Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika.
"Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya.
Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?"
"Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma.
Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah.
Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu.
"Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisik Ki Ronggo mengarah kepada Ki Wori yang tengah mengamati puluhan orang yang baru tiba itu.
"Ya, mereka berpenampilan seperti para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Apakah mereka ini berasal dari kelompok orang-orang gila?" tanya Ki Ronggo seakan-akan mengejek penampilan kelompok pendekar Iblis Merah.
"Bisa jadi mereka adalah orang-orang yang hilang ingatan atau mungkin mereka ini adalah hantu prajurit kerajaan Kuta Tandingan," jawab Ki Wori tertawa lepas.
"Entahlah, mungkin mereka ini adalah para siluman anak buah pendekar Iblis Merah," jawab Ki Ronggo.
"Hey! Sikap kalian seperti anak kecil, mengejek dan menghina kami dengan seenaknya!" teriak Santika merasa kesal dengan lelucon dua orang pria berusia senja itu, karena mereka sudah mengejek penampilan kelompoknya.
Mendengar teriakan Santika, Ki Wori hanya tersenyum, lalu kembali meluruskan pandangannya ke arah orang-orang yang baru tiba itu. Kemudian, ia bertepuk tangan dua kali. Tiba-tiba dari arah belakang keluar sekitar puluhan orang dengan masing-masing menggenggam sebilah golok, orang-orang tersebut langsung berbaris rapi di belakang Ki Ronggo dan Ki Wori.
Dengan demikian, kedua kelompok itu pun sudah saling berhadap-hadapan, mereka sudah bersiap siaga tinggal menunggu perintah dari pemimpin mereka masing-masing. Situasi mulai menegangkan, kelompok pendekar rajawali mulai maju beberapa langkah dengan sikap waspada.
Melihat pemandangan seperti itu, Soma kemudian tertawa lepas, "Hahaha ...!" Lalu berkata, "Kalian tampak siap sekali dalam menghadapi kami, kalian tidak perlu khawatir! Kedatangan kami ke sini tidak akan membuat keributan dengan pihak mana pun, termasuk dengan kalian. Karena kedatangan kami hanya ingin mengambil pusaka di dalam rumah ini!"
"Tunggu sebentar, Ki Sanak!" seru Ki Wori. "Kami pun demikian, kami sudah menerima tugas dari pimpinan kami untuk melindungi pusaka di dalam rumah ini. Kelompok rajawali tidak ingin mencari musuh, apalagi dengan pihak paguron silat lain. Karena sudah menjadi keinginan kami untuk bersahabat dan menyatukan semua paguron persilatan yang ada di tanah Tandingan ini," tambah Ki Wori menegaskan.
Ketika dua kelompok tersebut saling berdebat. Senapati Lintang pun mulai mengambil kesempatan.
"Kita harus segera masuk ke dalam rumah kosong itu, perintahkan kepada para prajurit agar tetap di tempat mereka masing-masing!" bisik Senapati Lintang kepada Saketi.
"Baik, Paman."
Saketi langsung memberikan isyarat kepada para prajurit untuk tetap diam dan tidak boleh bertindak sebelum ia perintah. Setelah itu, Saketi dan Senapati Lintang langsung bergerak. Mereka melangkah hendak memasuki rumah kosong itu, memanfaatkan situasi kelengahan dari dua orang pria senja itu.
Namun baru beberapa langkah saja, tiba-tiba salah seorang pendekar dari kedua kelompok tersebut membentak, "Hai! Kau hendak melakukan apa masuk ke dalam rumah ini?" tanya seorang pria dari pihak kelompok pendekar rajawali.
Dengan gagah berani, Senapati Lintang pun menjawab, "Aku tidak peduli dengan semua urusan kalian. Kami datang ke tempat ini hendak memeriksa rumah kosong ini, untuk memastikan apa yang sudah terjadi sehingga penghuni rumah ini sudah tidak ada lagi," tegas sang senapati membentak dengan suara tidak kalah kerasnya dengan bentakan orang tersebut.
Kemudian, Senapati Lintang langsung mengajak Saketi untuk melanjutkan langkah mereka memasuki rumah tak berpenghuni itu. "Ayo, Pangeran, kita harus segera melaksanakan tugas sang raja!" ajak Senapati Lintang mengarah kepada Saketi.
"Baik, Paman," sahut Saketi.
Senapati Lintang dan Saketi kemudian bergerak maju hendak memasuki rumah tersebut. Namun, Ki Ronggo segera mencegah langkah sang senapati dan juga Saketi.
"Tunggu dulu! Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke dalam rumah ini!" cegah Ki Ronggo maju menghadang. Dua bola matanya menatap tajam wajah sang panglima dan sang pangeran.
"Apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Senapati Lintang.
"Yang kami inginkan, kalian jangan memasuki rumah ini!" jawab Ki Ronggo tegas.
"Apa alasannya? Kami hanya ingin menyelidiki sebab kepergian para penghuni rumah ini." Senapati Lintang menjelaskan maksud dan tujuannya hendak memasuki rumah kosong itu.
"Atas dasar apa kalian mau menyelidiki rumah ini?"
"Berdasarkan perintah raja! Kami datang untuk menemui pemilik rumah ini, tapi mengapa rumah ini kosong? Tentu ini menjadi keharusan bagi kami untuk mengetahui ke mana perginya para penghuni rumah ini."
"Kami tidak percaya kalian ini urusan raja, mundur dan menjauh dari tempat ini!" bentak Ki Ronggo.
Senapati Lintang berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi, meskipun menghadapi sikap orang tua tersebut, yang berlaku sombong dan tidak mengenakan dalam berkata.
"Kami ditugaskan oleh sang raja untuk memeriksa keadaan rumah ini. Kami hanya penasaran dan ingin memastikan ke mana perginya mereka para penghuni rumah ini? Perlu kau ketahui, kami tidak ingin mencari musuh!" tegas sang senapati kembali mengulangi perkataannya.
Meskipun demikian, ia tetap berusaha tenang dan bersikap biasa-biasa saja. Meskipun tengah dihadapkan oleh sebuah persoalan yang sangat serius dengan para pendekar itu.
Ki Ronggo tertawa kecil, "Hahaha." Lalu berkata, "Kami pun demikian, tidak ingin menghendaki permusuhan ini terjadi. Akan tetapi, sepertinya dalam urusan ini di antara kita sudah ada pertentangan. Kami pun berhak melindungi rumah ini, karena di dalamnya terdapat benda pusaka yang tinggi nilainya yang harus kami jaga!" kata Ki Ronggo bersikeras menghalangi langkah sang senapati dan Saketi.
Saketi dengan dada yang semakin bergejolak, kemudian melangkah mendekati orang tua itu. "Bagus sekali! Kalau sekiranya hanya kekerasan yang akan dapat menyelesaikan pertentangan ini, maka kita adakan pertarungan!" ujarnya geram menantang kedua orang tua itu.
"Kau ini masih muda, bersikaplah sopan terhadapku yang jauh lebih tua darimu!" bentak Ki Ronggo geram dengan sikap Saketi yang dinilainya terlalu lancang.
"Tutup mulutmu! Aku tidak menghendaki ini terjadi, namun kalian sendiri yang sudah memancing amarahku," jawab Saketi tampak berapi-api.
"Berani sekali kau ini, bertarunglah! Siapa yang kuat dia adalah penguasa," tandas Ki Ronggo.
* * *
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa
Raut wajahnya tampak semringah, seakan-akan merasa senang karena tugas yang ia berikan sudah dilaksanakan dengan baik hanya dalam waktu singkat saja, oleh Senapati Lintang dan juga putranya. Dengan demikian, Senapati Lintang pun langsung menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika menjalankan tugas tersebut. Setelah itu, Saketi langsung menunjukkan keris pusaka yang ia dapatkan dari Ki Ronggo. "Apakah Ayahanda kenal dengan keris pusaka ini?" Saketi menyerahkan keris tersebut kepada sang raja. Sang raja hanya tersenyum sambil mengamati keris pusaka itu, kemudian meraihnya dari tangan Saketi. Prabu Erlangga berkata lirih, "Ini adalah keris pusaka Naga Geni milik mendiang kakekmu," terang sang raja lirih. "Ki Ronggo adalah orang kepercayaan mendiang kakekmu. Lantas, kenapa kalian tidak mengajaknya untuk tinggal di istana?" tanya sang raja menyambung perkataannya. "Hamba sudah mengajaknya. Akan tetapi Ki Ronggo dan Ki Wori menolak dan langsung pamit," terang Senapati Lintang menj
Tujuh hari kemudian, di depan istana kepatihan Kuta Tandingan barat, ada seorang anak muda berperilaku aneh dan tidak sopan. Secara tiba-tiba, ia melakukan tindakan tidak terpuji, berteriak-teriak memanggil nama Patih Aryadana. "Gusti Patih Aryadana! Keluarlah!" teriak anak muda itu, tampak penuh amarah. Berdiri angkuh di depan pintu gerbang istana kepatihan. Sehingga memicu kemarahan dari para prajurit penjaga istana kepatihan. "Siapa dia?" tanya seorang prajurit penjaga istana kepatihan mengarah kepada kawannya. "Entahlah, sebaiknya kita keluar dan usir pemuda itu!" jawab kawannya langsung melangkah keluar dari saung keamanan yang berada di dalam area istana tidak jauh dari pintu gerbang istana tersebut. Dengan demikian, para prajurit penjaga istana kepatihan itu langsung menghampiri pemuda tersebut yang merupakan tamu tidak diundang yang sudah datang dengan sikap tidak sopan dan berperilaku sombong. "Lancang sekali kau ini!" bentak salah seorang prajurit. "Apakah kau tidak memp