Saketi pun menjawab, “Entahlah, Paman. Tentu selain dua orang tua ini masih ada lagi musuh lain yang akan menyulitkan kita di tempat ini. Ayahanda berpesan agar kita hati-hati!”
“Pesan ayahandamu itu memang benar, menandakan bahwa di tempat ini, tentu terdapat banyak pendekar sakti,” kata Senapati Lintang berkesimpulan. "Kehadiran mereka pasti akan mengancam jiwa kita," sambungnya.
Setelah itu, mereka kembali fokus kepada dua orang pendekar tua yang ada sudah berhadap-hadapan dengan mereka. Tampak jelas dari lengan dan dada kurus kedua orang tua itu, seperti ada sebuah gambar rajawali yang menandakan mereka berasal dari kelompok pendekar rajawali yang tersohor akan kesaktiannya, dan sangat disegani oleh para pendekar lain di rimba persilatan.
Dalam kurun waktu seratus tahun silam, para pendekar dari kelompok pendekar rajawali sudah banyak menggemparkan dunia persilatan. Mereka adalah Ki Wori dan Ki Ronggo yang sudah berusia senja, diperkirakan umur mereka sudah menginjak satu abad lebih. Namun kedua orang tua itu masih terlihat gagah, bahkan mereka pun masih terlibat dalam pertarungan-pertarungan melawan para pendekar muda yang usianya jauh di bawah mereka. Kesaktian yang mereka miliki tidak dapat tertandingi oleh para pendekar lainnya. Sehingga mereka berdua dijuluki sebagai Pendekar Sejagat.
“Siapa orangnya yang berani menentang kelompok rajawali? Selama kerajaan dalam suasana perang, kita tidak bergerak. Akan tetapi, kita memupuk kekuatan sehingga para pendekar dari kelompok lain hancur dan binasa oleh perang. Maka kelompok rajawali bertambah semakin kuat dan tetap teguh memegang prinsip hingga masa sekarang,” kata Ki Ronggo—orang tua bertubuh kurus itu berbicara lantang, seakan-akan dirinya berusaha menampilkan diri sebagai pendekar terkuat di jagat raya.
Kemudian, Ki Wori pun menyahut, “Sekarang tibalah saatnya, kita akan memperlihatkan taring kita sebagai dua pendekar kuat! Kalau perlu tangkap anak muda itu, dan bunuh para pengawalnya!” tegas Ki Wori.
Mendengar perkataan dari kawannya, Ki Ronggo pun tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lantas, ia berpaling ke arah Senapati Lintang dan Saketi.
Tatapan mata dari kedua pendekar tua itu sangatlah tajam, seperti ada kekuatan tenaga dalam yang menyertainya. Sehingga Senapati Lintang harus berusaha keras menangkis pengaruh negatif yang terpancar dari sorot mata kedua pendekar berusia senja itu.
"Hati-hati, Pangeran! Mereka telah mengerahkan kekuatan tenaga dalam mereka melalui sorot mata mereka!" bisik Senapati Lintang.
"Baik, Paman."
Salah satu dari mereka, kemudian maju beberapa langkah. Dengan sikap angkuh pendekar tua itu bertanya kepada Senapati Lintang dan Saketi, “Ada maksud apa kalian datang ke tempat ini, hingga membuat kegaduhan?” Dua bola matanya tajam menatap wajah Senapati Lintang dan Saketi.
“Mohon maaf, Ki Sanak. Kami datang ke tempat ini karena sedang melaksanakan tugas dari sang raja,” jawab Senapati Lintang sambil berpaling ke arah Saketi. Setelah itu, Senapati Lintang kembali mengarahkan pandangannya kepada dua orang pendekar tua yang ada di hadapannya.
“Tugas sang raja merupakan keputusan yang tak boleh ditentang oleh siapa pun. Orang yang berusaha menentangnya berarti akan mati. Seperti empat orang anak buahmu ini!" tegas sang senapati tidak merasa gentar sedikit pun.
Kedua pendekar tua itu hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan perkataan dari sang senapati. Seakan-akan, mereka sangat menyepelekan Senapati Lintang. Bahkan tidak percaya jika Senapati Lintang dan Saketi adalah utusan Prabu Erlangga.
Meskipun demikian, Senapati Lintang tidak mempedulikan sikap dua pendekar senja itu. Lantas, ia kembali berkata, "Aku paham bahwa kelompok kalian memang kelompok terbesar di wilayah kerajaan ini. Namun, perlu kalian ketahui bahwa kamilah dari pihak kerajaan yang lebih berkuasa, dan memiliki wewenang penuh untuk menindak tegas perlakuan tidak terpuji dari kalian!” tutur sang senapati menegaskan.
Mendengar apa yang dituturkan oleh sang senapati, kedua pendekar tua itu tertawa lepas. Mereka masih tidak percaya jika dua punggawa yang ada di hadapan mereka merupakan utusan raja.
"Jangan banyak bicara kau, Anak muda!" bentak Ki Ronggo dengan nada tinggi.
"Mereka tidak percaya dengan apa yang sudah Paman katakan. Sebaiknya kita hajar saja mereka!" bisik Saketi mulai tersulut emosi dengan sikap kedua pendekar tua itu.
Dengan demikian, mereka terus terlibat dalam sebuah perdebatan. Namun, ketika kedua orang tua itu sedang berdebat dengan sang senapati. Tiba-tiba saja datang sebuah serangan dari arah tidak terduga, sehingga Ki Ronggo pun menyeru kepada Ki Wori, “Wori! Menunduklah!” teriaknya keras.
Kedua orang tua itu cepat mengelak, melempar tubuh mereka ke arah belakang dan bergulingan di atas tanah, karena secara tidak terduga ada beberapa pisau menyambar dari balik semak belukar di samping rumah kosong itu.
Senapati Lintang dan yang lainnya tampak tertegun dan kaget melihat pemandangan seperti itu. Ia pun langsung memerintahkan Saketi dan prajuritnya untuk mundur, “Cepatlah kalian mundur!” seru Senapati Lintang merasa khawatir jika Saketi dan para prajuritnya terkena imbas dari serangan tersebut.
Meskipun serangan tersebut bukan ditujukan kepada pihak mereka. Namun, Senapati Lintang tidak mau mengambil risiko yang membahayakan para prajuritnya.
Dengan demikian, Saketi dan para prajurit pengawalnya langsung surut beberapa langkah ke belakang. Mematuhi apa yang diperintahkan oleh Senapati Lintang.
Kedua orang tua itu pun, lebih memilih menghindar. Karena jika mereka menyambut serangan tersebut, maka sangatlah berbahaya. Meskipun sudah tua, mereka sangat lihai dalam melakukan pergerakan, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan balas meluncurkan senjata mereka ke arah datangnya pisau-pisau tersebut. Hingga terdengar bunyi logam yang berbenturan di udara.
'Trang! Trang! Trang!
“Siapa lagi yang datang, Paman?” bisik Saketi bertanya kepada sang senapati penuh rasa penasaran.
“Entahlah, Paman pun tidak tahu siapa mereka. Kita harus waspada!” jawab Senapati Lintang langsung menghunus pedangnya.
Sementara itu, Saketi terus mengarahkan dua bola matanya mengamati gerak-gerik kedua orang tua itu, yang tengah mengerahkan kemampuan mereka dalam menangkis serangan mendadak dari arah semak belukar yang ada di pinggiran rumah kosong itu.
Kemudian, dua orang pendekar tua itu langsung melontarkan senjata-senjata mereka ke arah semak belukar—tempat datangnya serangan mendadak terhadap mereka. Namun, betapa terkejutnya kedua orang tua itu, ketika melihat pisau-pisau bertebaran di udara menyambut senjata yang mereka lontarkan.
"Ternyata mereka bukanlah orang sembarangan," desis Ki Wori. "Mereka memilik senjata yang sangat mematikan. Kau lihat pisau-pisau itu! Ternyata mampu menghempaskan senjata-senjata kita," sambungnya terus mengamati pergerakan pisau-pisau tersebut.
Terdengar suara keras yang kemudian disusul oleh percikan bunga api berhamburan seiring dengan berjatuhannya senjata dari kedua belah pihak.
Kedua orang tua itu segera meloncat dan salah satu dari mereka membentak keras, “Hai, pengecut! Jangan curang kalian! Keluarlah!”
* * *Senapati Lintang dan Saketi serta para prajuritnya hanya diam menyaksikan detik-detik adu kekuatan senjata dari kedua belah pihak. Namun, satu pihak yang melakukan serangan tersebut masih belum menampakkan diri. Mereka pun sangat penasaran menunggu kemunculan para pendekar itu, yang secara tiba-tiba menyerang kedua orang tua renta yang memiliki kesaktian sangat luar biasa. "Kau lihat saja! Pendekar apa lagi yang akan datang ke tempat ini?" bisik Senapati Lintang mengarah kepada Saketi. "Banyak sekali para pendekar yang datang ke tempat ini. Sebenarnya apa maksud mereka, Paman?" tanya Saketi penasaran. Keningnya mengerut dalam sebagai tanda bahwa dirinya tidak memahami keinginan para pendekar yang secara tiba-tiba saja adu kekuatan di tempat itu. "Entahlah, kita lihat saja!" jawab Senapati Lintang. Beberapa saat kemudian, kedua pasangan pendekar muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun usianya tida
Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika. "Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?" "Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma. Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah. Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu. "Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisi
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa