"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
Pada saat itu, Saketi sudah bersiap hendak menghadap Senapati Lintang, karena mereka akan segera melakukan perjalanan jauh atas perintah sang raja. Baru beberapa langkah saja berjalan, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita memanggil namanya."Kakang Saketi!" Sejenak, pemuda itu menghentikan langkahnya dan memalingkan wajah ke arah belakang. Dilihatnya seorang gadis cantik berlari kecil mendekat ke arahnya. "Ada apa, Yunada?" tanya Saketi mengerutkan kening, dua bola matanya menatap wajah gadis itu yang sudah berdiri di hadapannya. Yunada tidak langsung menjawab pertanyaan Saketi, ia menghela napas sejenak sambil tersenyum. Tangannya tampak memegang bungkusan kain, entah apa isinya? "Kakang mau berangkat sekarang, 'kan?" tanya Yunada dengan suara lembut. "Iya, memangnya kenapa?" Saketi balas bertanya sambil terus memandangi keindahan wajah Yunada. "Aku sudah membuatkan makanan kesukaan Kakang dan ayahandaku, untuk bekal diperjalanan!" ucapnya lirih sambil menyerahkan
Senapati Lintang langsung memberikan isyarat kepada Saketi dan para prajuritnya, agar mereka diam dan tetap bersembunyi. Sebelah tangannya ia angkat sambil terus fokus mengamati gerak-gerik empat orang pendekar bertubuh kekar yang ada di depan rumah tua itu. "Itu hanya perasaanmu saja, tidak mungkin ada orang yang berani datang ke tempat ini," kata pendekar lainnya. "Tapi aku merasakan ada gerakan manusia di sekitar tempat ini." "Mungkin itu hanya pergerakan binatang yang menghuni hutan ini," sahut kawannya. Dengan demikian, pendekar itu pun kembali mundur ke tempat semula. Keempat pendekar itu berdiri tegak di depan pintu rumah kosong tersebut. Saketi dan Senapati Lintang, terus memperhatikan gerak-gerik keempat orang pendekar. Pedang panjang menyanggul dipunggung mereka, menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan yang terbiasa menganiaya lawan-lawannya dengan senjata tersebut. Kemudian, mereka kembali masuk ke dalam rumah tua itu. "Pangeran, apaka
Saketi pun menjawab, “Entahlah, Paman. Tentu selain dua orang tua ini masih ada lagi musuh lain yang akan menyulitkan kita di tempat ini. Ayahanda berpesan agar kita hati-hati!” “Pesan ayahandamu itu memang benar, menandakan bahwa di tempat ini, tentu terdapat banyak pendekar sakti,” kata Senapati Lintang berkesimpulan. "Kehadiran mereka pasti akan mengancam jiwa kita," sambungnya. Setelah itu, mereka kembali fokus kepada dua orang pendekar tua yang ada sudah berhadap-hadapan dengan mereka. Tampak jelas dari lengan dan dada kurus kedua orang tua itu, seperti ada sebuah gambar rajawali yang menandakan mereka berasal dari kelompok pendekar rajawali yang tersohor akan kesaktiannya, dan sangat disegani oleh para pendekar lain di rimba persilatan. Dalam kurun waktu seratus tahun silam, para pendekar dari kelompok pendekar rajawali sudah banyak menggemparkan dunia persilatan. Mereka adalah Ki Wori dan Ki Ronggo yang sudah berusia senja, diperkirakan umur mereka sudah menginjak satu abad l
Senapati Lintang dan Saketi serta para prajuritnya hanya diam menyaksikan detik-detik adu kekuatan senjata dari kedua belah pihak. Namun, satu pihak yang melakukan serangan tersebut masih belum menampakkan diri. Mereka pun sangat penasaran menunggu kemunculan para pendekar itu, yang secara tiba-tiba menyerang kedua orang tua renta yang memiliki kesaktian sangat luar biasa. "Kau lihat saja! Pendekar apa lagi yang akan datang ke tempat ini?" bisik Senapati Lintang mengarah kepada Saketi. "Banyak sekali para pendekar yang datang ke tempat ini. Sebenarnya apa maksud mereka, Paman?" tanya Saketi penasaran. Keningnya mengerut dalam sebagai tanda bahwa dirinya tidak memahami keinginan para pendekar yang secara tiba-tiba saja adu kekuatan di tempat itu. "Entahlah, kita lihat saja!" jawab Senapati Lintang. Beberapa saat kemudian, kedua pasangan pendekar muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun usianya tida
Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika. "Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?" "Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma. Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah. Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu. "Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisi
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men