Pada saat itu, Saketi sudah bersiap hendak menghadap Senapati Lintang, karena mereka akan segera melakukan perjalanan jauh atas perintah sang raja.
Baru beberapa langkah saja berjalan, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita memanggil namanya.
"Kakang Saketi!"Sejenak, pemuda itu menghentikan langkahnya dan memalingkan wajah ke arah belakang. Dilihatnya seorang gadis cantik berlari kecil mendekat ke arahnya.
"Ada apa, Yunada?" tanya Saketi mengerutkan kening, dua bola matanya menatap wajah gadis itu yang sudah berdiri di hadapannya.
Yunada tidak langsung menjawab pertanyaan Saketi, ia menghela napas sejenak sambil tersenyum. Tangannya tampak memegang bungkusan kain, entah apa isinya?
"Kakang mau berangkat sekarang, 'kan?" tanya Yunada dengan suara lembut.
"Iya, memangnya kenapa?" Saketi balas bertanya sambil terus memandangi keindahan wajah Yunada.
"Aku sudah membuatkan makanan kesukaan Kakang dan ayahandaku, untuk bekal diperjalanan!" ucapnya lirih sambil menyerahkan cawan yang sudah dibungkus rapi menggunakan kain.
Saketi tampak semringah. Ia sangat bahagia dan senang dengan sikap Yunada yang sangat perhatian terhadap dirinya.
"Terima kasih, Yunada." Saketi melontar senyum sambil meraih bungkusan kain tersebut. "Kakang akan selalu merindukanmu," sambungnya meletakkan telapak tangan di atas kepala gadis itu, kemudian membelai rambutnya penuh kelembutan.
"Kakang harus berhati-hati!" desis Yunada tersenyum manis memandang wajah sang pangeran pujaan hatinya.
"Iya, Yuanda" jawab Saketi lembut. "Apakah ayahandamu sudah berangkat?" tanya Saketi menambahkan.
"Ayahanda sudah berada di pendapa istana bersama paman maha patih," jawab Yunada lirih.
"Baiklah, kalau seperti itu. Kakang berangkat sekarang, yah," ucap Saketi sedikit membungkukkan badan. Lalu, mendaratkan bibir di atas kening Yunada.
"Baik, Kakang. Nanti aku pun akan menyusul ke pendapa."
Yunada tersenyum, telapak tangannya menyapu permukaan wajah sang pangeran, lantas memeluk erat tubuh putra mahkota itu sambil berbisik mesra, "Semoga apa yang ditugaskan oleh paman raja, bisa Kakang selesaikan dengan mudah. Aku sayang, Kakang." Yunada langsung melepaskan pelukannya dan memandang wajah Saketi begitu lekat.
"Iya, Yunada. Kakang akan selalu mengingat pesanmu ini," pungkas Saketi. Setelah itu, ia langsung melangkah dan berlalu dari hadapan kekasihnya.
Tatapan penuh cinta dari seorang gadis cantik menyertai langkah sang pangeran yang sudah berjalan menuju pendapa istana.
Yunada adalah putri satu-satunya Senapati Lintang buah pernikahannya dengan Winiresti, Yunada merupakan gadis cantik, berbudi pekerti baik, dan pandai dalam ilmu bela diri.
Sang raja dan permaisuri sudah terpikat dengan sikap ramah dan sopan santun gadis tersebut. Mereka berencana akan menjadikan Yunada sebagai menantu istana dan menganugerahkan gelar permaisuri anom untuk Yunada.
* * *Setibanya di pendapa istana, Saketi langsung menjura kepada ayahandanya dan juga ibundanya yang sudah duduk bersama dengan Senapati Lintang dan para petinggi istana lainnya."Duduklah putraku!" pinta sang raja tersenyum menyambut kedatangan putra semata wayangnya.
Saketi kembali merangkapkan kedua telapak tangannya sedikit membungkukkan badan di hadapan ayahandanya. Kemudian duduk bersebelahan dengan Senapati Lintang.
Ada banyak hal yang diamanatkan oleh sang raja kepada Senapati Lintang dan juga Saketi sebelum mereka berangkat dalam melaksanakan tugas darinya.
Setelah itu, Saketi dan Senapati Lintang langsung pamit kepada sang raja dan sang maha patih, untuk segera menjalankan tugas yang diembankan oleh Prabu Erlangga kepada mereka.
Hari itu, mereka hendak menelusuri keberadaan Ki Wiradana di sebuah padepokan silat yang berada di tengah hutan di bawah kaki gunung Sanggabuana.
"Berangkatlah, dan berhati-hatilah di jalan!" ujar sang raja melepas kepergian putranya dan senapatinya.
Dengan demikian, keduanya pun langsung berangkat bersama sepuluh prajurit pilihan dengan menunggangi kuda masing-masing.
Menjelang sore, Saketi dan rombongannya sudah tiba di tempat tujuan. Tepatnya di sebuah hutan yang lebat dengan pepohonan.
Dengan demikian, Senapati Lintang segera memerintahkan para prajuritnya untuk berhenti sejenak, "Sebaiknya kita beristirahat dulu! Kita tidak boleh langsung mendekati bangunan itu!" ujar Senapati Lintang mengarah kepada sepuluh prajurit khusus yang ikut dengannya.
"Baik, Gusti Senapati," jawab para prajurit itu.
Tampak sebuah bangunan tua yang sudah tidak berpenghuni, berdiri kokoh di dalam hutan belantara dekat dengan sebuah lembah terlarang yang berada di bawah kaki gunung Sanggabuana.
"Aku rasa itu adalah tempatnya," desis Saketi mengarahkan pandangannya ke sebuah bangunan tua yang tidak jauh dari posisi tempatnya berdiri.
Keadaan di sekitar bangunan tersebut tampak sunyi, sehingga menimbulkan kesan menyeramkan. Tempat itu memancarkan aura keangkeran yang sangat terasa sekali bagi orang yang baru saja tiba dan menginjakkan kaki di tempat itu.
"Sepertinya tempat ini memang jarang sekali dijamah oleh manusia," kata Senapati Lintang. "Bangunan tua itu sangat menyeramkan. Paman rasa, bangunan itu merupakan tempat berdiamnya para jin dan siluman," sambung Senapati Lintang bergurau.
"Ah, Paman. Bisa saja," sahut Saketi.
Senapati Lintang hanya tersenyum dan menepuk pundak putra mahkota, seraya berkata, "Paman yakin, kau ini seorang pemuda pemberani dan tidak akan takut dengan suasana seperti ini," ujarnya lirih.
Setelah diamati, memang benar-benar menyeramkan. Suasana di bangunan tua itu tampak sunyi dan sepi, benar seperti apa yang dikatakan oleh sang senapati, bahwa bangunan tua tak berpenghuni itu sangatlah cocok menjadi hunian nyaman bagi bangsa jin atau siluman.
Senapati Lintang dan Saketi serta sepuluh pengawal pribadinya, terus mengamati rumah tersebut. Namun tiba-tiba saja, seperti ada beberapa bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-bayangan tersebut. Sehingga mereka pun berpikiran bahwa itu merupakan bayangan iblis-iblis yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu di gedung kosong itu.
"Kau lihat itu, Pangeran!" bisik Senapati Lintang meluruskan jari telunjuknya ke arah gedung tua itu. Sorot matanya pun tajam mengamati pergerakan bayangan-bayangan tersebut.
Dengan cepat, Saketi menggulirkan dua bola matanya ke arah tempat yang ditunjukkan oleh Senapati Lintang. Lantas, ia pun berkata, "Aku perhatikan, sepertinya bayangan-bayangan itu bukanlah bayangan siluman, melainkan bayangan manusia."
Senapati Lintang hanya menganggukkan kepala, sambil terus mengamati pergerakan bayangan-bayangan tersebut yang kemudian tampak jelas bahwa mereka benar-benar manusia.
"Ya, mereka adalah manusia," bisik Senapati Lintang lirih.
Mereka merupakan manusia-manusia yang sangat menyeramkan, mereka merupakan empat orang pria bertubuh kekar, tinggi besar, dan mempunyai raut wajah sangar. Wajah-wajah mereka mirip sekali dengan wajah siluman atau bangsa demit lainnya.
Gerakan mereka memperlihatkan tentang jati diri mereka yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Keempat orang tersebut adalah para pendekar yang sudah syarat akan pengalaman.
"Mereka bukanlah orang-orang biasa, Paman," desis Saketi berbisik mengenai telinga sang senapati.
"Ya, Paman paham itu," sahut Senapati Lintang terus mengamati pergerakan empat orang pria bertubuh tinggi besar itu
Tiba-tiba saja, salah seseorang dari mereka berkata, "Aku merasa ada kehadiran orang lain di tempat ini."
Kemudian, orang tersebut maju beberapa langkah, dan berteriak keras, "Keluarlah dari persembunyian kalian!"
* * *Senapati Lintang langsung memberikan isyarat kepada Saketi dan para prajuritnya, agar mereka diam dan tetap bersembunyi. Sebelah tangannya ia angkat sambil terus fokus mengamati gerak-gerik empat orang pendekar bertubuh kekar yang ada di depan rumah tua itu. "Itu hanya perasaanmu saja, tidak mungkin ada orang yang berani datang ke tempat ini," kata pendekar lainnya. "Tapi aku merasakan ada gerakan manusia di sekitar tempat ini." "Mungkin itu hanya pergerakan binatang yang menghuni hutan ini," sahut kawannya. Dengan demikian, pendekar itu pun kembali mundur ke tempat semula. Keempat pendekar itu berdiri tegak di depan pintu rumah kosong tersebut. Saketi dan Senapati Lintang, terus memperhatikan gerak-gerik keempat orang pendekar. Pedang panjang menyanggul dipunggung mereka, menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan yang terbiasa menganiaya lawan-lawannya dengan senjata tersebut. Kemudian, mereka kembali masuk ke dalam rumah tua itu. "Pangeran, apaka
Saketi pun menjawab, “Entahlah, Paman. Tentu selain dua orang tua ini masih ada lagi musuh lain yang akan menyulitkan kita di tempat ini. Ayahanda berpesan agar kita hati-hati!” “Pesan ayahandamu itu memang benar, menandakan bahwa di tempat ini, tentu terdapat banyak pendekar sakti,” kata Senapati Lintang berkesimpulan. "Kehadiran mereka pasti akan mengancam jiwa kita," sambungnya. Setelah itu, mereka kembali fokus kepada dua orang pendekar tua yang ada sudah berhadap-hadapan dengan mereka. Tampak jelas dari lengan dan dada kurus kedua orang tua itu, seperti ada sebuah gambar rajawali yang menandakan mereka berasal dari kelompok pendekar rajawali yang tersohor akan kesaktiannya, dan sangat disegani oleh para pendekar lain di rimba persilatan. Dalam kurun waktu seratus tahun silam, para pendekar dari kelompok pendekar rajawali sudah banyak menggemparkan dunia persilatan. Mereka adalah Ki Wori dan Ki Ronggo yang sudah berusia senja, diperkirakan umur mereka sudah menginjak satu abad l
Senapati Lintang dan Saketi serta para prajuritnya hanya diam menyaksikan detik-detik adu kekuatan senjata dari kedua belah pihak. Namun, satu pihak yang melakukan serangan tersebut masih belum menampakkan diri. Mereka pun sangat penasaran menunggu kemunculan para pendekar itu, yang secara tiba-tiba menyerang kedua orang tua renta yang memiliki kesaktian sangat luar biasa. "Kau lihat saja! Pendekar apa lagi yang akan datang ke tempat ini?" bisik Senapati Lintang mengarah kepada Saketi. "Banyak sekali para pendekar yang datang ke tempat ini. Sebenarnya apa maksud mereka, Paman?" tanya Saketi penasaran. Keningnya mengerut dalam sebagai tanda bahwa dirinya tidak memahami keinginan para pendekar yang secara tiba-tiba saja adu kekuatan di tempat itu. "Entahlah, kita lihat saja!" jawab Senapati Lintang. Beberapa saat kemudian, kedua pasangan pendekar muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun usianya tida
Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika. "Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?" "Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma. Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah. Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu. "Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisi
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa