Evan mulai tertarik dengan apa yang Danu katakan. Karenanya, ia memilih untuk keluar kamar, menjauh dari Alana agar dia tidak menjadi cemas."Informasi apa?" ucap Evan yang kini sudah berada di dekat tangga."Soal Dody. Saya melihat dia sedang berbincang dengan seorang laki-laki di dekat panti asuhan," terang Danu."Kamu tahu siapa orang yang sedang bersama Dody itu?""Saya tidak tahu pasti, hanya saja Clay terus merengek, dia bilang kalau bos jahat."Evan mengerutkan alis, masih bingung dengan keterangan Danu yang sedikit aneh. Bos? Seorang anak kecil ketakutan, menyebut bos jahat saja sudah terasa ganjil."Apa kamu mengambil foto Dody?""Ya, saya sudah mengambil fotonya untuk berjaga-jaga," terang Danu."Bagus, kirim padaku sekarang," titah Evan yang langsung menutup telepon.Evan Kembali ke kamar di mana ternyata Alana sedang duduk menunggunya."Ada apa? Yang tadi menelepon Danu bukan?" Wajah Alana menunjukan perasaan cemas."Iya Danu," jawab Evan."Ada apa? Apa ada sesuatu yang ter
Evan mengamati setiap lembar kertas. Semuanya sangat memuaskan, persis seperti yang ia inginkan."Kamu sudah membuat orang itu berada di pihak kita?""Sudah, Pak. Kebetulan dia sedang butuh banyak uang," jawab Danu."Bagus… semua akan menjadi lebih mudah sekarang." Evan tertawa puas.Setelah semua bukti selesai dipelajari, Evan perlahan mulai mencari data beberapa partai oposisi. Hingga menemukan sebuah partai yang memiliki kekuatan setara dengan wakil walikota. Tanpa menunggu lama, ia langsung menghubungi seseorang yang memimpin partai tersebut."Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" tanya seseorang di balik telepon."Bisakah saya berbicara dengan Pak Candra?""Maaf, dengan siapa saya berbicara?" tanya perempuan itu."Evanders Lucio, pemilik Lucio Group. Tolong sampaikan pada Pak Candra, jika kita memiliki musuh yang sama," ucap Evan dengan penuh percaya diri."Baik, Pak. Tunggu sebentar, akan saya sampaikan."Evan menunggu dengan penuh harap sekaligus cemas karena sudah lima bela
Beruntung Evan sempat mengelak dari tinju pria itu. Setelahnya, ia buru-buru menghindar sebelum orang tersebut menyerangnya lagi."Siapa kamu?" Evan menatap tajam ke arah pria itu."Tidak perlu tahu siapa aku! Sekarang, cepat pergi dari sini dan jangan ikut campur urusan kami!" pekik pria itu.Evan sama sekali tak takut dengan pria itu. Ia lebih takut jika sampai anak-anak sampai terluka akibat ulah penjahat tersebut.Namun, pria berambut gondrong dengan wajah sangar dan bertubuh tinggi besar itu seakan tak memperdulikan anak-anak. Ia malah memanggil beberapa rekannya yang terlihat seperti preman dengan tato yang memenuhi bahu."Lihatlah, pahlawan kesiangan itu sedang berusaha mengganggu pekerjaan kita!" teriak pria itu."Pekerjaan? Harusnya kalian malu mengatakannya. Yang bekerja adalah anak-anak kecil itu!" timpal Evan yang sudah kesal bukan kepalang.Anak-anak kecil yang menyaksikan pertikaian tersebut semakin merasa ketakutan, mereka berkumpul, saling merangkul satu sama lain di s
Evan mengerutkan alis, merasa aneh dengan respon anak-anak tersebut. Mereka seakan tak senang saat dirinya menyebut pemilik panti asuhan."Bos bilang jangan pernah sebut dia pemilik panti asuhan," ucap seorang anak yang terlihat paling besar di antara yang lain."Memang kenapa?" Evan semakin tertarik dengan ucapan anak itu.Namun, anak-anak kecil itu malah saling pandang, seakan ragu untuk menjelaskan semuanya secara detail. Sampai akhirnya Evan berusaha meyakinkan mereka."Tenang saja, aku akan menjaga rahasia ini untuk kalian," ujar Evan."Janji?""Ya, aku janji. Katakan saja!"Anak kecil itu pun menarik napas dalam. "Bos bilang kalau sampai orang-orang tahu soal panti asuhan, dia akan menyiksa dan mengurung kami."Evan mengepalkan tangan, kesal dengan fakta yang diucapkan anak-anak itu. Ternyata, selain memakan dana dari para donatur, si penjahat juga mempekerjakan anak-anak yatim demi meraup banyak keuntungan. Meski begitu, dengan liciknya dia malah masih berusaha menjaga nama bai
Evan langsung membelokkan mobilnya ke arah taman kota. Di sana banyak makanan kesukaan Alana yang selama ini sudah hampir jarang mereka beli.Perlahan Evan menyusuri jalan, di mana para pedagang menjajakan dagangannya. Satu persatu makanan itu ia beli, berharap Alana akan menyukainya.Setelah selesai membeli semua makanan kesukaan Alana, Evan pun langsung pergi menuju toko bunga langganannya, membeli sebuah buket bunga mawar merah yang sangat cantik."Semoga saja semua ini berhasil," gumam Evan.Setelah persiapan sempurna, Evan langsung meluncur ke rumah dengan harapan Alana akan luluh dengan semua usahanya.Perjalanan yang terasa panjang pun akhirnya berakhir saat Evan sudah berada di depan gerbang. Ia pun buru-buru masuk ke rumah.Tatapan para pelayan yang kagum, membuat Evan merasa malu. Apalagi, sekilas ia bisa mendengar para pelayannya saat sedang saling berbisik."Bu Alana sangat beruntung. Andai saja ada laki-laki seperti Pak Evan, aku pasti akan mengejarnya.""Kalau ada pun di
"Memangnya kenapa, Pak?" Evan pun menjadi sedikit heran."Saya merasa sedikit ragu dengan bukti ini.""Ragu? Apa buktinya masih kurang?"Candra terdiam sejenak. Dari sorot matanya tersirat perasaan ragu. Namun entah apa yang diragukannya sampai terlalu banyak berpikir seperti itu."Kalau ada yang kurang katakan saja! Saya hanya ingin menjatuhkan orang sejahat Candra!" Evan tak ingin melewatkan kerjasama tersebut dan dengan gigih berusaha meyakinkan Candra."Aku tidak yakin, hanya saja perbuatan Anwar sudah melebihi batas, dia sampai menggunakan anggaran yang seharusnya untuk panti asuhan. Kupikir dia hanya curang soal pemilihan suara, tapi siapa sangka jika perbuatannya sudah sejauh ini," terang Candra."Bukan hanya itu saja, anak buahnya yang sekaligus pemilik panti asuhan itu juga mempekerjakan anak-anak panti hanya demi kepentingannya sendiri," ucap Evan.Candra mengepalkan tangannya dengan wajah merah padam penuh amarah. Evan telah berhasil menyulut emosi pria tua itu, karena dari
Evan buru-buru mengeluarkan ponselnya dan bergegas menekan simbol telepon."Kalian datanglah kemari!" Evan langsung menutup teleponnya.Ia menunggu di dalam ruangan dengan santainya, seraya mengamati layar laptop yang menunjukan rekaman CCTV bagian depan ruangan.Lain dengan Danu yang terlihat panik. Ia mondar-mandir di depan Evan saking cemasnya. Rasa takutnya semakin memuncak saat melihat layar laptop sang atasan yang menunjukkan dengan jelas situasi di depan ruangan."Pak, mereka lebih mirip seperti preman di banding karyawan perusahaan," bisik Danu dengan tangan gemetar karena ketakutan."Mereka itu memang preman, aku tidak pernah melihat wajah-wajah itu di data karyawan. Tapi, tenang saja, aku akan mengatasinya.""Bagaimana bisa tenang kalau pintu keluar di jaga para preman menyeramkan seperti itu.""Tunggulah dan lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Evan dengan santainya.Seolah tak terjadi apa-apa, Evan duduk bersandar seraya fokus menatap laptop dengan santainya
Evan tersenyum senang melihat Dody kebingungan. Rasanya ingin tertawa kencang kalau saja tidak memikirkan wibawanya."Pak Dody. Kenapa berhenti? Katanya ingin memberi pelajaran padaku." Evan menatap dengan tatapan merendahkan."Kenapa kalian diam saja? Apa kalian takut pada orang itu?" Dody menunjuk anak buah Evan yang baru saja datang. "Dia hanya sendirian, kenapa harus takut?"Namun, bukannya menjawab, anak buah Dody malah menunduk, tak berani menatap pria yang baru saja datang itu."Pak Evan, maaf saya terlambat." Pria yang baru saja datang itu membungkuk ke arah Evan dengan penuh hormat.Dody yang merasa diabaikan malah semakin menjadi. Ia memaki Evan kemudian meraih kerah baju sang Presdir dengan sangat kencang.Melihat atasannya diperlakukan tidak sopan, anak buah Evan pun langsung menarik Dody dan menghempasnya ke sofa yang tak jauh dari meja kerja."Kenapa hanya diam saja? Berlutut dan minta maaf pada Pak Evan! Siapa saja yang berani menentangku, akan aku keluarkan dari organi