Evan memilih untuk memantau Renald yang tengah menyulap ruang tamu menjadi lebih cantik. Meski bukan seorang profesional, kepala pelayan tersebut seperti memiliki kreativitas tinggi karena hasil dekorasinya begitu menakjubkan."Kerja bagus Renald!" Evan mengacungi jempol."Terima kasih, Pak," sahut Renald dengan wajah datarnya.Tak berselang lama, Danu datang dengan rombongan para pedagang keliling yang dari wajah mereka terlihat kebahagiaan nyang tersirat."Berapa banyak?" Evan menghampiri Danu."Sekitar dua puluh gerobak, Pak. Tapi, diluar masih ada beberapa pedagang yang meminta masuk juga," terang Danu."Suruh masuk saja, jangan membuatku terlihat seperti orang tidak punya uang!" timpal Evan."Baik, Pak," jawab Danu yang tersenyum sekilas.Tiba-tiba terbesit dalam hati Danu yang merasa jika dirinya sangat beruntung telah menjadi asisten dari seseorang seperti Evan. Meski terlihat arogan dan menyebalkan, atasannya itu berhati baik dan memiliki jiwa penolong yang tinggi meski dibalut
"Kak, Alana. Kenapa ada di sini?" tanya bocah kecil tersebut.Alana mengulurkan kedua tangan, berusaha menggapai anak kecil yang sedang berlari menghampirinya itu."Clay… kenapa kamu ada di sini?" Mata Alana lagi-lagi berkaca-kaca."Memang Kak Alana tidak tahu? Mama dan Papa kan sudah ada di surga. Ibu bilang aku harus jadi anak yang baik biar mereka bahagia," ujar anak laki-laki yang berumur lima tahun tersebut.Alana tersenyum menatap pengasuh panti asuhan yang terlihat panik tersebut. Ia langsung tahu jika perempuan itulah yang Clay panggil Ibu."Kakak tidak tahu. Memang apa yang terjadi pada mama dan papa Clay?" Alana berusaha menahan tangisnya yang merasa jika akan mendengar berita buruk dari mulut bocah di hadapannya."Ibu bilang Mama dan Papa sudah meninggal waktu kecelakaan. Clay tidak tahu apa itu meninggal, tapi Clay tahu apa itu surga." Clay tersenyum lebar tanpa mengerti apa yang dia katakan.Alana memeluk bocah kecil itu dengan perasaan sedih. Ia merasa terpukul saat tahu
Evan mulai tertarik dengan apa yang Danu katakan. Karenanya, ia memilih untuk keluar kamar, menjauh dari Alana agar dia tidak menjadi cemas."Informasi apa?" ucap Evan yang kini sudah berada di dekat tangga."Soal Dody. Saya melihat dia sedang berbincang dengan seorang laki-laki di dekat panti asuhan," terang Danu."Kamu tahu siapa orang yang sedang bersama Dody itu?""Saya tidak tahu pasti, hanya saja Clay terus merengek, dia bilang kalau bos jahat."Evan mengerutkan alis, masih bingung dengan keterangan Danu yang sedikit aneh. Bos? Seorang anak kecil ketakutan, menyebut bos jahat saja sudah terasa ganjil."Apa kamu mengambil foto Dody?""Ya, saya sudah mengambil fotonya untuk berjaga-jaga," terang Danu."Bagus, kirim padaku sekarang," titah Evan yang langsung menutup telepon.Evan Kembali ke kamar di mana ternyata Alana sedang duduk menunggunya."Ada apa? Yang tadi menelepon Danu bukan?" Wajah Alana menunjukan perasaan cemas."Iya Danu," jawab Evan."Ada apa? Apa ada sesuatu yang ter
Evan mengamati setiap lembar kertas. Semuanya sangat memuaskan, persis seperti yang ia inginkan."Kamu sudah membuat orang itu berada di pihak kita?""Sudah, Pak. Kebetulan dia sedang butuh banyak uang," jawab Danu."Bagus… semua akan menjadi lebih mudah sekarang." Evan tertawa puas.Setelah semua bukti selesai dipelajari, Evan perlahan mulai mencari data beberapa partai oposisi. Hingga menemukan sebuah partai yang memiliki kekuatan setara dengan wakil walikota. Tanpa menunggu lama, ia langsung menghubungi seseorang yang memimpin partai tersebut."Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" tanya seseorang di balik telepon."Bisakah saya berbicara dengan Pak Candra?""Maaf, dengan siapa saya berbicara?" tanya perempuan itu."Evanders Lucio, pemilik Lucio Group. Tolong sampaikan pada Pak Candra, jika kita memiliki musuh yang sama," ucap Evan dengan penuh percaya diri."Baik, Pak. Tunggu sebentar, akan saya sampaikan."Evan menunggu dengan penuh harap sekaligus cemas karena sudah lima bela
Beruntung Evan sempat mengelak dari tinju pria itu. Setelahnya, ia buru-buru menghindar sebelum orang tersebut menyerangnya lagi."Siapa kamu?" Evan menatap tajam ke arah pria itu."Tidak perlu tahu siapa aku! Sekarang, cepat pergi dari sini dan jangan ikut campur urusan kami!" pekik pria itu.Evan sama sekali tak takut dengan pria itu. Ia lebih takut jika sampai anak-anak sampai terluka akibat ulah penjahat tersebut.Namun, pria berambut gondrong dengan wajah sangar dan bertubuh tinggi besar itu seakan tak memperdulikan anak-anak. Ia malah memanggil beberapa rekannya yang terlihat seperti preman dengan tato yang memenuhi bahu."Lihatlah, pahlawan kesiangan itu sedang berusaha mengganggu pekerjaan kita!" teriak pria itu."Pekerjaan? Harusnya kalian malu mengatakannya. Yang bekerja adalah anak-anak kecil itu!" timpal Evan yang sudah kesal bukan kepalang.Anak-anak kecil yang menyaksikan pertikaian tersebut semakin merasa ketakutan, mereka berkumpul, saling merangkul satu sama lain di s
Evan mengerutkan alis, merasa aneh dengan respon anak-anak tersebut. Mereka seakan tak senang saat dirinya menyebut pemilik panti asuhan."Bos bilang jangan pernah sebut dia pemilik panti asuhan," ucap seorang anak yang terlihat paling besar di antara yang lain."Memang kenapa?" Evan semakin tertarik dengan ucapan anak itu.Namun, anak-anak kecil itu malah saling pandang, seakan ragu untuk menjelaskan semuanya secara detail. Sampai akhirnya Evan berusaha meyakinkan mereka."Tenang saja, aku akan menjaga rahasia ini untuk kalian," ujar Evan."Janji?""Ya, aku janji. Katakan saja!"Anak kecil itu pun menarik napas dalam. "Bos bilang kalau sampai orang-orang tahu soal panti asuhan, dia akan menyiksa dan mengurung kami."Evan mengepalkan tangan, kesal dengan fakta yang diucapkan anak-anak itu. Ternyata, selain memakan dana dari para donatur, si penjahat juga mempekerjakan anak-anak yatim demi meraup banyak keuntungan. Meski begitu, dengan liciknya dia malah masih berusaha menjaga nama bai
Evan langsung membelokkan mobilnya ke arah taman kota. Di sana banyak makanan kesukaan Alana yang selama ini sudah hampir jarang mereka beli.Perlahan Evan menyusuri jalan, di mana para pedagang menjajakan dagangannya. Satu persatu makanan itu ia beli, berharap Alana akan menyukainya.Setelah selesai membeli semua makanan kesukaan Alana, Evan pun langsung pergi menuju toko bunga langganannya, membeli sebuah buket bunga mawar merah yang sangat cantik."Semoga saja semua ini berhasil," gumam Evan.Setelah persiapan sempurna, Evan langsung meluncur ke rumah dengan harapan Alana akan luluh dengan semua usahanya.Perjalanan yang terasa panjang pun akhirnya berakhir saat Evan sudah berada di depan gerbang. Ia pun buru-buru masuk ke rumah.Tatapan para pelayan yang kagum, membuat Evan merasa malu. Apalagi, sekilas ia bisa mendengar para pelayannya saat sedang saling berbisik."Bu Alana sangat beruntung. Andai saja ada laki-laki seperti Pak Evan, aku pasti akan mengejarnya.""Kalau ada pun di
"Memangnya kenapa, Pak?" Evan pun menjadi sedikit heran."Saya merasa sedikit ragu dengan bukti ini.""Ragu? Apa buktinya masih kurang?"Candra terdiam sejenak. Dari sorot matanya tersirat perasaan ragu. Namun entah apa yang diragukannya sampai terlalu banyak berpikir seperti itu."Kalau ada yang kurang katakan saja! Saya hanya ingin menjatuhkan orang sejahat Candra!" Evan tak ingin melewatkan kerjasama tersebut dan dengan gigih berusaha meyakinkan Candra."Aku tidak yakin, hanya saja perbuatan Anwar sudah melebihi batas, dia sampai menggunakan anggaran yang seharusnya untuk panti asuhan. Kupikir dia hanya curang soal pemilihan suara, tapi siapa sangka jika perbuatannya sudah sejauh ini," terang Candra."Bukan hanya itu saja, anak buahnya yang sekaligus pemilik panti asuhan itu juga mempekerjakan anak-anak panti hanya demi kepentingannya sendiri," ucap Evan.Candra mengepalkan tangannya dengan wajah merah padam penuh amarah. Evan telah berhasil menyulut emosi pria tua itu, karena dari