukan ucapan Riri, Nia kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Malas sekali rasanya Nia memasakan makanan untuk wanita lain, hanya saja Nia tak mau membuat keributan di dalam rumah tersebut.Setelah selesai memasak, Nia langsung menghidangkan makanan tersebut di atas meja makan. Aroma wangi yang berasal dari makanan yang di masak oleh Nia membuat perut Edi menjadi keroncongan."Sudah lama rasanya aku tidak makan masakan kamu," ucap Edi dengan menarik kursi dan mendudukan dirinya.Nia hanya tersenyum manis menanggapi ucapan suaminya. "Bagaimana bisa makan masakanku, jika selama ini di luaran sana ada makanan yang lebih menggoda iman," batin Nia.Nia mendudukan dirinya di hadapan Edi, ia melayani Edi mengambilkan nasi lengkap dengan lauk pauknya."Kenapa kamu memasak ikan? Aku tidak mau makan, makanan ini!" protes Riri."Jika kamu tidak mau memakannya, ya sudah, aku saja masih mau kok," jawab Nia dengan enteng."Kamu kena
"Lain kali jangan seperti itu. Wajar saja Nia marah seperti itu karna kamu menghina Gea," ujar Edi."Iya Mas, aku minta maaf." Riri menundukan kepalanya dengan tersenyum tipis, tak ada rasa sesal sebab sudah menghina dan membuat keributan di meja makan malam ini. Riri memang tidak menyukai Gea sebab Riri berfikir jika kehadiran Gea pasti akan membuat Edi membagi kasih sayangnya dengan calon anak yang saat ini dirinya kandung.**Jam alarm berbunyi dengan nyaring, Nia yang masih memejamkan matanya seketika terbangun saat mendengar alarm yang dirinya pasang. Nia melirik ke arah jam yang sudah menunjukan pukul enam pagi, saat ini tak ada yang harus Nia kerjakan jadi Nia memilih untuk kembali memejamkan matanya.Saat baru saja memejamkan matanya, ketukan pintu yang sangat keras membuatnya terpaksa bangun."Sudah jam segini kenapa masih di dalam kamar? Dasar menantu malas!" baru saja membuka pintu Nia sudah di suguhi oleh omelan mertuanya dengan suara yang sangat