Senapati Lintang dan Saketi serta para prajuritnya hanya diam menyaksikan detik-detik adu kekuatan senjata dari kedua belah pihak. Namun, satu pihak yang melakukan serangan tersebut masih belum menampakkan diri.
Mereka pun sangat penasaran menunggu kemunculan para pendekar itu, yang secara tiba-tiba menyerang kedua orang tua renta yang memiliki kesaktian sangat luar biasa.
"Kau lihat saja! Pendekar apa lagi yang akan datang ke tempat ini?" bisik Senapati Lintang mengarah kepada Saketi.
"Banyak sekali para pendekar yang datang ke tempat ini. Sebenarnya apa maksud mereka, Paman?" tanya Saketi penasaran. Keningnya mengerut dalam sebagai tanda bahwa dirinya tidak memahami keinginan para pendekar yang secara tiba-tiba saja adu kekuatan di tempat itu.
"Entahlah, kita lihat saja!" jawab Senapati Lintang.
Beberapa saat kemudian, kedua pasangan pendekar muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun usianya tidak jauh dari pria paruh baya itu, kedua pasangan pendekar itu tersenyum sinis kepada dua orang pendekar tua yang ada di depan rumah tersebut.
Mereka adalah dua pendekar Iblis Merah yang terkenal dengan kesaktian ilmu bela dirinya, dan pernah menggemparkan dunia persilatan karena ulah mereka yang sudah menyerang istana kekaisaran Yangon, dan berhasil membunuh kaisar Lui Chan dan permaisurinya.
Dalam peristiwa di masa lalu itu, mereka diutus oleh salah seorang raja dari kerajaan kepulauan Nusa sebagai pembunuh bayaran untuk membinasakan Kaisar Lui Chan yang dianggap sebagai pemimpin yang selalu ikut campur urusan pribadi dalam pemerintahan kerajaan Kepulauan Nusa.
Paska keberhasilan mereka yang sudah membunuh Kaisar Lui Chan, maka mereka dijuluki pendekar Iblis Merah dan dinobatkan sebagai dua orang pendekar yang paling sakti di kerajaan kepulauan Nusa pada masa itu.
“Memang tidak salah, para pendekar dari kelompok rajawali sangat terkenal akan kesombongannya,” kata pria paruh baya yang baru datang bersama istrinya, berdiri angkuh sambil tersenyum sinis menatap wajah Ki Ronggo dan Ki Wori.
“Tong kosong nyaring bunyinya. Itu memang terbukti,” timpal wanita paruh baya itu berdiri tegak di samping suaminya. Ia berkata sambil tertawa dingin, seakan-akan mengejek dua orang tua yang ada di hadapannya.
Kedua pendekar tersebut tampak sinis menatap wajah Ki Wori dan Ki Ronggo, sesekali mereka berpaling ke arah Senapati Lintang dan Saketi, mereka tersenyum sambil membungkukkan badan seraya memberikan salam hormat kepada Senapati Lintang dan Saketi.
Seakan-akan mereka sudah mengenali Senapati Lintang dan Saketi. Namun, mereka sepertinya tidak ada niat untuk melakukan tindakan jahat terhadap Senapati Lintang dan Saketi. Kedua pendekar itu lebih fokus kepada Ki Wori dan Ki Ronggo saja.
'Siapa lagi mereka? Kenapa mereka hanya menyerang kedua pendekar itu saja?" kata Senapati Lintang dalam hati.
Jangankan Saketi yang merupakan seorang kesatria yang baru tumbuh dewasa, dirinya pun yang sudah lama hidup di dunia persilatan sama sekali tidak mengenali kedua pendekar tersebut. Sehingga dalam benak sang senapati tumbuh berbagai pertanyaan.
"Apakah Paman tidak mengenali mereka?" tanya Saketi meluruskan dua bola matanya ke arah sang senapati.
"Tidak, Pangeran. Paman tidak mengenal mereka," jawab Senapati Lintang.
Saketi menarik napas dalam-dalam, ia kembali fokus ke arah empat pendekar yang tengah melakukan perdebatan.
Begitu juga dengan Senapati Lintang, ia terus mengamati gerak-gerik kedua belah pihak yang sudah saling berhadap-hadapan dengan mata terbuka lebar. Seakan-akan, para pendekar itu sudah bersiap untuk saling menyerang.
Yang paling menarik perhatian bagi sang senapati dan juga Saketi adalah pakaian yang dikenakan oleh dua pasang pendekar yang baru tiba itu. Mereka mengenakan pakaian kebesaran dari kerajaan Kuta Tandingan semasa pemerintahan Prabu Sanjaya—kakeknya Saketi.
"Pangeran lihat dua pendekar itu, mereka mengenakan pakaian layaknya seorang prajurit kerajaan Sanggabuana dari angkatan bersenjata induk panah!" desis Senapati Lintang.
"Apakah di masa lalu mereka itu bagian dari kerajaan Kuta Tandingan, Paman?" tanya Saketi dengan suara pelan.
"Entahlah, bisa iya dan bisa juga bukan. Mungkin jika mereka bukan bagian dari kerajaan Kuta Tandingan, mereka itu adalah para pendekar setia yang selalu menghargai kerajaan nenek moyang mereka, meskipun kerajaan Kuta Tandingan sudah berganti nama," jawab Senapati Lintang berkesimpulan.
Kemudian orang tua bermata sipit itu berkata, "Pendekar Iblis Merah sang penguasa belantara! Selamat datang untuk kalian."
Pasangan pendekar suami istri itu kemudian saling berpandangan. Mereka adalah Soma dan Santika, sepasang pendekar Iblis Merah yang menjadi buruan para prajurit Yangon selama bertahun-tahun. Namun, mereka tidak berhasil ditangkap oleh para prajurit kekaisaran Yangon, karena memiliki kesaktian tinggi. Keberadaannya pun tidak pernah diketahui.
Kemudian, Soma melangkah menghampiri kedua orang tua itu sambil menjura. Sikapnya terkesan ramah dan sopan, namun hal tersebut tidak direspon positif oleh kedua pendekar berusia senja itu.
"Kalian berdua mempunyai penglihatan yang tajam, pantas saja para pendekar kelompok rajawali dijuluki sebagai para pendekar sakti bermata tajam," ujar Soma tersenyum lebar. "Kami baru keluar dari pertapaan saja, kalian sudah dapat mengenali kami!" sambungnya tak henti-hentinya melontarkan senyuman kepada Ki Ronggo dan Ki Wori.
"Omong kosong!" bentak Ki Wori.
Bukan hanya Ki Wori saja yang merasa geram dengan kehadiran dua pendekar Iblis Merah itu. Ki Ronggo pun tampak kesal dan ikut membentak, "Kalian jangan banyak bicara!" Ki Ronggo menyela perkataan Soma dengan nada sinis.
"Sudah tua, tapi gemar mencari musuh," desis Soma tersenyum-senyum. "Tubuh kalian itu sudah renta dan sudah tercium aroma tanah. Karena sebentar lagi kalian akan dikubur dalam tanah," sambung Soma mulai memantik amarah dua pendekar senja itu.
Soma sengaja berkata demikian, karena ingin memancing emosi Ki Ronggo dan Ki Wori.
"Jaga mulutmu, Pendekar Iblis!" bentak Ki Ronggo semakin gusar. "Hadapi saja kami, jangan banyak bicara!" sambung Ki Ronggo kembali membentak keras.
"Sabar, Ki!" kata Soma lirih sambil mengangkat kedua tangannya.
"Kami tidak memiliki banyak waktu untuk berdebat dengan kalian. Sebaiknya kalian langsung hadapi kami saja!" tantang Ki Ronggo semakin geram dengan sikap dua pendekar Iblis Merah yang terus menerus memancing amarahnya.
"Kami datang bukan untuk bertarung dengan kalian, melihat tubuh kalian yang kurus saja kami sudah iba. Apalagi jika kami harus bertarung dengan kalian, sama saja kami bertarung dengan orang tua kami sendiri," timpal Santika diiringi dengan suara tertawa khasnya.
"Bedebah kalian!" bentak Ki Wori.
Santika dan Soma tidak mengindahkan ucapan orang tua itu. Lantas, Soma mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti siulan yang keras seperti bahasa isyarat untuk memanggil sekelompok orang.
"Bersiaplah! Mereka sudah memanggil anak buah mereka," desis Ki Ronggo kepada Ki Wori.
* * *
Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika. "Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?" "Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma. Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah. Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu. "Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisi
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa
Raut wajahnya tampak semringah, seakan-akan merasa senang karena tugas yang ia berikan sudah dilaksanakan dengan baik hanya dalam waktu singkat saja, oleh Senapati Lintang dan juga putranya. Dengan demikian, Senapati Lintang pun langsung menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika menjalankan tugas tersebut. Setelah itu, Saketi langsung menunjukkan keris pusaka yang ia dapatkan dari Ki Ronggo. "Apakah Ayahanda kenal dengan keris pusaka ini?" Saketi menyerahkan keris tersebut kepada sang raja. Sang raja hanya tersenyum sambil mengamati keris pusaka itu, kemudian meraihnya dari tangan Saketi. Prabu Erlangga berkata lirih, "Ini adalah keris pusaka Naga Geni milik mendiang kakekmu," terang sang raja lirih. "Ki Ronggo adalah orang kepercayaan mendiang kakekmu. Lantas, kenapa kalian tidak mengajaknya untuk tinggal di istana?" tanya sang raja menyambung perkataannya. "Hamba sudah mengajaknya. Akan tetapi Ki Ronggo dan Ki Wori menolak dan langsung pamit," terang Senapati Lintang menj